Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Divo dan Mona: Cinta Tulus Ratu Sekolah

Divo dan Mona: Cinta Tulus Ratu Sekolah

Dang Aldo | Bersambung
Jumlah kata
273.3K
Popular
24.2K
Subscribe
644
Novel / Divo dan Mona: Cinta Tulus Ratu Sekolah
Divo dan Mona: Cinta Tulus Ratu Sekolah

Divo dan Mona: Cinta Tulus Ratu Sekolah

Dang Aldo| Bersambung
Jumlah Kata
273.3K
Popular
24.2K
Subscribe
644
Sinopsis
PerkotaanSekolahCinta SekolahPria MiskinGangster
Mengisahkan remaja bernama Divo yang baru pindah ke SMA Nusantara. Dia sangat dingin dan tidak peduli dengan apapun, bahkan tidak tertarik dengan pesona Mona si Ratu Sekolah. Namun, siapa sangka Mona malah berbalik mengejar cinta Divo, Siswa Kutub Utara.
Prolog

Langit kota masih menyisakan sisa-sisa mendung semalam. Awan kelabu menggantung rendah, seolah ikut memandangi ribuan langkah pagi yang tergesa menuju berbagai tujuan. Di antara langkah-langkah itu, ada satu langkah yang sedikit berbeda. Pelan, ragu-ragu, tapi penuh semangat.

Namanya Divo. Dia berdiri di depan gerbang besar SMA Nusantara. Sekolah ini bukan main-main, lho. Namanya sering banget disebut di berita, di gosip teman-teman, bahkan jadi latar belakang sinetron remaja yang kadang Divo tonton diam-dia. Sekarang, sekolah itu bukan lagi cuma cerita di layar kaca atau obrolan ngalor-ngidul. Divo benar-benar berdiri di depannya. Tegak, Megah, Dan... jujur saja, sedikit menakutkan.

Seragam putih abu-abu itu membungkus tubuhnya yang sedikit berotot itu. Kelihatannya masih baru, maklum, belum sempat merasakan kerasnya hidup anak SMA, jadi agak sedikit kebesaran di sana-sini. Ranselnya sih sederhana, tapi bersih. Sepatunya masih bersih dan rapi karena baru di beli kemarin. Mungkin dia pikir itu bisa jadi jimat biar hari pertamanya tidak terlalu horor.

Divo menarik napas panjang.

“Tarik napas... buang. Tarik napas... buang,” bisiknya ke diri sendiri, mungkin dia sedang melatih pernapasan ala atlet, tapi sebenarnya cuma menenangkan jantung yang degupnya sudah seperti genderang marching band mau demo.

Dia melangkah masuk. Matanya langsung menyapu halaman sekolah yang luas itu. Trotoarnya rapi, ada air mancur kecil berdiri di tengah-tengah, dan di sisi kanan kiri berjajar pohon flamboyan yang masih malu-malu belum mekar. Murid-murid lain lalu-lalang dengan gaya masing-masing—ada yang rambutnya klimis dan rapi seperti opa-opa korea itu, ada yang sepatunya mahal minta ampun, gadget menempel di tangan, dan suara tawa mereka itu... duh, rasanya tinggi sekali, seperti menertawakan segala hal di dunia.

Bukan tempat orang seperti aku, batin Divo. Tapi untunglah, otaknya cepat sekali menepis pikiran itu. Dia tahu, kalau kalah sebelum bertanding, itu namanya pengecut. Dan Divo bukan pengecut.

“Eh, lo yang namanya Divo ya?” Sebuah suara dari belakang membuat Divo menoleh.

Seorang cowok dengan jaket biru tua melambai padanya. Badannya tinggi besar, wajahnya ramah, dan ada bekas luka kecil di pelipis kirinya. “Gue Randi. Sama-sama anak baru. Katanya lo dapet beasiswa ya? Gila, keren bro.”

Divo tersenyum. “Iya. Lo juga anak baru?”

“Yoi. Gue pindahan dari Bandung. Bukan pinter kayak lo, sih. Nyokap gue kerja di bank deket sini. Katanya, ‘biar sekalian deket rumah.’ Mungkin dia takut gue kesasar di jalan, makanya disuruh deket-deket aja.”

Obrolan singkat itu cukup membuat Divo sedikit lega. Setidaknya ada satu orang yang tidak menatapnya dari atas kepala sampai ke ujung sepatu yang baru di belinya kemarin. Mereka berjalan beriringan menuju papan pengumuman kelas. Di sana, kerumunan siswa sudah mulai ramai, seperti semut yang menemukan gula.

Dan di tengah keramaian itu, seolah segala suara di dunia ini menghilang sejenak, digantikan oleh bisikan angin yang entah datang dari mana.

Seseorang melangkah masuk ke dalam lingkup pandangannya. Seorang gadis. Rambut cokelat terang, terurai indah seperti yang biasa dilihat di iklan sampo—mungkin dia keramas pakai air pegunungan, pikir Divo iseng. Seragamnya dikenakan dengan pas, roknya sedikit lebih pendek, dan cara ia melangkah itu... seolah dia memang tahu kalau semua mata sedang melihatnya. Dan dia sudah terbiasa akan itu.

Mona. Nama itu langsung muncul di benak Divo. Dia pernah membaca namanya di artikel website sekolah saat riset sebelum wawancara beasiswa. Anggota OSIS, juara lomba debat, dan juga selebgram dengan lebih dari 100 ribu followers. Divo membayangkan jari-jari Mona pasti pegal kalau harus membalas semua komentar.

Gadis itu berhenti tepat di depan papan pengumuman. Beberapa siswa dengan sigap membuka jalan, yang lain menunduk hormat seperti tanpa sadar, mungkin itu refleks saking terbiasanya. Mona melihat daftar nama, lalu tiba-tiba matanya bergerak ke arah Divo. Menatap. Tajam. Seolah mata itu punya sensor khusus untuk mendeteksi pendatang baru.

Divo terdiam. Tapi dia tidak mengalihkan pandangan. Dia bukan tipe yang suka kabur duluan.

Mona mendekat. Langkahnya tenang, tapi ada semacam aura yang membuat Divo berpikir, dia ini pasti sering jadi bintang di panggung.

“Excuse me,” katanya, dengan suara lembut tapi terasa dingin. Seperti es batu yang meleleh perlahan. “Kamu Divo?”

Divo mengangguk. “Iya. Kok tahu?”

“Nama kamu cukup ramai dibicarakan di grup angkatan. Anak beasiswa pertama yang masuk ke kelas unggulan. Itu hal baru di sini,” ujarnya, nada bicaranya datar tapi matanya meneliti dari ujung kepala sampai kaki. Mungkin dia sedang mengecek apakah semirnya benar-benar rapi.

“Oke,” jawab Divo singkat. Dia tidak ingin banyak basa-basi.

Mona mengangkat alis. Mungkin dia tidak biasa ada orang yang tidak gugup saat berbicara dengannya. Divo pasti dianggap aneh. “Aku Mona,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Divo menyambut tangan itu. Hangat, lembut, dan sangat percaya diri. Seperti tangan seorang pemimpin, bukan sekadar siswi SMA.

“Mona ini anggota OSIS, ketua klub drama, dan ketua geng cewek populer,” kata Randi tiba-tiba, entah sejak kapan sudah berdiri di samping mereka, mungkin dia tadi sedang mencuri dengar. “Intinya, dia ratu sekolah ini.”

Mona menatap Randi lalu tertawa kecil. Tawanya manis, tapi Divo merasa ada sedikit nada mengejek di sana. “Jangan dilebih-lebihin. Tapi emang iya sih,” katanya tanpa malu-malu. Divo akui, gadis ini jujur.

“Anyway,” lanjut Mona sambil menoleh lagi ke Divo. “Selamat datang di SMA Nusantara. Tapi saran aja... jangan terlalu pede dulu. Sekolah ini bukan cuma soal nilai bagus.” Kalimatnya itu seperti tantangan, atau mungkin peringatan.

Divo tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Mona dalam-dalam. Mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik tatapan percaya dirinya itu.

“Saya suka tantangan,” katanya akhirnya. Nada suaranya santai, tapi penuh arti.

Untuk sepersekian detik, keduanya saling menatap tanpa kata. Ada hawa aneh yang menyelinap. Tegang, tapi... entah kenapa, tidak sepenuhnya tidak nyaman. Seperti dua kutub magnet yang bertemu.

“Seru nih,” gumam Randi pelan, mungkin dia mengira sedang menonton film.

Bel masuk berbunyi, menyelamatkan keheningan yang mulai terasa canggung itu.

Kerumunan mulai bubar, seperti air yang surut. Mona berjalan lebih dulu, rambutnya berkibar pelan tertiup angin, seolah itu adalah bagian dari koreografi. Divo masih berdiri di tempat, melihat punggungnya menjauh. Dia tahu, Mona itu cantik. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang menarik dari dirinya.

“Bro,” Randi menepuk bahunya. “Lo tau nggak?”

“Apa?”

“Lo baru aja ngobrol sama Mona. Dan dia gak ngomong sinis sama lo. Itu udah keajaiban buat orang baru.”

Divo mengangkat bahu. “Mungkin dia lagi lapar,” jawabnya asal, tapi sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.

Mereka berdua tertawa pelan sambil berjalan masuk ke dalam gedung sekolah yang megah. Divo merasa jantungnya kembali tenang. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang berubah.

Ia belum tahu bentuknya seperti apa, tapi ia tahu, hari ini... bukan hari biasa.

Dan Mona... dia bukan sekadar siswi populer. Dia mungkin saja akan jadi awal dari sesuatu yang rumit, atau mungkin... sesuatu yang sangat menarik.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca