Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Senapati Langit (Kutukan Sumpah Amukti Palapa)

Senapati Langit (Kutukan Sumpah Amukti Palapa)

V. Nythera Zeth | Bersambung
Jumlah kata
67.9K
Popular
100
Subscribe
2
Novel / Senapati Langit (Kutukan Sumpah Amukti Palapa)
Senapati Langit (Kutukan Sumpah Amukti Palapa)

Senapati Langit (Kutukan Sumpah Amukti Palapa)

V. Nythera Zeth| Bersambung
Jumlah Kata
67.9K
Popular
100
Subscribe
2
Sinopsis
HorrorHorrorMisteriKutukanBalas Dendam
Seorang sejarawan muda yang brilian dan skeptis, Arka, secara tidak sengaja menemukan jurnal kuno yang mengungkap konspirasi terbesar dalam sejarah Majapahit. Keberadaan Senapati Langit, seorang jenderal jenius yang dikorbankan dalam ritual gelap untuk memberdayakan Sumpah Amukti Palapa Gajah Mada. Kematiannya yang terhapus dari sejarah membangkitkan kutukan yang kini bangkit di era modern, mengancam keturunan para pengkhianatnya yang memegang tampuk kekuasaan Indonesia. Arka harus bersekutu dengan seorang dukun Jawa dan menyelami dunia mistis yang tidak pernah ia percayai untuk memecahkan misteri berusia 700 tahun, mengalahkan manifestasi kemarahan sang Senapati, dan menyelamatkan bangsa sebelum kutukan masa lalu menghancurkan masa depan.
Bab 1

"Jangan dibuka!"

Arka mengangkat kepala dari tumpukan lontar kusam yang barusan ia tarik dari kotak kayu lapuk. Suara itu datang dari sudut toko yang remang, nyaris tidak terlihat di balik jejeran rak buku yang menjulang tinggi hingga ke langit-langit.

"Pak?" panggil Arka mencoba melacak asal suara.

"Pak Darmo?"

Tidak ada jawaban. Hanya desisan angin yang masuk lewat celah jendela toko buku antik itu. Arka mengerutkan dahi. Ia yakin tadi mendengar sesuatu atau seseorang.

"Lho, Mas Arka kok melamun?"

Kali ini suara datang dari arah tangga. Pak Darmo, pemilik toko buku Sanjiwani turun dengan langkah pelan sambil menenteng teko teh. Pria sepuh itu tersenyum membuat kerutan di wajahnya makin dalam.

"Tadi Bapak bilang apa?" tanya Arka.

"Saya? Belum ngomong apa-apa, Mas. Baru turun." Pak Darmo meletakkan teko di meja bundar yang penuh debu.

"Kenapa? Dengar suara apa?"

Arka menggeleng, lebih ke dirinya sendiri.

"Nggak. Mungkin cuma angin."

"Angin di toko ini memang suka ngomong sendiri." Pak Darmo terkekeh, tetapi matanya tidak ikut tertawa. "Makanya saya jarang ke lantai bawah kalau sudah gelap."

"Pak Darmo bercanda, ‘kan?"

"Setengah." Jawaban itu mengambang di udara seperti asap dupa.

Arka kembali fokus pada lontar di tangannya. Tiga hari ia menghabiskan waktu di toko buku ini, mencari referensi untuk disertasinya yang mandek, "Rekonstruksi Peran Militer dalam Ekspansi Majapahit 1350-1389."

Judul yang ambisius untuk karirnya yang nyaris mati. Dua tahun mengajar sebagai dosen kontrak di kampus pinggiran dengan honor yang pas-pasan dan reputasi yang lebih pas-pasan lagi setelah papernya tentang "Mitos Sumpah Palapa" ditolak tiga jurnal berturut-turut.

"Ketemu yang menarik, Mas?" Pak Darmo menuang teh, uapnya mengepul membentuk pola-pola aneh di udara.

"Belum. Kebanyakan duplikat yang sudah saya baca." Arka meraih cangkir yang disodorkan.

"Bapak punya koleksi naskah pribadi dari era Majapahit? Yang belum dipublikasi?" tanya Arka sekadar basa-basi. Pikirannya carut-marut tidak jelas.

Pak Darmo diam sejenak, matanya menatap Arka dengan tatapan yang sulit diartikan. "Mas Arka yakin mau masuk lebih dalam?"

"Maksudnya?" Arka menatap Pak Darmo penasaran.

"Sejarah itu seperti kuburan, Mas. Kadang lebih baik dibiarkan tertidur."

Arka tertawa kering. "Pak Darmo ini bagaimana toh. Sejarawan kalau tidak menggali masa lalu, mau makan apa?"

"Tapi ada masa lalu yang menggali balik, Mas."

Hening sejenak. Hanya suara tetesan air dari keran bocor di belakang toko yang memecah kesunyian.

"Baiklah." Pak Darmo berdiri, lututnya berbunyi.

“Ada satu. Tapi saya peringatkan dulu, setelah Mas Arka baca, jangan bilang saya tidak kasih tau, ya!"

"Kasih tau apa?"

Pak Darmo tidak menjawab. Ia menghilang ke balik tirai batik yang memisahkan toko dengan ruang pribadinya. Arka bisa mendengar suara langkah kaki, lalu bunyi gesekan berat, seperti batu digeser.

Lima menit kemudian, Pak Darmo kembali membawa sebuah bundel yang dibungkus kain mori. Bau apak dan dupa kering menyeruak begitu bundel itu diletakkan di meja.

"Ini milik almarhum bapak saya," ucap Pak Darmo sambil membuka bungkusan dengan hati-hati.

“Bapak dulu sempat jadi abdi dalem di Keraton Yogya. Kira-kira sekitar tahun 70-an, saat ada pemugaran gudang pusaka, bapak menemukan ini tertimbun di bawah tumpukan gamelan rusak,” tutur Pak Darmo.

Yang muncul dari balik kain adalah sebuah bundel daun lontar yang terikat dengan tali ijuk. Sampulnya terbuat dari kayu cendana yang sudah menghitam dan ukiran rumit yang membentuk simbol-simbol aneh. Bukan aksara Jawa yang familiar di mata Arka.

"Itu simbol apa?" Arka menyentuh permukaannya. Dingin. Lebih dingin dari seharusnya.

"Tidak tahu. Bapak pernah coba tanyakan ke beberapa ahli, tapi tidak ada yang berani menerjemahkannya, Mas,” jawab Pak Darmo apa adanya.

"Tidak berani atau tidak bisa?" celetuk Arka yang makin penasaran.

"Mungkin keduanya." Pak Darmo menarik tangannya, membiarkan Arka yang memegang bundel itu.

"Yang terakhir coba membaca ini, Pak Warsito, ahli paleografi dari UGM. Tiga hari setelah membawanya pulang, beliau kecelakaan. Mobilnya masuk jurang di Kaliurang."

Arka menatap Pak Darmo. "Bapak percaya itu karena naskah ini?"

"Saya tidak percaya apa-apa, Mas. Saya cuma menceritakan fakta." Pak Darmo menuang teh lagi, tangannya sedikit gemetar.

"Setelah itu, bapak simpan lagi bundel ini. Baru sekarang saya keluarkan, karena Mas Arka kelihatannya … sangat-sangat putus asa, maaf!"

"Terima kasih sudah mengingatkan saya bahwa saya di ujung tanduk."

"Saya serius, Mas." Suara Pak Darmo berubah, lebih berat. "Kalau Mas memang mau baca, jangan dibawa pulang. Baca di sini. Dan kalau ada yang aneh, apa pun itu, langsung berhenti jangan lanjutkan!"

Arka ingin tertawa, tetapi ada sesuatu di mata Pak Darmo yang membuatnya urung. Ini bukan wajah orang yang bercanda.

"Baik. Saya akan baca di sini." Arka menarik kursi lebih dekat. "Boleh saya foto beberapa halaman?"

"Jangan. Jangan ada yang digital." Pak Darmo menggeleng keras. "Tulis tangan saja kalau mau catat."

"Kenapa?" Arka makin penasaran mengenai apa yang ada di balik lontar tersebut.

Pak Darmo tidak menjawab. Ia hanya menatap bundel lontar itu dengan tatapan yang Arka baru pahami bertahun-tahun kemudian. Takut, sangat takut.

"Saya tinggal dulu, Mas. Mau salat Maghrib. Kalau ada apa-apa, panggil saja. Saya di atas."

Setelah Pak Darmo menghilang ke lantai dua, Arka sendirian dengan bundel daun lontar itu. Cahaya lampu pijar bergoyang pelan membuat bayangan-bayangan menari di dinding. Ia menarik napas dalam, kemudian membuka ikatan ijuk yang mengikat erat lontar itu.

Begitu ikatan terlepas, hawa di ruangan seketika berubah. Lebih dingin dan lebih padat juga berat. Arka menggosok lengannya yang tiba-tiba merinding.

"Cuma sugesti," gumam Arka pada diri sendiri.

Arka membuka lembar pertama. Aksaranya Jawa Kuno, tetapi gaya penulisannya berbeda dari naskah-naskah yang pernah ia pelajari. Lebih kasar, lebih terburu-buru. Seperti ditulis oleh seseorang yang kehabisan waktu, dikejar deadline tugas yang harus dikumpulkan saat itu juga.

Arka mulai membaca perlahan, bibirnya bergerak mengikuti kata-kata asing itu.

"𝙄𝙣𝙜 𝙬𝙚𝙠𝙩𝙪 𝙎𝙖𝙣𝙜 𝘼𝙢𝙪𝙠𝙩𝙞 𝙋𝙖𝙡𝙖𝙥𝙖 𝙣𝙜𝙪𝙢𝙗𝙖𝙧 𝙨𝙪𝙢𝙥𝙖𝙝, 𝙖𝙣𝙖 𝙨𝙖𝙩𝙧𝙞𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙖𝙨𝙚𝙥 𝙞𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙖𝙣 𝙬𝙞𝙘𝙖𝙠𝙨𝙖𝙣𝙖 𝙞𝙣𝙜 𝙣𝙜𝙚𝙡𝙢𝙪. 𝙅𝙚𝙣𝙚𝙣𝙜𝙚 𝘼𝙙𝙞𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙒𝙖𝙝𝙮𝙪 𝘿𝙝𝙖𝙧𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖, 𝙙𝙞𝙨𝙚𝙗𝙪𝙩 𝙎𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙇𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩."

Yang berarti; "𝘿𝙞𝙬𝙖𝙠𝙩𝙪 𝙎𝙖𝙣𝙜 𝘼𝙢𝙪𝙠𝙩𝙞 𝙋𝙖𝙡𝙖𝙥𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙪𝙘𝙖𝙥 𝙨𝙪𝙢𝙥𝙖𝙝, 𝙖𝙙𝙖 𝙠𝙨𝙖𝙩𝙧𝙞𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙖𝙢𝙥𝙞𝙡 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙗𝙞𝙟𝙖𝙠𝙨𝙖𝙣𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙞𝙡𝙢𝙪. 𝙉𝙖𝙢𝙖𝙣𝙮𝙖 𝘼𝙙𝙞𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙒𝙖𝙝𝙮𝙪 𝘿𝙖𝙧𝙢𝙖𝙨𝙚𝙣𝙖, 𝙙𝙞𝙨𝙚𝙗𝙪𝙩 𝙎𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙇𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 " – 𝙎𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙇𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩

Arka berhenti. Ia tidak pernah mendengar nama itu dalam semua literatur Majapahit yang pernah ia baca. Tidak ada Adipati Wahyu Dharmasena dalam daftar pejabat atau jenderal di masa Gajah Mada.

"Menarik," bisiknya.

Ia melanjutkan membaca. Halaman demi halaman mengisahkan sosok Senapati Langit, seorang jenderal jenius yang menjadi tangan kanan Gajah Mada dalam menaklukkan Nusantara. Taktik perangnya brilian dan loyalitasnya tidak tertandingi. Namun, sesaat kemudian nada tulisannya berubah.

"𝙉𝙖𝙣𝙜𝙞𝙣𝙜 𝙠𝙖𝙨𝙪𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖𝙣𝙚, 𝙎𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙇𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 𝙤𝙧𝙖 𝙢𝙖𝙩𝙞 𝙞𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙙𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜. 𝘿𝙝𝙚𝙬𝙚𝙠𝙚 𝙙𝙞𝙠𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙖𝙠𝙚”

"𝙏𝙖𝙥𝙞 𝙠𝙚𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖, 𝙎𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙇𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙖𝙩𝙞 𝙙𝙞 𝙢𝙚𝙙𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜. 𝘿𝙞𝙖 𝙙𝙞𝙠𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣𝙠𝙖𝙣"

Tangan Arka berhenti. Jantungnya berdegup lebih keras.

"Dikorbankan? Dikorbankan untuk apa?"

Arka membalik halaman berikutnya. Di sana, tertulis dalam aksara yang lebih gelap, hampir seperti darah yang mengering.

"𝙆𝙖𝙣𝙜𝙜𝙤 𝙣𝙜𝙪𝙖𝙩𝙖𝙠𝙚 𝙨𝙪𝙢𝙥𝙖𝙝. 𝙆𝙖𝙣𝙜𝙜𝙤 𝙣𝙜𝙞𝙠𝙚𝙩 𝙥𝙖𝙩𝙞. 𝙂𝙚𝙩𝙞𝙝 𝙨𝙖𝙩𝙧𝙞𝙮𝙖 𝙨𝙪𝙘𝙞 𝙠𝙪𝙙𝙪 𝙙𝙞𝙩𝙪𝙢𝙥𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙞𝙣𝙜 𝙡𝙚𝙢𝙖𝙝 𝙒𝙞𝙡𝙬𝙖𝙩𝙞𝙠𝙩𝙖, 𝙨𝙪𝙥𝙖𝙮𝙖 𝙠𝙚𝙠𝙪𝙬𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙋𝙖𝙡𝙖𝙥𝙖 𝙡𝙖𝙣𝙜𝙜𝙚𝙣𝙜. 𝙉𝙖𝙣𝙜𝙞𝙣𝙜 𝙜𝙚𝙩𝙞𝙝 𝙨𝙞𝙣𝙜 𝙤𝙧𝙖 𝙧𝙚𝙡𝙖 𝙗𝙖𝙠𝙖𝙡 𝙙𝙖𝙙𝙞 𝙠𝙪𝙩𝙪𝙠𝙖𝙣"

"𝙐𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙪𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣 𝙨𝙪𝙢𝙥𝙖𝙝. 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙞𝙠𝙖𝙩 𝙢𝙖𝙩𝙞. 𝘿𝙖𝙧𝙖𝙝 𝙠𝙨𝙖𝙩𝙧𝙞𝙖 𝙨𝙪𝙘𝙞 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙩𝙪𝙢𝙥𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝 𝙒𝙞𝙡𝙬𝙖𝙩𝙞𝙠𝙩𝙖, 𝙖𝙜𝙖𝙧 𝙠𝙚𝙠𝙪𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙋𝙖𝙡𝙖𝙥𝙖 𝙖𝙗𝙖𝙙𝙞. 𝙏𝙖𝙥𝙞 𝙙𝙖𝙧𝙖𝙝 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙧𝙚𝙡𝙖 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙠𝙪𝙩𝙪𝙠𝙖"

Arka menelan ludah. Wilwatikta, nama kuno Majapahit.

"Ini … ini nggak masuk akal." Arka berbicara pada diri sendiri, mencoba rasional.

"Patih Gajah Mada nggak mungkin... ini cuma mitos. Propaganda lawan politik atau—"

Lampu pijar di atas kepalanya berkedip.

Sekali.

Dua kali.

Mati.

Kegelapan menyelimuti toko. Arka bisa mendengar degup jantungnya sendiri, cepat, sangat cepat seperti genderang perang.

"Pak Darmo?" Panggil Arka dengan suara serak. Tidak ada jawaban.

"Pak Darmo, lampunya mati!"

Masih hening.

Kemudian, di kegelapan itu, Arka mendengar suara. Bukan suara Pak Darmo. Suara lain yang lebih dalam dan lebih tua.

"Kowe wis maca, Le?"

(Kamu sudah membaca, Nak?)

Arka melompat berdiri, kursinya jatuh ke belakang dengan suara keras. Tangannya meraba-raba mencari ponsel di saku celananya. Lampu senter ponsel menyala menerangi ruangan, tetapi tidak ada siapa-siapa.

Lembaran lontar di meja kini terbuka di halaman yang berbeda. Halaman yang tidak Arka sentuh. Dan di sana, dengan aksara yang tampak basah, seperti baru ditulis.

"Senapati bakal bali. Getih balas getih. Kowe ora bisa mlayu."

(Senapati akan kembali. Darah balas darah. Kamu tidak bisa lari)

Napas Arka tersangkut di tenggorokan. Tangannya gemetar saat menyinari halaman itu. Tinta di lontar itu bergerak. Merembes. Seperti darah segar.

"Pak, Pak, Pak Darmo!"

Langkah kaki terburu-buru terdengar dari lantai atas. Pak Darmo menuruni tangga dengan napas tersengal membawa lampu darurat.

"Ada apa, Mas? Kenapa teriak-teriak?"

"I-in-ini, Pak." Arka menunjuk arah daun lontar itu. Namun, saat Pak Darmo menyinari halaman yang ia maksud, tulisan merah itu sudah hilang. Halaman itu kembali seperti lontar kuno biasa kering, rapuh, tidak ada yang aneh sama sekali.

"Tadi ada tulisan dengan tinta merah! Mirip seperti darah, Pak! Di sini!" Arka bersikeras.

Pak Darmo menatapnya dengan tatapan yang Arka tidak bisa baca. Takut? Simpati? Atau ... tahu sesuatu?

"Sudah saya bilang, Mas. Ada masa lalu yang menggali balik." Pak Darmo menarik napas panjang. "Mas Arka sudah membuka pintunya. Sekarang tinggal tunggu siapa yang masuk."

"Apa maksud Bapak?"

Pak Darmo tidak sempat menjawab karena tiba-tiba ponsel Arka berdering. Nomor tidak dikenal. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat.

"Halo?"

Yang terdengar dari seberang adalah suara perempuan, parau, dan serak.

"Kenapa kamu membuka kuburannya?" ucap perempuan itu dari dalam telepon.

"Siapa ini?" tanya Arka.

"Senapati sudah tahu namamu. Dia sudah, aaah—"

Sambungan terputus.

Arka menatap layar ponselnya, kemudian menatap Pak Darmo, lalu lontar di meja.

"Bapak" Suaranya nyaris berbisik. "Senapati Langit itu siapa sebenarnya?"

Pak Darmo menutup lontar dengan perlahan, tangannya bergetar.

"Bukan siapa-siapa, Mas. Tapi apa yang dia jadi setelah mereka membunuhnya.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca