

"Selamat atas keberhasilannya, Tuan Lucien!"
Lucien mengenakan kemeja abu-abu gelap dengan rompi hitam, tersenyum kepada seseorang yang menyapanya. Ia mengambil gelas berisi wine dari seorang pelayan yang mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu hitam dan celana senada. Lucien mengangkat gelasnya sambil tersenyum, tanpa membalas--sebuah gesture terima kasih yang tak terucap.
Senyum tanpa kata. Begitulah cara orang berkuasa berbicara.
Dalam gemerlap malam di sebuah kasino megah, semua orang mengenakan pakaian rapi. Para karyawan, dari pria hingga wanita, beserta tamu-tamu penting berlalu lalang. Mereka menyapa Lucien dengan hormat, memberikan senyum terbaik mereka.
Glovaria Casino adalah salah satu tempat perjudian terbesar di kota Melbert. Setelah berhasil menaklukkan pemiliknya, Lucien Edmund--seorang mafia paling ditakuti--berhasil menjadikan Glovaria Casino sebagai ladang uang terbesarnya.
Semua tamu bebas menghamburkan uang demi hadiah dengan peluang kemenangan besar di awal, namun peluang itu akan mengecil drastis pada permainan kedua. Begitulah sistem yang dirancang--mereka tetap bermain meski terus kalah.
Lucien berjalan gagah menapaki lantai bercorak catur hitam-putih yang mengkilap. Di lantai tiga tempat ia berada, orang-orang kelas elite bisa duduk sambil bermain dengan tenang dan nyaman.
Lucien menumpu kedua tangannya pada sekat pembatas, mengamati keramaian orang-orang di bawah yang serakah, ketakutan, bahkan ada yang meluapkan kebahagiaan dengan membuka baju di depan umum tanpa malu sambil berteriak girang.
"Woo! Keberuntungan berpihak padaku!"
Melihat pemandangan itu, Lucien hanya menaikkan sudut bibirnya, menahan tawa. 'Mereka tidak pernah mengerti. Keberuntungan tidak pernah berpihak pada siapa pun di tempat ini.'
"Apa kau menikmatinya?" tanya seseorang dengan suara berat dari belakang.
Pria yang mengenakan blazer merah, celana senada dengan kemeja putih di dalam, berjalan ke arahnya. Lucien menoleh, menegakkan tubuh, mengangkat bahu dan tersenyum tipis.
Pria tersebut menepuk pundak Lucien, lalu meletakkan kedua lengannya di atas sekat pembatas. "Aku rasa kau sangat menikmatinya!"
"Aku rasa usaha kita tidak sia-sia, bukankah begitu, Marcus?" tanya Lucien sambil menoleh ke samping.
Marcus. Satu-satunya orang yang Lucien percaya sejak mereka kecil di jalanan kotor kota ini. Satu-satunya yang tahu semua rahasia, semua kelemahan, semua luka yang Lucien sembunyikan di balik senyum dinginnya.
Marcus mengangguk setuju. "Setelah apa yang kita alami sejak kecil, ini sepadan."
Lucien menghela napas pelan, mengendurkan bahunya. "Dulu, anak-anak seperti kita hanyalah sampah di mata dunia. Bahkan jika salah satu dari kita tewas, dunia tak akan peduli asalkan sistem mereka tetap berjalan..."
"Mereka tidak pernah peduli," lanjutnya dengan memicingkan mata.
Marcus terkekeh, meninju pelan lengan Lucien. "Kau sok bijak lagi!"
"Ayolah, aku hanya mengatakan faktanya," balas Lucien disertai senyuman kepada sahabatnya.
"Kau benar, tidak ada yang peduli waktu itu," ucap Marcus, kini memandang lurus ke depan dengan alis yang menurun.
Marcus menegakkan tubuhnya, lalu berbalik dan berjalan beberapa langkah. Ia terhenti, kemudian menoleh. "Ayo ikut aku. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan--dan yang lain menunggu!"
Lucien menolehkan kepalanya, menegakkan tubuh perlahan. "Kejutan? Kau tahu, kau sangat buruk dalam memberikan kejutan."
"Sudahlah, ini pesta penyambutan untuk pemimpin Underworld terhebat!" ajak Marcus.
Lucien mendecih mendengarnya, mengangkat bahu. "Terima kasih kalau begitu," katanya, sedikit malu.
Dengan sekali lambaian, seorang pelayan datang. Lucien memberikan gelasnya yang hampir kosong untuk dibawa pergi. Kemudian ia berjalan lebih cepat untuk menyamai langkah sahabatnya.
Mereka berjalan di atas karpet merah yang membentang lurus menuju pintu ganda hitam dengan ukiran dua naga emas yang saling berhadapan. Dua pria berseragam kemeja putih dan celana hitam membungkuk tiga puluh derajat di hadapan mereka. Setelah memberikan hormat, keduanya meletakkan tangan di tengah masing-masing daun pintu dan mendorongnya ke dalam.
Perlahan cahaya dari dalam menyeruak keluar. Kedua pria berpakaian rapi itu menaruh tangan kanan di depan dada, mempersilakan masuk ke sebuah ruang dengan banyak kursi di sepanjang meja oval memanjang.
Sekitar dua puluh orang yang duduk di sana, tiba-tiba berdiri tegak ketika Lucien dan Marcus datang. Marcus melanjutkan perjalanan, lalu berdiri di samping sebuah kursi di ujung meja dengan sandaran kayu terukir motif bunga mawar yang menonjol.
Ia meletakkan tangan kiri di belakang, lalu tangan kanan mengisyaratkan ke arah kursi sambil sedikit membungkuk. "Silakan duduk, Pemimpin Underworld, Lucien Edmund."
Lucien tersenyum tipis, berjalan ke kursi itu dan duduk dengan salah satu kaki menyilang. Ia menumpu dagu dengan kedua telapak tangan yang saling menggenggam, sementara kedua siku bertumpu pada meja.
Lucien mengangguk sambil tersenyum, dan semua orang memahami isyarat itu. Mereka duduk di kursi masing-masing dengan tenang. Marcus menepuk tangan dua kali, tak lama pintu ganda terbuka lebar dan para pelayan berbondong-bondong membawa troli makanan.
Uap panas makanan masih terlihat, aroma daging steak premium tersaji begitu menggugah selera. Bahkan minuman anggur vintage abad ke-19 tersedia di sini.
"Silakan beri kata pembuka, Pemimpin Lucien," saran Marcus setengah berbisik.
Lucien mengangguk, mengambil gelas berisi wine yang baru dituang pelayan. Kemudian ia mengangkatnya agak tinggi. "Ini adalah pencapaian yang luar biasa!"
Semua orang menatapnya dengan senyuman, beberapa saling bertukar pandang dan mengangguk. Lucien terdiam sesaat.
"Dan untuk... untuk perayaan anak Marcus yang akan segera lahir!" serunya sambil menatap sahabatnya.
Marcus menundukkan kepala sejenak, menyembunyikan senyumnya. "Serta kerja keras kalian semua!"
Mereka mengangkat gelas masing-masing, lalu tertawa dengan nada rendah. Kemudian Lucien meminum wine terlebih dahulu, hingga setetes terakhir tak tersisa. Setelah habis, barulah anak buahnya yang terpercaya meminum wine masing-masing.
Sayangnya, tak lama setelah itu-
Dhap! Gelas wine dengan mangkuk lebar di atasnya tersentak di atas meja oleh Lucien, membuat yang lain menoleh. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, pandangannya kabur tak seperti biasanya. Ia hampir menjatuhkan kepala di atas steak, salah satu tangannya refleks menumpu tubuh sebelum hal itu terjadi.
"Mar... cus," panggil Lucien lirih.
Seolah ada yang memukul kepalanya dengan benda tumpul, pandangan kaburnya terus bergoyang. Ia menyadari orang-orang di hadapannya tertawa.
Marcus mengambil gelas di samping tangan Lucien, mendekatkannya ke hidung dan mencium aroma wine sambil memejamkan mata. "Siapa yang menyangka?"
"Bahwa pemimpin mafia terbesar saat ini di Underworld, akan dengan mudah ditumbangkan dengan segelas wine," ujar Marcus.
Dengan sisa kesadarannya, Lucien memegang lengan Marcus di sampingnya. "Racun... kenapa?" tanyanya dengan napas yang semakin berat.
"Hanya ada satu pemimpin di dunia bawah ini."
Marcus menghempaskan tangan Lucien dari ujung blazernya, lalu mundur beberapa langkah. Lucien jatuh tersungkur ke samping, terkulai lemas dengan napas pendek.
'Bodoh,' pikir Lucien dalam kesadarannya yang memudar. 'Aku terlalu percaya. Kesalahan yang sama yang kubuat sejak awal.'
"Dan kau lengah, Lucien Edmund!"