Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dewa Bisnis Dari Kolong Jembatan

Dewa Bisnis Dari Kolong Jembatan

Ainin | Bersambung
Jumlah kata
260.6K
Popular
8.2K
Subscribe
516
Novel / Dewa Bisnis Dari Kolong Jembatan
Dewa Bisnis Dari Kolong Jembatan

Dewa Bisnis Dari Kolong Jembatan

Ainin| Bersambung
Jumlah Kata
260.6K
Popular
8.2K
Subscribe
516
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeBisnisSistemBalas Dendam
Di salah satu kolong jembatan layang kota Jakarta, seorang pria tak dikenal dan tak punya identitas hidup dalam kesunyian dan ketidaklayakan. Jaka Wirawan, pria miskin sebatang kara yang merupakan seorang kuli panggul. Wajah lebam, lelah dan sakit-sakitan sudah biasa dia rasakan akibat perlakuan jahat orang sekitarnya. Jaka bahkan kehilangan rumah satu-satunya yang dia punya karena salah memilih istri yang berakhir menceraikan dan mengusirnya dari rumah. Tetapi, suatu malam sebuah suara Sistem masuk ke telinganya, mengenalinya sebagai calon penguasa dan dewa bisnis yang akan mendominasi dunia. "Pengenalan identitas selesai, 10 milyar pertama sudah masuk ke dalam rekeningmu. Sekarang pergi, tunjukkan dirimu sebagai Dewa Bisnis dan tundukkan semua orang dibawah kakimu!”
Bagian 1

Brak!

Jaka terperanjat pagi itu, saat dia baru tiba di teras setelah berusaha mencari pekerjaan apa hari ini. Namun harus dihadapkan dengan Riana yang tiba-tiba muncul.

“Riana, ada apa ini?” tanya Jaka, menatap istrinya yang sudah mendengus.

"Aku nggak bisa hidup seperti ini lagi, Jaka. Kamu bukan lelaki yang bisa memberiku masa depan!"

Suara Riana terdengar dingin seperti angin badai yang tak punya belas kasih. Wanita itu berdiri di depan pintu rumah dengan tas kecil dilemparkan wanita itu ke hadapannya. Jaka, yang baru saja pulang membawa dua bungkus nasi kucing untuk makan sarapan mereka, tertegun.

"Apa maksudmu?" tanya Jaka lirih, napasnya masih berat karena naik sepeda sejauh lima kilometer.

"Aku mau kita cerai," jawab Riana tanpa ragu, bahkan menatap tajam wajah Jaka. "Aku sudah muak hidup miskin! Bangun tidur cuma bisa lihat genteng bocor, dapur kosong, dan kamu yang setiap hari bilang ‘sabar’ seakan itu bisa bikin kenyang."

Jaka menurunkan nasi bungkus dari tangannya, mencoba mendekat. "Riana, aku tahu hidup kita susah sejak aku dipecat. Tapi kita masih bisa berjuang bareng. Aku belum menyerah."

"Aku sudah!" potong Riana. "Dan jangan coba-coba sok dramatis. Aku sudah bayar pengacara, rumah ini akan jadi atas nama ayahku, dan kamu nggak akan punya hak satu batu bata pun di sini."

Jaka tercekat. "Apa?! Kamu bercanda, kan? Ini rumahku!”

"Aku serius, ini sudah bukan rumahmu mulai sekarang!" Riana melemparkan amplop coklat ke lantai. "Ini surat cerainya. Tanda tangan saja, lalu pergi."

"Nggak! Aku suamimu, Riana! Kita janji di depan penghulu untuk saling setia, susah senang-"

"Jangan bawa-bawa janji kalau kamu sendiri nggak sanggup bikin hidup kita lebih baik!" bentak Riana, matanya memerah. "Aku sudah cukup sabar jadi istri dari lelaki yang bahkan nggak bisa bayar uang listrik! Aku sudah cukup pura-pura kuat saat tetangga bilang aku bodoh menikahimu! Aku bodoh, memang bodoh selama ini karena mau nikah sama kamu yang cuma modal janji! Laki-laki sialan!”

Jaka diam, seperti seseorang yang tenggelam dalam lumpur dan tak mampu berenang.

"Terus aku harus tinggal di mana?" tanya Jaka, suaranya tercekat, berusaha menggapai titik hati nurani Riana.

Gadis yang dulu dia cintai masa SMA, sampai sekarang. Apapun akan Jaka lakukan untuk Riana, hanya saja dia baru dipecat beberapa bulan lalu dari pekerjaannya, hingga sekarang dia jadi pengangguran dan Riana pun membuangnya.

"Aku nggak mau tahu..." Riana memalingkan wajahnya dan bersedekap. “Pergi dari rumah ini, jangan pernah kembali lagi!”

Tak lama Riana masuk ke dalam rumah, tapi dia kembali lagi membuat Jaka menatapnya dengan harapan. Namun, Riana malah menyambar satu nasi kucing yang terjatuh di atas teras.

“Anggap saja ini nafkah terakhir yang kamu lakukan, setelah ini aku nggak mau melihat wajahmu lagi!”

Kalimat itu seperti pukulan telak di wajah Jaka. Terlebih saat Riana menutup pintunya, meninggalkan Jaka sendiri di depan pintu yang belum sepenuhnya pagi. Tak ada tangisan dari Riana, tak ada air mata, hanya tatapan dingin dari wanita yang pernah Jaka cintai sepenuh hati.

***

Tiga hari kemudian, Jaka benar-benar tak punya apa pun. Semua barang yang dia miliki dibuang atau dirampas secara "hukum". Dia tinggal di bawah kolong jembatan dekat pasar tradisional. Bantalnya adalah tas kain yang sudah sobek, dan selimutnya hanyalah jaket lusuh pemberian tetangga lama yang iba.

Dengan beberapa sisa sampah bekas kampanye, Jaka berhasil membangun tenda kumuh di bawah kolong jembatan, bersama pengemis-pengemis lainnya.

Setiap pagi Jaka harus bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Dia pikir akan hidup dalam keheningan, sampai sosok dari masa lalunya muncul, Damar Kuntoaji, teman semasa SMA dan pria yang juga pernah menyukai Riana.

"Jadi ini kamu sekarang, Jaka?" tanya Damar sambil tertawa kecil, berdiri di depan salah satu toko kelontong. "Dulu sok romantis banget sama Riana. Sekarang? Gembel."

Jaka tak menjawab, hanya menunduk, menggenggam karung beras yang baru saja dia angkut.

"Aku dari dulu sudah tahu kamu nggak pantes buat Riana karena nggak punya latar dan kekayaan apa-apa. Makanya aku bantu dia buka mata. Dan... lihat sekarang, dia akhirnya menceraikan kamu! Hahaha, nggak ada gunanya memang mempertahankan suami sepertimu! Sampah!" maki Damar lagi membuat Jaka mengangkat kepalanya kali ini.

“Jadi, kamu yang sudah menghasutnya?!”

“Tentu saja, aku! Aku memang pengen menghancurkan hidupmu sejak berani menikahinya,” tutur Damar serius, lalu berkata lagi. “Tapi jangan senang dulu, masih ada kejutan lain.”

Jaka mengeraskan rahangnya, tapi Damar tak peduli dan malah menjentikkan jari. Tak lama muncul seorang pria besar dengan wajah seram dan bekas luka panjang di pipinya, beberapa anak buahnya berjalan petantang-petenteng di belakang pria itu, menunjukkan aura sok berkuasa mereka.

"Kenalin, ini Anton Silet. Dia yang bakal bikin hidupmu makin menyenangkan."

Sebelum Jaka sempat bereaksi, Anton mendorong dadanya kuat-kuat hingga dia jatuh ke tumpukan sayuran busuk.

“Aghh …” Jaka memegang sikunya yang tergores, sakit.

"Bangun, kuli busuk!" gertak Anton. "Mulai hari ini, lo bakal bayar pajak wilayah buat numpang hidup di daerah kami!"

Jaka mencoba berdiri, tapi Anton langsung menendang perutnya. Nafas Jaka terputus, dia tak menduga akan diperlakukan seperti ini.

"Mulai hari ini, berapapun uang yang kamu dapat dari angkut barang, kami ambil semua. Ngerti?!" sahut salah satu anak buah Anton.

"Tapi, Bang, aku... aku butuh makan..." kata Jaka pelan, darah merembes dari sudut bibirnya.

"Kalau butuh makan, ngemis sana! Jangan kerja kalau nggak siap bayar keamanan!" Anton meninju wajah Jaka, keras, cepat, tanpa belas kasihan.

Jaka jatuh lagi, kali ini ke tanah becek. Beberapa anak buah Anton memukulinya, membuat Jaka babak belur dan menahan sakit sementara Damar hanya tertawa.

“Urus dia, pastikan jangan buat hidupnya enak,” titah Damar membuat Anton tersenyum lebar padanya.

“Aman, Bos!”

Damar tertawa, berjalan pergi meninggalkan Jaka yang masih dipukuli. Sementara itu, orang-orang pasar hanya melirik, lalu kembali beraktivitas seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada satupun yang mau menolong Jaka walaupun tubuhnya sudah babak belur.

Anton Silet memang dikenal preman pasar yang ditakuti, Jaka juga salah sudah berurusan dengan mereka.

***

Sejak saat itu, hari-hari Jaka menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Setiap pagi ia dipukuli, siang hari uangnya dirampas, dan malam hari dia menangis di kolong jembatan.

Seperti malam ini, di malam yang dingin menusuk kulit. Jaka terkapar dalam keadaan babak belur, tak mampu bangkit dan nyaris mati.

"Apa aku memang diciptakan untuk dihina seperti ini?" bisiknya penuh derita, tubuhnya gemetar sakit, lemah dan tak punya kemampuan lagi. "Kenapa aku harus dilahirkan hanya untuk disiksa? Bahkan untuk makan pun aku harus berharap sisa orang lain."

Hari ini, Jaka belum makan, dia tak sanggup mencari makanan di tempat-tempat sampah. Tubuhnya semakin kurus, tulangnya menonjol, dan luka-luka di wajahnya belum sempat mengering ketika ditambah luka baru. Sekarang dia tergeletak di atas kardus dalam gubuk lapuk dan lusuh miliknya, napasnya memburu, dan darah masih menetes dari pelipisnya.

"Ya Tuhan, biarkan aku mati ... Aku mau mati saja..."

Lalu, di ambang kehilangan kesadaran, suara aneh tiba-tiba terdengar di kepalanya.

[Pendeteksian : Subjek dalam kondisi nyaris sekarat… Memulai aktivasi darurat…]

"Apa... itu?" gumam Jaka lirih, tak yakin apakah ia mendengar suara nyata atau halusinasi.

Tubuhnya seolah mulai digerogoti kematian, jadi tak ada waktu untuk memperhatikan apapun.

[Subjek teridentifikasi: Jaka Wirawan. Sistem Kekayaan Serba Gila terhubung. Pemulihan tubuh dimulai.]

Tubuh Jaka mulai terasa hangat. Luka-lukanya, satu per satu, seperti tertarik keluar dari tubuhnya. Sakit yang mendera seolah menguap. Tulangnya terasa padat, otot-ototnya menguat. Bekas pukulan di wajahnya lenyap seperti tak pernah ada. Sesaat, dia bahkan kaget ketika bisa duduk, lalu berdiri dengan baik.

[Penguatan otot dasar selesai. Sistem anti-nyeri aktif. Fitur serangan defensif terpasang. Selamat datang, Jaka. Lakukan misi : Menjadi Dewa Bisnis yang menguasai dunia! Akses kekayaan akan segera masuk ke dalam hidupmu!]

Napas Jaka memburu kaget antara tak percaya dan juga senang. Dia menatap tangannya sendiri, bersih, tanpa luka, dan terasa begitu kuat.

“Aku sembuh?”

[Ya, kau sudah sembuh, Jaka Wirawan. Perkenalkan aku adalah Sistem Kekayaan milikmu, segala akses kekayaan untukmu sedang diurus, tunggu beberapa detik lagi.]

Jaka tertegun mendengar suara itu di kepalanya. “Ini serius? A-aku mendapatkan sistem?” batinnya tak percaya, tapi tubuhnya yang sehat membuatnya yakin.

Ini adalah hidup yang baru!

Malam itu, dari kolong jembatan yang busuk, seorang yang sudah hampir mati bangkit bukan sebagai kuli miskin... tapi sebagai calon Dewa Kekayaan.

Jaka menatap gelap malam dengan tatapan baru, ada rasa sakit, dendam dan emosi menguasai hatinya.

"Terima kasih, siapapun kau. Aku... belum mati hari ini! Lihat saja apa yang akan kulakukan kedepannya!" Jaka berkata penuh tekad, sebelum bertanya. “Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?”

[Apa saja, terutama pergilah jadi Dewa Bisnis dan balaskan dendammu!]

Lanjut membaca
Lanjut membaca