

Matahari siang itu sangat terik, terasa membakar kulit, sinarnya yang cerah memantul dari besi-besi tulangan yang berserakan di lokasi konstruksi. Udara begitu terasa pengap, bercampur debu dan bau semen yang menyengat di sekitar lokasi itu.
Arka Pratama.
Seorang pria dengan seragam oranye yang kusam dan penuh noda, duduk lesu di atas tumpukan bata merah. Wajahnya tampak kusut, garis-garis kelelahan tercetak jelas di sekitar matanya. Tangannya yang kekar dan berotot, hasil dari bertahun-tahun bekerja keras semenjak putus sekolah, menggenggam erat botol air mineral. Dengan beberapa kali teguk, ia menenggak isinya hingga tandas, berusaha membasahi kerongkongan yang terasa begitu kering.
"Jangan lama-lama istirahatnya, Bung!" suara berat Pak Mandor memecah lamunannya. Pria berkumis tebal itu berjalan melewati Arka dengan matanya yang melirik tajam.
Arka tersentak kaget, lalu mengangguk cepat. "Siap, Pak!" jawabnya, berusaha menyembunyikan rasa lelah dengan senyum yang di paksakan.
Setelah Mandor berlalu, pria yang memiliki lesung Pipit itu menghela napas panjang. Perlahan ia mendongak menatap langit biru tanpa ada gumpalan awan sedikit pun. Lalu dengan punggung tangan, ia mengusap keringat yang membasahi kedua pelipisnya.
Arka duduk dengan kaki yang terjulur lurus ke dapan. Dengan gerakan lesu, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet hitamnya yang sudah sangat usang kumal. Dompet hitam bergambar Spiderman itu tampak lusuh, kulitnya mengelupas di beberapa bagian. Dengan wajah yang lesu ia membukanya. Perlahan matanya menyipit dan tersenyum getir melihat isi dompetnya sendiri.
"Gajian masih tiga hari lagi, mana uang tinggal segini..." gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Ia mengeluarkan selembar uang berwarna biru, satu lembar warna hijau dan beberapa uang koin yang ia kumpulkan.
Ia menatap uang itu sejenak, lalu memasukkannya kembali ke dalam dompet dengan ekspresi acuh tak acuh. "Baiklah, dua hari ke depan aku harus makan mi instan lagi dan di tutup dengan obat asam lambung!" Katanya dengan helaan nafas panjang.
Setelah mengatakan itu, tiba-tiba, ponsel di saku celananya bergetar.
Drrttt....
Drrttt...
Arka tersentak kaget. Dengan punggung yang beringsut mundur, dan gerakan yang tergesa-gesa, ia mengeluarkan ponselnya.
Ada raut kecewa dan tegang saat matanya menyipit melihat nama "Ibu" tertera di layar. Sebuah desahan kecil lolos dari bibir pria itu tanpa sengaja. Bahunya perlahan merosot ke bawah, lalu dengan ragu, jarinya menggeser tombol hijau ke samping.
"Ya, Bu?" sapa Arka dengan datar dan terkesan dingin.
"Kau ada uang tiga juta? Cepat kirim ke Ibu sekarang!" jawab ibunya langsung, tanpa basa-basi.
Pria itu menghela napas. "Mana ada, Bu. Semua uang yang aku punya sudah dikirim minggu kemarin. Gajian juga masih beberapa hari lagi."
Ratna Wulandari, yang tak lain ibu kandung Arka tampak meradang mendengar jawaban putranya itu. Suaranya lantas lebih tinggi dari sebelumnya nyaris seperti berteriak. "Kau kira Ibu tidak tahu, hah! Hari ini jadwalmu menerima upah dari restaurant busuk itu kan? Nah... nanti langsung kirimkan ke Ibu secepatnya!"
"Bu, Bu... enggak bisa. Itu buat biaya sewa kontrakan dan setoran motor. Belum lagi buat bayar air dan listrik. Kalau di kirim ke ibu lagi, aku di sini mau bagaimana?" Arka dengan kepala yang mulai panas mencoba menjelaskan keadaannya. Berharap jika Ratna akan mengerti.
Entah bakti seperti apa lagi yang harus Arka lakukan.
Setelah putus sekolah di bangku menengah atas tahun ke dua, hingga kini ia berusia tiga puluh tahun, pria itu sudah merasakan kerasnya kehidupan. Bahkan demi kata 'bakti' nya anak pada orang tua, pria kurus namun tegap itu harus mengambil tiga pekerjaan sekaligus untuk menghidupi dirinya, dan keluarganya.
Ya... Ia dijadikan tulang punggung keluarga sejak remaja. Yang paling menyakitkan, sang ibu sama sekali tak perduli meskipun ia tahu jika Arka hanya memiliki waktu tidur tiga jam sehari demi untuk bertahan dan menuruti kemauannya. Wanita yang memiliki rambut ikal gelombang itu tetap tanpa malu terus memerasnya tanpa ampun.
"Bakti pada orang tua, balas budi, dan harus tahu diri!" Kata-kata itu selalu diucapkan Ratna untuk memaksa Arka agar terus menuruti kemauannya.
"Hei! Arka... kau tuli hah!?" sentak Ratna sekali lagi, ketika putranya itu terdiam cukup lama tanpa suara.
"Tidak bisa, Bu. Lagi pula, untuk apa Ibu minta sebanyak itu?" tanyanya dengan nada datar.
Mendengar pertanyaan itu, terdengar gelak tawa dari ibunya, "Kau tahu, besok malam Riko akan melamar kekasihnya. Ah... Calon adik iparmu itu tak cuma cantik, ia juga begitu baik hati. Ia hanya meminta adikmu untuk memberikannya sebuah cincin, tak perlu pesta atau makan malam apapun!" terang Ratna dengan sangat antusias.
Mendengar cerita yang begitu menyesakkan hati, Arka mengusap keningnya yang berkeringat. "Bu, baru minggu kemarin aku kirim semua gajiku. Mana mungkin sudah habis? Uangku juga cuma pas-pasan."
"Habis ya habis! Kau pikir uang lima juta darimu itu bisa mencukupi semuanya! Ibu tidak mau tahu, hari ini kau harus kirimkan uang itu! Kalau sampai lamaran adikmu gagal karena enggak ada uang, awas saja! Ibu takkan mengizinkanmu untuk mendatangi pemakamanku nanti!" bentak ibunya, suaranya semakin tinggi. Membuat Arka secara reflek menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Bu... Sungguh, aku benar-benar tidak punya!"
"Tega kau ya! Ibu sudah melahirkan dan membesarkan mu susah payah, bahkan sampai mengorbankan nyawa, kau berani menolak permintaan ibu mu ini? Hatimu di mana Arka?!!"
Pria yang sudah menginjak kepala tiga itu memejamkan mata. Ia memandang ke arah rekan-rekannya yang sedang mengaduk semen di kejauhan. Ia menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi lelah. Lelah yang teramat sangat. Seperti orang yang mendengar lagu sama yang terus diputar berulang-ulang.
"Bu, kalau Riko ingin melamar kekasihnya, seharusnya dia bekerja dan mengumpulkan uang. Jangan terus meminta uang dariku," jawab Arka pada akhirnya, berusaha agar tetap tenang.
"Kau jangan sombong, Arka. Dia itu adik kandungmu, sudah jadi kewajiban kau membantu dan menyayanginya. Gaji enggak seberapa tapi sok pelit sama keluarga sendiri!"
Kata-kata itu lagi... Arka menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak. "Ibu, aku---"
Belum sempat Arka menyelesaikan ucapannya, Ratna sudah menimpali dengan cepat, "Aduh... Ya Tuhan, dosa apa aku memiliki anak seperti dia! Jika aku tahu anak yang aku rawat dan aku besarkan menjadi pembangkang, lebih baik aku tak melahirkan nya! Sakit hatiku, Tuhan!" gerutu Ratna dengan nada bicara yang dibuat penuh dengan penyesalan.
Gemuruh di dada Arka sudah tak bisa di tahan lagi. Sesak itu semakin kuat. Dari pada menjawab, ia lebih memilih mematikan panggilan telepon itu.
Tak sanggup lagi jika Arka harus mendengar kata-kata yang menyakitkan dari ibu kandungnya.
Perlahan, tubuhnya melorot ke bawah dengan desahan napas panjang. Pria itu terduduk dalam dengan punggung yang membungkuk di tanah yang sedikit basah, dengan kedua tangan yang mencengkeram rambutnya kuat.
"Bagaimana ini? Dari mana lagi aku dapat uang tiga juta itu?" bisiknya putus asa. Kepalanya berdenyut nyeri, seolah ada palu yang terus menghantamnya berulang kali.
Tuntutan dari sang ibu yang tak ada habisnya selama ini, membuat Arka semakin lama semakin menumpuk hutang. Entah mengapa semua perjuangannya dengan terus bekerja paruh waktu tanpa mengenal lelah itu bahkan tak mampu memuaskan kemauan Ratna.
Dari pekerja bangunan, pelayan di kafe, hingga menjadi ojek online di akhir pekan, hanya membuat tubuhnya semakin kurus, dan wajah yang semakin pucat.
"Utangku pada Bos Erwin saja sudah sampai sepuluh juta. Sekarang aku mau pinjam di mana lagi?" Pria itu memijat pangkal hidungnya dengan kuat.
Entah sudah beberapa kali pria itu menghela napas putus asa sebelum seseorang menyentuh bahunya dengan sedikit kasar.
"Arka, ada apa?"
****