

Bab 1: Pintu Gerbang Terbuka dan Kehidupan Sang Hunter E
Langit Jakarta tidak lagi sama sejak sepuluh tahun lalu. Retakan besar, seperti luka menganga di angkasa, pernah muncul di atas Monas, memuntahkan makhluk-makhluk mengerikan dari dimensi lain. Mereka menyebutnya ‘Gerbang Dimensi’.
Dunia berubah menjadi medan perang. Pemerintah lumpuh, militer kewalahan, sampai akhirnya muncullah mereka: Para Hunter. Manusia-manusia terpilih yang memiliki kekuatan untuk melawan.
Daniel Ananta tahu semua itu. Ia hidup di tengah kekacauan ini setiap hari. Aroma karat darah monster, debu reruntuhan bangunan, dan keputusasaan adalah bagian dari rutinitasnya. Daniel adalah seorang Hunter, tapi bukan Hunter yang diagungkan media. Ia hanya Hunter Rank E. Paling rendah. Paling lemah.
Pagi itu, Daniel berdiri di depan cermin kecil di kamar kos sempitnya. Bayangannya memantulkan seorang pemuda berusia awal dua puluhan, dengan tatapan lelah namun penuh tekad. Jaket kulitnya yang usang terasa seperti kulit kedua. Ia menghela napas, mengikat rambut hitamnya yang sedikit gondrong.
"Kak Daniel sudah mau pergi?" suara lembut Aprillia, adiknya, terdengar dari pintu. Aprillia, dengan rambut sebahu dan mata polos, adalah satu-satunya alasan Daniel terus bertahan.
Daniel tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keletihan di matanya. "Iya, Pril. Ada misi pagi ini."
"Hati-hati, ya. Jangan sampai terluka lagi," pinta Aprillia, suaranya sedikit bergetar. Dia tahu risiko yang dihadapi kakaknya.
"Pasti. Kamu jaga Ibu, ya. Obatnya jangan lupa," pesan Daniel sambil menepuk puncak kepala Aprillia. Ibunya terbaring lemah di kamar sebelah, menderita penyakit misterius yang hanya bisa diringankan dengan ramuan mahal dari dungeon. Ramuan yang hanya bisa didapatkan oleh Hunter.
Setelah sarapan seadanya, Daniel pamit. Di jalanan yang ramai, ia melihat poster-poster pahlawan Hunter S-Rank terpampang di mana-mana. Dimas Aditya, sang "Naga Api", atau Adellia Laras, "Pedang Suci Asia". Nama-nama yang dielu-elukan. Daniel hanya bisa menatapnya sekilas, tanpa iri. Baginya, pahlawan sejati adalah yang bisa membawa pulang uang untuk keluarga.
Ia tiba di titik kumpul untuk dungeon Rank D di pinggiran kota. Sebuah bangunan kantor lama yang kini menjadi sarang monster. Timnya sudah menunggu: seorang tanker bertubuh besar bernama Budi, dua DPS (Damage Per Second) lincah bernama Santi dan Arya, dan Healer bernama Lia. Daniel adalah anggota paling tidak penting di tim itu. Tugasnya? Menarik perhatian monster atau menjadi umpan jika keadaan genting.
"Oi, Daniel! Akhirnya nongol juga kau," sapa Budi dengan suara serak. Matanya melirik Daniel dengan sedikit rasa jijik. "Jangan sampai jadi beban lagi, ya. Dungeon Rank D ini bukan taman bermainmu."
Daniel hanya mengangguk, terbiasa dengan cibiran. "Aku akan berusaha."
Santi, seorang wanita dengan tato naga di lengannya, berdecak. "Berusaha apanya? Power levelmu saja cuma 1800. Bocah kemarin sore."
Daniel mencoba tidak terpengaruh, tetapi ia merasakan gelombang kekuatan Santi yang mencapai 2800, Arya dengan 3100, dan Budi yang kokoh di 3500. Lia, sang Healer, punya 2500. Jauh di atasnya. Ia adalah yang terlemah di tim ini.
"Sudahlah, ayo masuk," kata Arya. "Waktu adalah uang."
Pintu baja yang dulunya adalah pintu masuk kantor kini terbuka sebagian, mengeluarkan hawa dingin dan bau amis. Mereka memasuki kegelapan. Obor mana menyala, menerangi koridor yang penuh retakan dan lumut.
"Formasi standar!" teriak Budi. "Tank di depan, DPS di samping, Healer di tengah. Daniel, kau ikut di belakang Santi."
Mereka bergerak hati-hati. Suara langkah mereka bergema di ruangan kosong. Tiba-tiba, dari balik tumpukan meja yang roboh, seekor Goblin muncul. Kulitnya hijau keriput, matanya merah menyala, dan memegang belati berkarat. Level 12, powernya 900.
"Goblin!" teriak Santi. "Daniel, tarik perhatiannya!"
Daniel tidak menunggu dua kali. Ia berlari maju, mengayunkan belati tumpulnya. Goblin itu mendesis, melompat ke arah Daniel. Daniel mengelak dengan cekatan, namun belati Goblin berhasil menggores lengannya. Darah segar mengalir.
"Sialan!" umpat Daniel. Ia mencoba menusuk, tapi Goblin itu terlalu lincah.
"Cih, dia payah sekali!" cibir Arya. "Santi, habisi saja!"
Santi melepaskan rentetan panah api. Swish! Swish! Swish! Tiga panah menembus tubuh Goblin, membakarnya menjadi abu dalam hitungan detik.
"Sudah kubilang, jangan jadi beban!" Budi menatap Daniel dengan marah. "Luka begitu saja, kau hampir membuat kita kehilangan momentum."
Daniel hanya bisa menghela napas, menahan rasa sakit di lengannya. Lia segera datang dan mengaplikasikan sihir penyembuh dasar. Luka itu perlahan menutup, meninggalkan bekas luka baru di antara bekas luka lama.
Mereka melanjutkan perjalanan. Dungeon Rank D ini lebih sulit dari yang diperkirakan. Mereka bertemu gerombolan Goblin, bahkan beberapa Orc muda yang lebih besar dan kuat. Daniel terus-menerus ditempatkan sebagai umpan, berulang kali nyaris tewas. Setiap kali, ia melihat kekesalan di mata rekan-rekannya.
"Berhenti di sini! Aku dengar suara gemuruh," kata Budi, mengangkat perisainya.
Mereka berada di sebuah aula besar yang dulunya mungkin adalah ruang rapat. Di tengahnya, berdiri sesosok Minotaur yang lebih kecil dari rata-rata, tapi jelas lebih berbahaya dari Goblin manapun. Kulitnya tebal, tanduknya tajam, dan ia menggenggam kapak raksasa. Level 20, powernya 3000.
"Minotaur!" teriak Arya. "Hunter D! Ini monster bosnya!"
"Daniel, kau tarik perhatiannya ke sisi kanan! Santi dan Arya dari kiri, Budi dari depan!" perintah Budi.
Daniel menelan ludah. Minotaur itu jauh lebih kuat darinya. Power 1800 Daniel terasa menyusut di hadapan monster itu. Namun, ia tidak punya pilihan. Ibunya. Aprillia. Ia harus bertahan.
Daniel berlari, berusaha menarik perhatian Minotaur. "Hei, dasar monster jelek!" teriaknya, mengayunkan belati ke arah kaki Minotaur.
Minotaur itu menggeram, mengayunkan kapaknya dengan kekuatan mematikan. SWOSH! Kapak itu menghantam dinding di belakang Daniel, menciptakan retakan besar. Daniel berguling, nyaris tidak selamat. Jantungnya berdebar kencang di dadanya.
"Bodoh! Jangan terlalu dekat!" teriak Budi.
Santi dan Arya mulai menyerang dari sisi kiri, panah dan mantra api menghujani Minotaur. Namun, kulitnya terlalu tebal. Budi maju, perisainya berbenturan dengan kapak Minotaur, menghasilkan suara dentuman logam.
Daniel terus bergerak, berusaha mencari celah. Belatinya tidak akan banyak berguna. Ia melihat Minotaur itu bergerak untuk menyerang Budi dengan kapak yang kuat.
"Budi, awas!" teriak Daniel.
Namun, Budi terlalu fokus pada pertahanannya. Daniel melihat celah. Ia harus melakukan sesuatu. Tanpa pikir panjang, ia menerjang maju, menusukkan belatinya ke bagian paha Minotaur yang tampak kurang terlindungi. Tusukannya tidak dalam, tapi cukup untuk membuat Minotaur terhuyung dan mengalihkan perhatiannya.
"GRAAAHH!" Minotaur meraung kesakitan, matanya beralih ke Daniel.
"Dasar idiot!" teriak Budi. "Kau mengacaukan formasi!"
Minotaur yang marah mengayunkan kapaknya ke arah Daniel. Daniel tidak punya waktu untuk mengelak. Ia mengangkat kedua tangannya, bersiap menerima hantaman. Dalam sepersekian detik, ia membayangkan wajah ibunya dan Aprillia.
DUAARGH!
Hantaman itu tidak mengenai Daniel. Sebuah perisai energi muncul di depannya, menahan kapak Minotaur. Lia, sang Healer, mengaktifkan skill pertahanannya. Namun, Lia sendiri terhuyung, wajahnya pucat.
"Lia!" teriak Santi. "Kau menggunakan mana terlalu banyak!"
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Saat Minotaur sedikit kehilangan keseimbangan, Santi melompat, menusuk matanya dengan belati beracunnya. Arya melepaskan mantra api terkuatnya, membakar kepala Minotaur. Monster itu meraung kesakitan sebelum akhirnya tumbang, tubuhnya perlahan menghilang menjadi partikel cahaya.
"Hah... akhirnya selesai," Budi terengah-engah, menjatuhkan perisainya.
Semua anggota tim menatap Daniel dengan tatapan campur aduk: marah, kesal, tetapi juga sedikit terkejut.
"Apa-apaan tadi itu, Daniel?" tanya Santi. "Kau hampir membuat Lia pingsan dan membahayakan kita semua!"
"Aku hanya... ingin membantu," jawab Daniel, suaranya pelan. "Aku melihat Budi dalam bahaya."
"Membantu?! Kau itu beban, bodoh!" teriak Budi. "Kalau Lia tidak bertindak, kau sudah mati dan misi ini bisa gagal!"
Lia menggelengkan kepala. "Tapi dia memang menyelamatkan Budi. Jika Daniel tidak mengalihkan perhatian, kapak itu pasti mengenai Budi."
Ada keheningan canggung. Arya menatap Daniel dengan pandangan tidak terbaca. "Sudahlah. Ayo kita ambil inti monster dan cepat keluar dari sini."
Daniel hanya bisa mengangguk. Ia merasakan sakit di lengannya, di kepalanya, dan di hatinya. Ia tahu ia lemah. Ia tahu ia sering menjadi beban. Tapi ia tidak akan pernah berhenti. Demi keluarganya.
Saat mereka meninggalkan dungeon, Daniel melihat power level Budi sekali lagi: 3500. Daniel menghela napas. Ia hanya punya 1800. Terlalu jauh. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi lebih kuat. Apapun risikonya