Suara dalam Mimpi
> “Apakah kau masih mengingat nama langit itu, Kael...?”
Angin malam menyapu lembut padang rumput di tepi desa Althera, membawa aroma tanah basah, bunga liar, dan... sesuatu yang lain. Suatu bisikan. Lirih, tapi menusuk.
Ardyn menggeliat dalam tidurnya. Keringat dingin membasahi dahinya, walau musim semi belum cukup hangat untuk membenarkan keringat seperti itu. Matanya berkedut. Tubuhnya menggigil. Ia bermimpi—lagi.
Dan seperti malam-malam sebelumnya, mimpi itu bukan mimpi biasa.
---
Dalam mimpinya, dia berdiri di atas dataran berwarna obsidian. Langit di atasnya dipenuhi retakan cahaya, seperti kaca yang hendak pecah. Sembilan sosok berdiri melingkar, diselimuti jubah cahaya dan bayangan, wajah mereka tak bisa ia lihat. Namun sorot mata mereka menusuk jantungnya—bukan dengan kebencian, tapi rasa kehilangan.
Seorang di antara mereka—yang tubuhnya memancar seperti api padat dan matanya berkilau seperti matahari pertama di pagi hari—melangkah maju.
> “Kael’Tharion,” katanya. “Kau meninggalkan segalanya. Termasuk kami.”
Ardyn ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Nafasnya tercekat. Jantungnya berdetak seperti genderang perang. Ia tak tahu siapa nama itu, tapi setiap kali mendengarnya, dadanya terasa... sesak. Seolah sesuatu sedang berusaha keluar dari dalam dirinya.
> “Kau harus bangkit kembali,” suara itu berkata, lalu menghilang seperti kabut diterpa angin.
---
BRAK!
Ardyn terbangun.
Nafasnya berat, seperti baru ditarik keluar dari dalam laut. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari kayu tua. Dinding bergemeretak pelan akibat hembusan angin malam. Suara jangkrik bersahutan dari luar. Tapi suara itu—suara dalam mimpinya—masih menggema di telinganya.
Kael’Tharion.
"Apa... siapa Kael...?"
Ia duduk perlahan, menyapu wajahnya dengan tangan. Kamarnya gelap, diterangi hanya oleh sebatang lilin kecil yang nyaris habis di atas meja. Di luar jendela, bulan tergantung setengah penuh, temaram namun indah. Tapi malam ini, bulan itu tampak... retak?
Ardyn memicingkan mata. Bulan itu memang retak.
---
“Ardyn!” suara perempuan terdengar dari bawah.
Ia mendongak. Itu suara Nyra, ibu angkatnya.
> “Bangun! Ada sesuatu di langit! Cepat!”
Tanpa berpikir, Ardyn meraih jaket kulitnya yang sobek di lengan kanan dan melompat dari tempat tidur. Kakinya menyentuh lantai dingin, dan ia berlari keluar kamar, menuruni tangga rumah kecil mereka yang terbuat dari batu abu-abu dan kayu pinus tua.
Saat ia sampai di luar rumah, seluruh desa telah berkumpul di tengah lapangan. Tua, muda, anak-anak. Semua menatap langit.
Dan langit itu...
---
Langit itu TERBAKAR.
Di tengah hamparan malam, pusaran merah membara berputar perlahan, seperti lubang angin topan yang dibentuk dari api. Tidak, bukan api biasa. Ini seperti api yang hidup. Dan dari dalamnya, kilatan hitam merambat seperti urat di tubuh monster.
"Apa itu...?" tanya seorang lelaki tua dengan suara bergetar.
"Tanda dari utara?" bisik seorang perempuan.
Nyra memeluk Ardyn. “Jangan pergi ke mana-mana. Tetap di dekatku.”
Tapi Ardyn... tidak bisa berhenti menatap langit itu. Dadanya panas. Sesuatu dalam dirinya—yang tak pernah ia pahami—mulai bergerak.
---
> “Tanda kehendak telah muncul kembali...”
Suara itu lagi. Tapi kini, suara itu bukan dalam mimpi. Itu muncul di dalam pikirannya.
Ardyn menjerit dan jatuh ke tanah, memegangi kepalanya. Matanya menyala sejenak—kilau emas bersinar seperti bara di malam yang gelap. Beberapa warga mundur ketakutan.
“Dia... matanya...! Itu bukan manusia!”
“Ardyn...?” bisik Nyra, suaranya goyah antara cemas dan takut.
Ardyn merangkak. Suara itu masih membisik—tapi kini cepat, panik, seperti banyak suara bergabung menjadi satu.
> “Ingatlah kehancuran... ingatlah perang langit... Kael! Ingat!”
Dan saat pusaran api di langit mencapai titik puncaknya, sesuatu turun dari langit. Sebuah meteor, melesat cepat, mengarah langsung ke arah desa Althera.
---
BRAAAKHHH!
Getarannya mengguncang seluruh tanah. Cahaya menyilaukan meledak dari utara desa, membuat malam tampak seperti siang yang cacat.
Semua warga menjerit. Ardyn berdiri perlahan, wajahnya terkena debu dan cahaya merah. Dalam sorot matanya, tampak sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam tubuh seorang anak yatim piatu:
> Kemarahan kuno.
---
Desa Althera
Tiga jam sebelum langit terbakar.
Desa Althera bangun perlahan dari tidurnya yang damai. Fajar belum muncul, tetapi suara ayam jantan pertama menandakan waktu panen telah tiba. Desa kecil ini terletak di lembah barat Aetherion, tersembunyi di balik hutan lebat dan pegunungan yang melingkari seperti pelindung alami. Tidak ada istana, tidak ada menara sihir—hanya ladang, sumur tua, dan manusia-manusia sederhana yang menua bersama musim.
Tapi pagi itu... tidak biasa.
Langit keabu-abuan lebih pekat dari seharusnya, dan udara terasa berat, seolah hujan badai tengah menahan nafasnya.
---
Di pinggir desa, Ardyn Virel sedang menimba air di sumur tua yang nyaris ditelan lumut.
“Payah, embernya macet lagi…” gumamnya, menginjak bagian bawah kerekan kayu. Tangannya mengangkat tali kasar yang penuh lumpur sambil menahan napas.
> “Ardyn! Kau begadang lagi, ya?”
Suara Nyra memanggil dari balik pagar rotan rumah mereka.
“Bukan begadang… mimpi lagi,” jawab Ardyn pelan. “Yang itu lagi.”
Nyra melangkah mendekat, menggulung lengan bajunya yang kotor karena adonan roti. Perempuan berusia empat puluhan itu bukan ibu kandung Ardyn, tapi tidak ada satu pun di desa ini yang berani membantah kasih sayang yang ia berikan.
> “Suara dalam mimpi?” tanyanya dengan nada prihatin. “Kael’Tharion lagi?”
Ardyn terdiam. Bahkan menyebut nama itu membuat bagian dadanya terasa... bergetar.
> “Apa menurutmu itu benar-benar... aku?” tanyanya, akhirnya.
Nyra menyeka tangan dengan celemek lusuhnya. “Aku tak tahu, Nak. Tapi jika ada yang bisa memilih siapa kau, itu bukan mimpi. Itu perbuatanmu saat kau terjaga.”
---
Mereka kembali ke rumah membawa air. Di dapur kecil, aroma roti panggang dan teh herbal memenuhi udara. Sesekali Nyra menatap anak angkatnya itu dengan khawatir. Ardyn tidak seperti anak lain. Sejak kecil, ia menunjukkan tanda-tanda aneh: ia bisa membaca buku tua bahasa kuno yang bahkan para sarjana dari kota tak bisa pahami. Ia mampu melihat jalur bintang saat malam tanpa belajar. Dan saat ia marah, angin seakan tunduk.
> “Hari ini akan ada Sidang Musim. Tetua desa ingin semua hadir,” kata Nyra.
“Kalau itu tentang pajak ladang, aku—”
> “Bukan. Tentang mimpi.”
Nyra menatapnya. Tajam.
“Bukan hanya kau yang memimpikan api dan langit pecah. Empat warga lainnya... bermimpi hal serupa.”
---
Menjelang siang, Ardyn menyusuri jalanan desa yang masih basah oleh embun. Ia melambai pada kakek Groth, pandai besi tua yang sedang membetulkan roda kereta. Anak-anak bermain di dekat sungai kecil, tanpa tahu bahwa dunia mereka akan berubah.
Tapi yang membuat Ardyn berhenti adalah lukisan darah di dinding gudang tua.
> Sebuah simbol.
Lingkaran dengan sembilan garis menusuk ke pusatnya.
“Itu... bukan grafiti,” gumamnya.
> “Itu lambang Memoria,” suara baru terdengar dari bayangan samping gudang.
Ardyn berbalik cepat. Seorang gadis berdiri di sana—tinggi, rambut perak menyala seperti ditaburi bintang, mengenakan jubah kulit rusa hutan.
Elyra.
> “Siapa kamu?” tanya Ardyn, mundur setengah langkah.
“Penjaga Hutan Astral. Namaku Elyra Solvane. Aku datang karena mimpi. Dan karena kamu.”
“Karena... aku?”
> “Kau adalah pecahan terakhir dari Kael’Tharion,” katanya tanpa ragu. “Dan mereka yang memburu kehendak akan segera menemukanmu.”
---
Sontak, suara terompet desa berbunyi. Nada panik.
Ardyn dan Elyra menoleh ke arah utara. Asap hitam membumbung dari belakang bukit. Teriakan. Jeritan. Suara logam menghantam kayu.
> “Serangan?!” Ardyn berlari tanpa berpikir.
Elyra mengikutinya, tatapan matanya berubah tajam. “Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga…”
---
Di tepi desa, lima makhluk menunggangi kuda api melompat melewati pagar desa. Tubuh mereka dibalut zirah arang dan tanduk menghitam. Dari helm mereka, asap pekat keluar seperti napas iblis.
> “Penunggang Asap...” bisik Elyra.
Penduduk desa lari berhamburan. Salah satu dari mereka melempar tombak yang berubah menjadi bara saat meluncur, menghantam rumah pertama dan langsung membakarnya jadi abu.
Ardyn berdiri terpaku.
Salah satu Penunggang melihatnya. Matanya bersinar hitam. Dan ia menunjuk.
> “Kael’Tharion... hidup.”
Tiba-tiba, dunia seolah melambat.
Semua suara memudar.
Dan waktu terhenti.
---
Dalam ruang hening itu, Ardyn melihat—dengan jelas—jalur lintasan anak panah yang ditembakkan ke arahnya. Ia melihat setiap butir debu melayang. Dan tangan kirinya—bergerak sendiri—mengangkat telapak seperti menahan udara.
Anak panah itu berhenti. Membeku di udara.
Elyra menatapnya dengan mata terbelalak. “Kau... mengendalikan waktu?”
Ardyn menatap tangannya. Panik. Takut. Terpesona.
> “Aku tak tahu apa yang sedang terjadi—”
> “Kau sedang bangkit,” jawab Elyra cepat.
“Kael sedang kembali.”