Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
R.A. Deandra : Kembalinya Sang Don

R.A. Deandra : Kembalinya Sang Don

Lefkilavanta | Bersambung
Jumlah kata
37.1K
Popular
273
Subscribe
86
Novel / R.A. Deandra : Kembalinya Sang Don
R.A. Deandra : Kembalinya Sang Don

R.A. Deandra : Kembalinya Sang Don

Lefkilavanta| Bersambung
Jumlah Kata
37.1K
Popular
273
Subscribe
86
Sinopsis
PerkotaanAksiMafiaBalas DendamKriminal
Dulu, mereka memanggilnya R.A. Deandra, Sang Don paling ditakuti di Jakarta Utara. Ia pernah menguasai dunia bawah tanah Kota Jakarta, lalu menghilang tanpa jejak. Waktu mengubahnya menjadi Jati, pemilik warung bakso sederhana di pinggir kota. Hidupnya berubah ketika Lila, gadis malam yang penuh luka, datang ke warungnya membawa senyum dan rahasia. Cinta tanpa kata pada Lila membawa Sang Don pada neraka lama yang sudah ia tutup rapat-rapat. Lembar demi lembar kelam dan kejamnya masa lalu Sang Don mulai terungkap. Lila adalah dosa terindah Sang Don. Jakarta akan kembali berdarah karena Sang Don telah kembali.
1| Rahasia Warung Bakso Sang Don

Menjelajah Jakarta kota bagian timur, di antara gedung tua yang berhimpit, sebuah warung tua berdiri kokoh menjadi saksi malamnya kota metropolitan.

Papan nama bertuliskan ‘Bakso Tuan Jati’ menjadi identitas tempat itu. Huruf-huruf mulai pudar, tak terbaca sebab dimakan usia. Namun, eksistensi tempat itu tak pernah mati.

Tuan Jati namanya. Hanya Tuan Jati, tanpa pelengkap yang memperpanjang nama. Rutinitasnya adalah bangun pagi, membeli daging dan sayuran di pasar lama, lalu membuka warung bakso di sore hari.

Malam itu, seperti biasa, Jati membuka warung bakso sehabis gerimis mengguyur kota.

Jati mengaduk panci besar di atas tungku arang. Asap menari di udara, mencampur bau daging dan bara yang gosong. Tangannya kasar, penuh bekas luka lama — seperti seseorang yang pernah terlalu lama hidup dalam dunia yang keras. Namun di sini, ia terlihat jinak, seperti pria biasa yang hanya ingin berdagang dengan tenang.

Di ujung gang, suara motor berderum. Anak-anak tertawa riang bermain bola plastik di lapangan tak jauh dari warung Tuan Jati. Jakarta memang tak pernah tidur, tetapi di warung tua itu waktu seolah berjalan pelan.

“Tuan Jati, bakso satu!” teriak anak laki-laki penjual tisu. Dia mendekat setelah meletakkan barang dagangan di pinggir trotoar.

“Bawa ke sini daganganmu itu. Nanti hilang.” Jati memperingatkan.

Anak lelaki itu menggelengkan kepala. “Biar bisa dilihat pembeli. Siapa tahu ada yang mau beli.”

“Bayarnya besok ya, Bang.” Anak lelaki itu menambahkan sembari menunjuk-nunjuk topping bakso di hadapannya.

Jati hanya melirik, tersenyum samar. “Besok lagi, kamu masih punya utang minggu lalu.”

“Tapi lapar, Bang.”

“Kalau begitu makan dulu. Utangnya tambah satu.”

Anak itu tertawa, lalu duduk di bangku kayu yang mulai keropos.

Hidup Jati sederhana. Hanya bangun dan membuka warung bakso peninggalan Kakek Jatmiko, orang asing yang merawatnya tiga tahun lalu. Acap kali hendak tidur, Jati selalu memandang jam rusak di kamarnya. Jarumnya macet di angka dua belas lewat tiga. Entah kenapa, Jati tak pernah memperbaikinya. Ia suka mendengar bunyi detak yang tak bergerak.

“Bang, baksonya enak. Dapat resep dari mana?” Anak lelaki itu namanya Bimo. Si penjual tisu yang selalu mampir di warung Jati kala senja datang.

“Asal saja,” ucap Jati tanpa emosi.

Malam itu, hujan turun perlahan. Gerimis pertama setelah seminggu udara kering. Jati menutup setengah atap plastik warungnya agar pelanggan tak kebasahan.

“Bang Jati ini hidup sendiri, apa tidak bosan?” tanya Bimo selepas meniup kuah bakso di atas sendok, lalu memasukkan satu butir bakso ke dalam mulutnya.

Jati tak menanggapi. Dia hanya fokus pada dagangannya. Pelanggan lain datang, memenuhi warung.

Aroma kaldu dan bawang goreng bercampur dengan bau tanah basah. Suara hujan di atas terpal menjadi irama latar yang menenangkan bagi mereka yang singgah, tetapi tidak bagi Jati.

Ia tidak pernah benar-benar merasa tenang.

Tiap denting sendok pada mangkuk seperti menghitung waktu menuju sesuatu yang ingin ia lupakan.

“Bang, tambah satu!” seru seorang sopir ojek.

Jati mengangguk tanpa menatap. Tangannya lincah, seolah ototnya mengingat lebih banyak daripada pikirannya.

Bimo menatapnya lama. “Bang Jati nggak pernah cerita apa pun, ya. Kayak orang nggak punya masa lalu.”

“Orang kalau terlalu banyak cerita, biasanya lagi nyari pelarian,” jawab Jati pelan, matanya masih ke panci. “Aku udah selesai nyari.”

Bimo hanya terkekeh, meskipun tidak tahu makna kalimat Jati. Dia masih terlalu kecil untuk memahami lelucon orang dewasa.

Setengah jam berlalu, Bimo sudah menghabiskan dua mangkok bakso.

“Bang, makasih ya. Aku pamit dulu.” Dia beranjak dari tempat duduknya. “Tisuku belum terjual.”

Jati hanya mengangguk sekali, tak menatap dan membiarkan bocah itu pergi dari hadapannya.

Jam bergulir. Pukul menunjukkan setengah satu pagi dini hari. Pelanggan sudah habis dan Jati hendak menutup warung baksonya.

Saat itu, seseorang muncul dari balik bayangan gang — seorang gadis muda, berambut basah, mengenakan jaket tipis dan sepatu usang. Matanya sayu, terapi bibirnya tersenyum kecil ketika mencium bau kaldu.

“Tuan, masih buka?” Dia bertanya dengan lembut.

Jati mendongak sedikit. “Masih. Duduk aja.” Padahal Jati sudah mau tutup warung. Entah mengapa, melihat gadis itu rasa iba memenuhi jiwa.

Gadis itu duduk di pojok bangku. Matanya menatap mangkuk-mangkuk bersih, seperti menimbang sesuatu. “Bakso satu. Tapi bayarnya boleh besok?”

Jati mendongak. Dari dekat, Jati bisa melihat bibirnya pecah-pecah, ada bekas lebam samar di bawah rahang. Ia menunduk lagi, pura-pura tak melihat.

“Bayar besoknya kapan?”

“Nanti. Kalau udah dapet kerja lagi.”

“Kerja apa?”

Gadis itu tersenyum miring. “Kerja malam, Tuan.”

Jati tak bertanya lagi. Ia menyiapkan semangkuk bakso dengan tangan tenang, lalu menaruhnya di depan gadis itu.

“Kalau begitu, anggap ini bukan utang,” katanya pelan. “Makan aja dulu.”

Gadis itu menatapnya lama. “Tuan ini orang baik, ya?”

“Enggak. Cuma capek ngeliat orang kelaparan.” Ia tertawa kecil, tetapi tawanya lebih seperti helaan napas.

“Aku sering lewat sini. Tapi baru sekarang coba untuk beli.” Gadis itu mencoba akrab dengan suaranya yang parau nan lirih. “Warungnya pakai nama Tuan sendiri?”

Jati mengangguk, terus mengaduk panci. “Biar orang tahu, siapa yang harus disalahkan kalau rasanya gak enak.”

Ia tertawa lagi. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Jati merasa dadanya sedikit ringan. Namun, kemudian matanya menangkap sesuatu — liontin di leher gadis itu. Bentuknya bulan sabit kecil dari perak, retak di salah satu sisi.

Tangannya berhenti di udara. Ia mengenali benda itu. Ia pernah melihat liontin serupa di tangan seorang perempuan yang tergeletak di lantai basah bertahun-tahun lalu, dengan darah mengalir dari dada dan suara tercekik, meminta untuk diampuni dan dimaafkan.

“Wah, baksonya enak sekali.” Gadis itu memuji dalam sendok pertama, sesekali menatap Jati yang bergeming di tempatnya.

“Boleh minta dibungkus satu, Tuan?” Ia mengacungkan satu jari di depan wajahnya. “Bayarnya besok juga.”

Jati terdiam cukup lama. Matanya memandangi gadis itu tanpa henti. Liontin yang ia kenakan memaksa Jati membuka berkas lama dalam memorinya. Memaksa Jati untuk menemukan ‘ada apa dengannya malam ini?’

“Ngga boleh ya, Tuan?” Gadis itu mengimbuhkan ketika Jati tak kunjung menjawab.

Jati menggelengkan kepalanya. “Nanti aku bungkuskan.”

Seusai gadis itu menyelesaikan makan baksonya, dia beranjak dari tempat duduk. Hendak meninggalkan Jati.

Gadis itu tersenyum, samar tetapi tulus. “Makasih, Tuan Jati.” Dia menarik jaketnya yang basah, lalu melangkah ke arah jalan yang tergenang.

Jati memandangi punggung itu lama, hingga bayangannya lenyap.

Ia duduk kembali di bangku panjang, menyalakan rokok yang sudah setengah basah, dan menatap hujan yang menetes dari ujung atap plastik.

Dalam kepulan asap rokok itu, wajah perempuan dari masa lalu itu muncul lagi— perempuan yang dulu menjerit, memohon agar ia diampuni karena neraka tak akan menerimanya jika ia mati begini.

“Kenapa dia mirip sekali?”

Lanjut membaca
Lanjut membaca