

Di kedalaman hutan, seorang remaja bernama Adzli memanggul segulung kayu bakar. Dalam perjalanan pulang, terdengar denting pedang menggema, seketika memecah hening. Dia menoleh, dari kejauhan kereta kuda dikepung kelompok bersenjata. Remaja itu menonton sambil membelai belt pedang, menggantung di pinggang belakang. Adzli menyipitkan mata, menilik salah satu bandit. Muka itu familiar baginya.
"Wajah itu …" gumam Adzli sambil merogoh saku, keluarkan selembar kertas lusuh. "Ooh. Buronan lama, ya? Kebetulan, uang mulai habis mendanai proyek akhir-akhir ini."
Deru angin mendesis di antara pohon. Dia menghampiri kelompok bandit, pijakan kakinya bersuara. Para bandit terperangah melihat seseorang datang. Tidak bicara. Adzli menghunus pedang, cabut pedang usang yang nyaris patah. Semua bandit spontan mengekeh. Lalu menatap satu sama lain, kecuali pria buronan.
Remaja ini memutar pedang dan menatap ke buruan, buronan menyipitkan mata. Pemangsa atau mangsa, peran mereka 'kan ambigu sebelum terjadi pertarungan.
Pria paruh baya itu mulai berancang-ancang. Suaru antisipasi tersirat dari postur tubuh. Fokus—dia menatap bilah pedang remaja. Gerakan berputar itu seolah sedang menggiring sihir angin memutari bilah pedang. Daun memutari bilah logam, tiap gerakan ialah perintah untuk angin. Kisikan daun menambah suasana, diwarnai tawa ejekan para bandit yang cengengesan.
Wuush! Adzli menendang tanah, menyambar ke depan, ciptakan badai debu yang tebal. Pemangsa itu memburu, mangsa pun tercengang dan bersiap, mana sudi ditangkap tanpa melawan. Remaja ini menerjang maju, ayunkan pedang—hendak menyabet leher pria buronan dalam sekali ayunan. Lawan merunduk menghindari tebasan. Sekilas kilat mata mereka bertemu, pemburu ingin memburu, mangsa ingin balik memangsa.
Pria tua itu dengan sigap melompat ke belakang, menjaga jaraknya. Sementara Adzli membeku, dia melirik dan mendapati para bandit mengepung. Pria buronan cengkeram gagang pedang dua tangan, menarik napas, dan berancang. Bagai serigala, dia bersiap menerkam pemburu. Sorot mata hitamnya berkilat dan beringas.
"Tiada keraguan. Bocah ini …" buronan menggeserkan kaki, maju selangkah. "… dia serius ingin kepalaku."
Semilir angin menderu di dekat bilah, Adzli segera kibaskan pedang ke tanah. Putaran angin menyebarkan serbuk debu, kurangi jarak pandang. Beberapa bandit kelilipan, debu memasuki mata. Tiap kali gulirkan bola mata, rasa perih menyebar dan mereka spontan menarik langkah. Alhasil, debu tebal berhasil memecah kelompok bandit ini.
Selagi itu, pria buronan mengangkat pedang dua tangan dengan keringat dingin. Dia fokus mencari musuh, debu sembunyikan semua keberadaan. Mata menganalisis sekeliling penuh waspada. Lalu … seketika—siluet muncul. Pria buronan bereaksi, mengangkat pedang dan—srash! Bersicepat menebas, bayangan terbelah. Namun, jubah lusuh yang terpotong jatuh ke tanah. Siluet remaja itu berlarian di antara badai debu.
"Pakaian?" pria buron berdecak kesal. "Jelas ini pengalihan. Lantas kemana bocah sialan itu?" gumamnya, menoleh ke sana-kemari.
"Arrrgh!"
"Huh?"
Para bawahannya memekik, darah menggenang mengotori sepatunya. Remaja itu menyembul dari bayangan, mengeksekusi satu-persatu bawahannya. Lalu menambah debu yang berhamburan di udara, menyulitkan pria ini mendeteksi sekitarnya. Si mangsa melangkah dekat, namun segera urungkan niatnya dan memilih memantau dari jauh.
Pria buronan tetap tenang, cermati alur pembantaian sampai seluruh bawahan kalah. Kepala menggelinding di tanah. Riuh suara teriakan maut selesai, keheningan menyambutnya. Siluet dari remaja perlahan berbalik padanya, bersama suara derak pohon hutan dan bisikan daun. Kawanan mangsa sudah dibersihkan, tinggal target utama: pemimpin. Sang pemburu menerobos debu dan mendekatinya.
"Kabarnya, penglihatanmu buruk dan keahlianmu fokus di pedang dua tangan. Sayang sekali, jadi …" suara semakin mendekati, "aku musuh alamimu."
Separuh tubuh menyembul, bercak darah mengecat lekuk pipi Adzli. Pria ini membelalakkan mata. Seumur hidupnya, dia baru menemukan seorang remaja sudah membunuh dan bersikap tenang. Hening memegang kendali, mata mereka bertemu menanti momentum. Lalu ledakan terjadi—remaja menerkam maju. Buruan bereaksi—ting! Kedua pedang bertemu, logam saling mendentang nyaring.
Bilah logam bergesekan, percikan api melayang, menari dengan ritme kacau di udara. Pedang Adzli semakin terkikis. Pria buronan menahan napas. Dia bisa merasai mata sedalam jurang lautan menjiwai musuhnya. Lalu urat muka pria buronan menegang. Dia berteriak pendek sambil mendorong, membuat Adzli memundurkan langkah.
"Ekspresi nih bocah nihil. Nyeremin aja," batin pria ini.
Dalam satu tolakan yang keras, pria menyerang. Tangkas, Adzli memblokir ayunan pedang. Pertahanan kokoh, sulit ditembus. Pria ini menggertakkan giginya, rambatan mana berkumpul di kakinya. Lalu pria menghentakkan kaki, tanah berguncang—tumpuan kaki Adzli seketika goyah. Manfaatkan momen lawan terguncang dan hilang keseimbangan, buronan segera ayunkan pedang.
Tapi Adzli masih sempat bereaksi, dia berhasil menjaga keseimbangan dan refleks membalik cara pegang pedang. Pedangnya memblokir hantaman musuh, namun tenaga pria dikeluarkan penuh. Hasilnya pedang berpindah dan pertahanan ditembus. Bagian tumpul pedang memukul pinggang. Tubuh Adzli terpelanting, dan berguling menggelinding. Dia memasuki bayang pohon sekitarnya, dan menyatu dengan kegelapan.
Napas pria terengah-engah. Lalu menyeka keringat, dengan mata waspadai alur pertarungan mereka. Pria ini menyipitkan pandangan. Lalu, tersentak menyadari lawan hilang—jatuh terperosok diundang bayang kegelapan. Dengan panik dia menoleh kesana-kemari. Remaja yang dia lawan ini betul-betul susah dideteksi.
"Tiada jejak mana?!" batin buronan. Terus menatap sekeliling. "Mustahil. Sihir assassin mampu kudeteksi. Tapi bocah ini—?!"
Seketika bulu kuduknya merinding. Sesuatu datang buatnya menggeretakkan baris giginya. Hawa nafsu membunuh yang pekat terkumpul di belakang, seperti sesuatu akan menindih jantung. Mata pria melirik ke belakang, refleks dia ayunkan pedang—didorong oleh insting dan ketakutan.
Adzli menyembul lewati balik bayangan. Kilatan pedang menyambutnya. Kaki Adzli menumpu keras, dia merundukkan badan dan hindari tebasan pedang pria buronan dengan tempo cepat. Tidak sia-siakan momentum, remaja mendorong pedang—menohok punggung lawan, incar jantung.
Krak!
Pedang remaja hancur, tak mampu menembus zirah pria buronan. Pecahan bilah tergeletak sembarang, alhasil pria teralihkan—lengah. Manfaatkan kelengahan, remaja menangkap dan cengkeram kerah baju pria. Lalu, kunci pergerakan tangan. Pria dengan panik meronta-ronta berusaha bebas dari cengkeraman.
Cekatan—remaja membanting musuh. Tanah merengkah dan pria ini merintih kesakitan. Pria merintih, dia menggertakkan gigi dan menumpu pada kedua tangan. Dia mencoba bangun, tapi kaki menginjak zirah dada, menahannya bangun dari tanah. Pedang patah mendekati lehernya. Mangsa ini menatap pemangsa, berhasil memburunya hanya dengan pedang rapuh.
"Harga menangkapmu hidup-hidup lebih tinggi daripada kepalamu. Jadi…" Adzli menodongkan pedang patah. "Kau menyerah, atau …"
Pria ini terkekeh. Lalu bertanya, "Siapa namamu?"
"Adzli."
Pria buronan terkekeh pasrah. "Hargaku turun kalau aku mati, 'kan? Tangkap aku, aku menyerah."
Tangan pria ini melemah. Dia melepaskan pedang. Secara penuh menyerah. Tidak lama, suara gemerincing zirah menghampiri. Para pengawal kereta itu datang. Ksatria memborgol pria buronan, lalu mengumpulkan mayat bandit lainnya.
Adzli membolak-balik pedang patah miliknya. Ia menghela napas, kecewa. Enggan, dia tetap memungut sembarang pedang retak. Saat hendak pulang membawa buruan, para ksatria pengawal kembali lagi mendatanginya. Kali ini membawa sekantong kulit kecil yang tampaknya berisi uang.
"Anda seorang pemburu, ya? Kami, pihak ksatria akan langsung mengambilnya. Jadi, Anda tidak dapat potongan admin dari Serikat Pemburu, bagaimana?"
"Ya tentu," jawab Adzli, menyerahkan pria buronan.
"Juga, maukah Anda ikut mengawal konvoi kami?" Para kesatria melirik kereta. "Tentu saja ada upah," tambahnya.
Dengan anggukan kecil, Adzli setuju. Konvoi kereta mulai bergerak dikawal para kesatria, juga Adzli menuju ibukota Hiarleaf, sekaligus tempat tinggalnya.
Di perjalanan, dia mendongak ke atas. Bayangan raksasa melintasi mereka semua, dia menjumpa kota—bukan, pulau melayang dengan kota di atasnya melewati hutan. Dari ukurannya saja melebihi ukuran kota kecil, lebih tepat disebut negara melayang. Nihil kagum, nol ketakutan—Adzli sama sekali tidak terpengaruh. Ekspresinya dalam dan hening, bagai misteri lautan dalam.
"Tempat mengungsi umat manusia saat kiamat, ya? Menarik," gumam Adzli, melirih.
Tatkala sampai di gerbang Hiarleaf, dia terima uang dan tinggalkan rombongan ksatria. Tengah perjalanan tuju rumah, tiba-tiba Adzli tersentak melihat sesuatu menggantung di antara bangunan. Beberapa jasad bergelantung, papan bertulis "musuh" dikalungkan pada leher jasad-jasad itu.
Mulutnya hanya menganga sejenak, sebelum mengedipkan mata. Pemandangan hilang bagai imajinasi semata. Ia menyeka peluh dan melupakan ingatan kabur itu. Dia lekas pulang. Hingga di halaman depan, ada sepasang pasutri sedang memilah biji-bijian di teras rumah.
"Radika, lihat, dia pulang setelah berburu bandit lagi. Ini yang kau sebut kebebasan?" seru seorang wanita, tangan itu mengepak marah.
"Putra kita itu laki-laki, Yukka. Ia tentunya musti bekerja di masa depan. Pulang dengan pakaian berdarah itu normal, karena—"
Yukka memutar mata, jengkel. "Udah ibu bilang, kalo mau berburu, harus bareng bapakmu biar lebih aman." Wanita ini menjitak kepala suaminya. Lalu menoleh Adzli sambil berkata, "Lagian kamu musti mulai bersekolah. Peralatan udah kamu siapin?"
"Belum," sahut Adzli.
Radika meringis mengusap kepala. Yukka masih memilih biji-bijian sambil mengoceh. Sementara Adzli meletakkan segulung kayu bakar di belakang rumah mereka. Lalu masuk ke kamarnya, menatap cetak biru dari rancangan senjata api dan peralatan yang berserakan. Adzli menaruh uang yang baru didapatkan.
Matanya menjadi sayu, entah kemana ketenangan sedalam lautan sebelumnya. Segera dia membereskan ruang, menaruh seragam akademi dan barang-barang yang diperlukan sebagai murid akademi pertama. Ekspresi dingin terpantul permukaan kaca, tidak peduli pada dunia, cuma obsesinya terhadap proyeknya itu.
"Entah kenapa, perkataan itu selalu berputar di kepalaku dan terulang hari demi hari. Lagipula …" Dia memandang senapan matchlock tergantung di dinding. "Aah, 'andaikan kala itu aku memegang senapan', kenapa perkataanku ini selalu menghantuiku?" batin Adzli mengusap laras senjata dan mengerang.
*****
Esok paginya. Di tengah halaman akademi, tangan lelaki itu—Adzli—sibuk merapikan pakaian. Berkali-kali mengusap lambang di bahunya, perunggu—kasta keluarga di dalam golongan sosial. Menapaki lorong akademi, para murid tertawa begitu menemui perunggu.
Ketika dia memasuki kelas, murid kasta perak hendak menyapa, serempak saja mereka menghela langkah begitu menjumpai perunggu. Tidak menghiraukan, Adzli memilih bangku dan mengabaikan gosip murid. Beralih fokus menaruh buku catatan dan menulis sendiri di tengah-tengah cemoohan murid.
"Halah berisik banget," keluh Adzli, menggores pena dan menulis beberapa hal.
Dia melirik siswi di sebelahnya, seorang gadis bangsawan duduk sambil memejamkan mata. Pintu terbuka, guru datang, kegaduhan murid meredup padam. Perempuan itu menulis daftar nama, yaitu pasangan yang melengkapi masing-masing.
Ekspresi langsung memelas selepas guru selesai menulis di papan tulis. Adzli menoleh ke sebelah. Seorang gadis berambut merah ponytail, dengan mata tajam itu, balik menatapnya dan menganggukkan sedikit kepalanya. Tiara putih kecil berkilau di kepala, begitu pula lambang berlian di bahunya. Suara mendeham memecah pikiran Adzli. Guru menatap mereka berdua.
"Putri Siska, apa Anda berkenan?" tanya guru, tersenyum masam.
"Tidak keberatan," jawabnya.
"… Saya keberatan," kata Adzli, mengangkat tangan sambil mengedutkan mata.
Siska menghela napas panjang. "Jangan cemas, saya tidak akan—"
"Sejujurnya. Nilai putri Siska itu agak mencemaskan, dan murid Adzli cukup mengesankan. Karena itu, kalian dipilih sebagai pasangan belajar," ucap guru, menyela. Dengan tegas menunjuk semua nama pada papan tulis sebelum bicara, "Tak ada pengecualian. Semua murid musti punya pasangan belajar. Maka dari itu, lengkapilah kelemahan pasangan kalian."
"Eeh, Tuan Putri kasihan sekali. Dia dipasangkan dengan perunggu itu," bisik-bisik seorang murid, terkekeh.