“Bajingan, kowe! Rasakno!” (Bajingan kamu! Rasakan ini!)
Serangan tinju melayang ke wajah Yugara dan dadanya, beberapa kali, sampai dia puas dan terengah-engah.
“Makane, ojo nantang!” (Makanya, jangan nantang!)
Seorang lainnya yang tidak berseragam sekolah dan terlihat lebih dewasa, menjambak kuat rambut Yugara ke belakang, membuatnya mendongak tinggi.
“B0d0h opo piye? Wes diomongi ojo lewat kampung. Kowe itu bawa sial! Sapi Limosin Pak Lurah kemarin mati. Gara-garane opo? Yo, kowe!” (Bodoh atau bagaimana? Sudah dibilang jangan lewat kampung. Kamu itu bawa sial! Sapi Limosin Pak Lurah kemarin mati. Gara-garanya apa? Ya, kamu!)
Pria itu melepaskan jambakannya dengan menghentakan kepala Yugara.
Yugara menunduk, kepalanya benar-benar pening hingga telinganya berdengung Tapi dia tidak bisa melakukan apa pun untuk dirinya karena kedua tangannya dipiting ke belakang, membuatnya jadi samsak hidup ke 11 pemuda lainnya.
Pemuda yang memiting tangannya, kemudian menendang tulang belakang kaki Yugara, membuat dia jatuh terduduk, seketika itu juga, pria muda dengan mulut tonggos itu, langsung menendang kepala Yugara.
Suara berdengung di kepala semakin nyaring. Di kepalanya seperti ada bom kecil yang baru saja meledak. Pandangan matanya buram dan Yugara pun tersungkur di atas rumput-rumput liar yang kasar.
Punggung Yugara diinjak kuat dan si pria tonggos berjongkok, sekali lagi dia menjambak kuat rambut Yugara.
“Kowe iki anak setan. Dajjal. Makane bapakmu sendiri, buang kamu sama ibumu, soale ibumu yo perempuan iblis. Kowe sama ibumu, sama -sama laknat. Iblis!”
Mereka semua tertawa dibarengi angin yang berdesir kencang. Daun-daun kering bergerak seolah berkumpul untuk menjadi penonton.
Saat itulah, Yugara yang marah besar, merasakan sesuatu yang retak di dalam dirinya dan berontak ingin keluar. Rasa yang panas, menguasai setiap aliran darahnya. Tangannya mengepal kuat, sangat kuat hingga muncul urat-urat ototnya, yang terus bergerak sampai ke bola matanya. Semburat merah di bagian putih, membuat Yugara tampak seram.
“Berani-beraninya kowe hina ibuku. Mati semua!” teriak Yugara dibarengi embusan angin yang seperti topan.
Yugara bangkit dengan cepat, membuat si tonggos terjengkang mundur. Tanpa banyak bicara, ditariknya kerah si tonggos, diangkat tubuhnya dengan sangat mudah, lalu dilempar hingga punggung di tonggos menabrak pohon cengkeh.
Yang lain mulai bimbang. Si tonggos adalah pemimpin mereka, kalau si tonggos saja mudah diangkat dan dilempar, maka terhadap mereka 11 sisanya, hanya tinggal dipenyet saja.
Yugara maju cepat tanpa pilih-pilih. Apa yang bisa dibogem, dibogemnya kuat. Apa yang bisa dipelintir, dipelintirnya kuat. Apa yang bisa ditendang, ditendangnya kuat.
Satu bogem mentah menghantam hidung seorang remaja di depannya, suara tulang patah membuat Yugara tersenyum menakutkan. Satu tendangan berputar mendarat di dagu lawan berikutnya, membuat tubuhnya terangkat sejenak sebelum jatuh tak sadarkan diri.
Dari arah belakang, si tonggos maju dengan tangan memegang kayu, siap dihantamkan ke kepala Yugara. Naas baginya, karena Yugara cepat berbalik, menangkis kayu itu hingga patah, menarik kerah si tonggos, menggigit bahu si tonggos,lalu mengangkat tubuhnya, kemudian dibanting ke tanah. Suara mengaduh kesakitan keluar dari musuhnya. Darah muncrat dari mulutnya.
Yugara berjongkok, tangan kirinya langsung menghantam dua rahang sekaligus si tonggos.
“Berani kowe menghina ibuku, tak kirim sekarang juga ke neraka. Mati ae!”
Tangan kanan Yugara terangkat naik dengan kepalan kuat. Si tonggos dan semuanya bisa melihat kalau urat-urat Yugara bukan berwarna biru keunguan melainkan merah yang menyala. Mereka bahkan seperti melihat ada bara di sekujur tubuh Yugara.
Angin berembus semakin kuat, daun-daun menabrak wajah-wajah para musuh dan Yugara. Ketakutan dan kesakitan menjadi satu, terpancar di semua wajah musuh terutama si tonggos.
“Ampun … ampun … aku minta maaf. Ojo matiin aku. Aku baru punya bayi,” mohon si tonggos.
Yugara semakin menyeringai lebar. “Ora urus! Mati kowe!” (Aku gak peduli! Mati saja kamu!)
“Yugara!”
Di pusara ketakutan, tiba-tiba nama Yugara diteriakan oleh seorang gadis berambut panjang. Keanehan terjadi kemudian. Angin tak lagi berdesir, matahari mengusir awan gelap, dan urat-urat merah Yugara serta mata Yugara, kembali pada normal.
“Yugara! Waktunya masuk kelas!” teriak gadis itu.
Yugara masih melotot, kepalan tangannya yang sudah setengah jalan, bergetar–antara akan ditinju saja atau dilepas.
“Sekali lagi kowe jelekin ibuku, tak pastikan anakmu yatim, dan tak bawa rohmu ke alam bawah. Jangan lupa…, kowe dan orang-orang selalu bilang, aku anak setan, sekalian aku jadi setan kalau ibuku dihina. Paham!”
“Iyo … iyo paham. Ampun,” ucap gemetar si tonggos.
Yugara berdiri dan langsung berjalan mendekati gadis itu, tanpa melihat sekeliling, tanpa perlu memastikan keadaan musuhnya.
Pemuda dengan alis lurus yang tajam di bagian ujung luar, terus melangkah, bahkan melewati si gadis yang prihatin melihat keadaannya, juga keadaan musuh-musuh Yugara yang terlihat mencoba bangun.
“Tirsa! Kowe mau masuk kelas atau enggak?” bentak Yugara tanpa menoleh.
Gadis itu pun bergegas berbalik dan mencoba sejajar dengan langkah Yugara yang lebar.
“Ada ternak yang mati lagi, ya?” tanya Tirsa dengan napas kewalahan karena langkah Yugara yang cepat.
Yugara diam tak menjawab. Dia melihat gerbang sekolah dan ingin cepat-cepat masuk saja.
“Sampai kapan mereka terus menuduhmu sebagai penyebab matinya hewan-hewan ternak? Hanya karena kamu melewati kandang ternak, terus hewan-hewan itu tiba-tiba mati? Aneh. Harusnya dibawa ke dokter hewan buat dicari tahu penyebab matinya. Emang bener-bener keterlaluan mereka.”
Yugara tidak merespon apa-apa dan terus melangkah menuju kelasnya. Sebagian besar siswa sekolah menatap Yugara dengan bertanya-tanya. Pakaian Yugara terlihat kotor, bahkan ada rumput di rambutnya yang lebat, sudut bibirnya terlihat berdarah. Tapi, tidak ada satu pun yang berani bertanya. Mereka memilih abai dan Yugara tidak peduli.
“Kenopo si Gara, Sa?” tanya seorang siswi perempuan yang bernama Nana. Dia bukan hanya teman sekelas dan sebangku, Nana juga adalah sepupu Tirsa.
Tirsa haya menaikkan bahu. “Ribut sama Mas Amin.”
“Lah, kenopo?”
Tirsa hanya menghela napas dan memilih masuk ke kelasnya sendiri. Yugara tidak suka dirinya dijadikan bahan bicara dan Tirsa juga dari dulu tidak suka menjelaskan apa-apa perihal yang terjadi dengan Yugara. Dia punya alasannya sendiri.
Sampai di kelas, Yugara merasa lelah. Sudah bermalam-malam dia mimpi aneh. Bahkan keanehan itu sering juga muncul di kehidupan nyata.
Karena kurang tidur, jadinya Yugara benar-benar mengantuk. Mengabaikan pelajaran selanjutnya, Yugara memilih tidur saja.
Yugara benar-benar tidur nyenyak. Dia tidak mendengar suara riuh teman-temannya yang bercanda, dia tidak mendengar gurunya masuk dan mengajar, dia tidak mendengarkan apa pun. Tidak ada yang mengusiknya, termasuk mimpi aneh yang tidak muncul.
Setelah lewat beberapa jam, Yugara pun terbangun. Tubuhnya terasa segar tapi dia masih enggan bangun. Kepalanya menoleh ke sekitar dengan malas, pikirannya keheranan.
Kelas kosong, tidak ada satu pun siswa dan guru. Lampu kelas padam, penerangan hanya dari cahaya rembulan di luar. Lorong sekolah juga gelap, tidak ada lampu dinyalakan. Benar-benar sepi dan suram.
Yugara menoleh ke belakang, ke arah jam dinding. Jarum menunjukkan angka 12 lebih 10 menit.
“Ah, brengsek! Gak ada yang bangunin.”
Yugara pun mengemasi tasnya dan bersiap berdiri ketika terdengar bunyi gemeletak. Ada yang retak, tapi Yugara tidak tahu di mana. Kepalanya tolah-toleh mencari-cari.
‘Trak … trak … trak …’
Yugara mulai menyadari kalau retakan itu dari lantai kelasnya, karena dia merasakan getarannya. Bersamaan dengan kesadarannya itu, meja dan kursi bergerak bergeser sendiri. Membentuk formasi setengah lingkaran, melapangkan jarak pandang Yugara ke pintu.
Retakan itu semakin banyak, ubin-ubin lantai pecah, arah retakan cepat menuju ke Yugara. Itu menakutkan dan membingungkan. Yugara berniat mengangkat kedua kakinya saat retakan tinggal beberapa centi. Tapi dia terlambat. Dari bawah tanah, muncul tangan-tangan dan kaki Yugara ditangkap.
Suara-suara berbisik keluar dari dalam tanah, berkata, “Wayahe … Wayahe ….” (Waktunya … waktunya ….)
“Ji4nc0k! Opo lagi ini?”
Yugara sekuat tenaga menarik kaki-kakinya yang sudah dicengkeram tangan-tangan gelap. Semakin dia berusaha, semakin kuat tarikannya ke dalam tanah. Tubuh Yugara terus tertarik sampai dada. Kedua tangannya berusaha menahan diri agar tidak semakin jeblos ke dalam tanah.
Tangan-tangan itu semakin kurang ajar. Tangan-tangan itu menyentuh kepala, bahu, wajah Yugara. Warnanya hitam, dengan bagian kulit yang terkelupas gosong. Aromanya anyir bercampur busuk.
“Wayahe … wayahe …” Suara-suara berbisik itu semakin ramai dan riuh.
“B4jingan! Diam! Lepaskan!” teriak Yugara. Perintah yang sia-sia karena tidak ada yang berubah sesuai permintaannya.
Yugara di puncak kekesalan dan kemarahannya. Dia tidak takut, tapi dia tidak mau mati cepat karena tertimbun ke dalam tanah hidup-hidup. Dia mengumpulkan tenaganya, menarik napas dalam-dalam, lalu menahannya. Dengan bantuan kedua tangan yang mengepal, Yugara mencoba menarik tubuhnya.
Urat-uratnya keluar, menonjol dengan warna merah seperti aliran darah yang transparan. Urat-urat di kedua manya pun mengalir merah. Ajaibnya, ubin-ubin lantai kelas yang retak-retak, mengeluarkan tulisan-tulisan aksara aneh dengan warna merah menyala juga.
Ruang kelas yang gelap, berubah menjadi seperti lautan api dari aksara-aksara yang menyala di lantai dan dari aura membara dari tubuh Yugara.
“Sampai aku masuk kependem, tak pastikan dunia bawah kalian, hancur!”
Setelah mengucapkan itu, Yugara memukul keras lantai kelas satu kali dengan kepalan tangan. Bagaikan tenaga super, retakan-retakan ubin dengan aksaranya, berterbangan di udara. Suara-suara itu berhenti, tangan-tangan gosong itu menghilang.
Tapi, lingkaran lubang di bawah tubuh Yugara semakin lebar. Tubuh Yugara pun melesak mudah jatuh pada kegelapan. Namun, sebelum benar-benar melesak ke bawah, Yugara sempat menangkap satu pecahan ubin dengan aksaranya.
Yugara masuk dalam kegelapan. Dia tidak yakin bagaimana meluncurnya, yang dia rasakan tubuhnya disentak kuat dan …