“Kamu bahkan tak pantas menyentuh lantai alun-alun ini, Raka.”
Kalimat itu meluncur tajam, seperti cambuk yang menghantam punggung yang sudah berdarah.
Pagi itu, udara di Sekte Matahari Gelap tak sepanas biasanya, tapi suasana di alun-alun utama mendidih. Puluhan murid berdiri melingkar, membentuk arena pelatihan. Di tengah kerumunan, berdiri seorang pemuda kurus berusia tujuh belas tahun, tubuhnya penuh lebam dan jubahnya compang-camping. Dialah Raka, murid terendah dalam sejarah sekte itu.
"Kenapa dia masih di sini?" tanya salah satu murid perempuan sambil terkikik. "Sudah lima tahun, dan dia bahkan belum menembus tahap energi dasar!"
"Kalau aku jadi dia, aku akan mengubur wajahku di lumpur dan tak pernah muncul lagi," timpal yang lain.
Raka menggenggam erat tinjunya. Setiap kata, setiap tawa, menusuk lebih dalam dari luka fisik. Ia tak menunduk. Matanya tetap menghadap ke depan, ke arah panggung kayu tempat Tetua Suranta, pengawas latihan pagi itu, berdiri.
Tetua Suranta melipat tangan di depan dada, memandangi Raka seolah ia adalah serangga menjijikkan.
"Ayo, Raka. Tunjukkan pada kami bagaimana kau menghabiskan lima tahunmu," katanya sinis. "Berduel lah. Dengan dia."
Dari balik kerumunan, seorang murid maju. Tubuhnya tegap, mata tajam, dan auranya kuat. Namanya Gantala, murid unggulan dari generasi baru. Ia tersenyum, tapi senyumnya bukan tanda persahabatan—itu adalah ejekan.
"Maaf, Raka," ucapnya seraya menjatuhkan posisi kuda-kuda. "Aku tak mau menyakitimu, tapi aku juga tak mau mempermalukan diriku sendiri karena mengalahkanmu terlalu cepat," ucapnya sombong.
Raka tak menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam. Lututnya sedikit gemetar. Ia tahu ini jebakan. Tapi menolak duel berarti dianggap pengecut dan akan dikeluarkan secara tidak hormat dari sekte.
“Mulai!” seru Tetua Suranta. Perintah telah diucapkan Tetua.
Gantala melesat secepat kilat. Satu pukulan telak mengenai dada Raka dan membuat tubuhnya terlempar ke tanah. Seketika suasana menjadi hening. Lalu, tawa meledak dari kerumunan.
“Sudah kuduga!”
“Lemah sekali!”
“Pantas saja jadi bahan pel lantai!”
Raka mengerang. Tulang rusuknya terasa retak. Tapi ia bangkit. Pelan-pelan, terhuyung, berdiri lagi.
Gantala sedikit terkejut, tapi tersenyum. "Kamu keras kepala. Tapi Kamu belum pantas berdiri di sini!" katanya dengan serius.
Kali ini, ia menyerang dengan kombinasi jurus pedang ringan. Raka tak bisa menghindar. Darah menyembur dari pelipis dan bibirnya.
Tetua Suranta mengangkat tangan. "Cukup." Perintah kembali diucapkannya.
Gantala mundur dengan anggun. Raka masih berdiri, meski tubuhnya goyah.
Tetua Suranta melangkah maju. "Lima tahun, Raka. Lima tahun, tapi hasilnya? Nol! Bahkan, murid termuda kita sudah mencapai energi dasar tahap kedua!" katanya tegas, dengan ekspresi mengintimidasi.
Ia meludah ke samping, lalu menunjuk ke arah murid-murid yang menonton.
"Jadikan dia contoh. Inilah akibatnya bila bakat rendah dipaksa masuk sekte!" kata Tetua Suranta.
Kerumunan bersorak.
"Buang saja dia!"
"Memalukan!" seru mereka, sambil melempari batu.
Tetua Suranta menatap Raka. "Mulai hari ini, aku menolak membimbingmu. Sekte ini bukan tempat bagi sampah sepertimu, Raka!"
Raka menggigit bibir bawahnya. Darah merembes dari sudut mulutnya. Ia ingin membalas, tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Lebih dari itu—tak ada yang akan membelanya.
Tiba-tiba, dari sisi arena, muncul suara tua dan serak.
“Cukup, Suranta.”
Semua murid menoleh. Tetua Mandaru, penjaga gudang obat sekte, muncul dari balik kerumunan. Tubuhnya bungkuk, jubahnya lusuh. Tapi mata tuanya masih menyala.
Tetua Suranta mendengus. "Apa maksudmu, Mandaru? Ini urusan latihan pagi!" katanya sambil meninggikan suara.
Tetua Mandaru menatap Raka yang nyaris roboh. "Apa kamu lupa, Sekte Matahari Gelap berdiri untuk memberi kesempatan pada semua, termasuk mereka yang dianggap tak berbakat?"
"Mimpi idealis tak akan memberi makan sekte ini," balas Suranta. "Dunia kultivasi adalah dunia kekuatan. Si lemah tak punya tempat."
Tetua Mandaru tak membalas. Ia hanya melangkah mendekat, mengangkat Raka dengan hati-hati, lalu menyerahkan sebotol kecil ramuan hijau.
"Minum ini. Tidak akan menyembuhkanmu sepenuhnya, tapi cukup untuk membuatmu bangkit sendiri," ujarnya perhatian.
Raka menatap botol itu, lalu menatap Mandaru. Ia mengangguk pelan.
"Terima kasih—" balas Raka, suaranya serak.
Siang itu, alun-alun kosong kembali. Raka duduk bersandar di balik gudang, napasnya terengah. Di tangannya, ramuan yang diberikan Tetua Mandaru masih setengah.
"Kenapa aku tetap di sini?" gumamnya pelan. "Apa aku memang sampah?"
Angin bertiup pelan. Daun-daun kering beterbangan di halaman belakang sekte. Raka memandang langit biru, lalu mengepalkan tinjunya lagi.
"Aku tak akan menyerah!" katanya dengan keyakinan penuh.
Malamnya, Raka pergi ke tebing barat, tempat ia biasa menyendiri. Di sana ia menyalakan lentera kecil, duduk di atas batu, dan membuka catatan kultivasi miliknya—lembaran lusuh yang sudah sobek di ujung.
"Energi dasar tahap pertama, bahkan ini pun seperti mimpi bagiku," gumamnya.
Tapi malam itu, saat matanya hampir terpejam, ia mendengar suara langkah kaki.
"Masih berlatih di tengah malam? Kamu tidak tahu kapan harus menyerah, ya?"
Itu suara Juan, mantan satu-satunya teman yang dulu sering duduk belajar bersamanya.
Raka menoleh. "Juan—"
Juan menyeringai. "Kamu tahu, aku dulu kasihan padamu. Tapi sekarang aku tahu, kamu cuma beban. Kamu membuat kami semua terlihat buruk!" katanya tajam.
"Aku tidak pernah minta dikasihani."
Juan mencibir. "Benar. Tapi karena kehadiranmu, aku yang kehilangan kesempatan ikut pelatihan luar. Aku harus menutupi kekurangan tim karena kamu."
"Kamu mencuri pilku, bukan?"
Juan terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku hanya mengambil yang tidak pantas untukmu. Lagipula, sekarang kamu akan dikeluarkan."
"Aku tidak akan keluar." Raka menatap tajam. "Aku akan tetap bertahan di sini. Sampai semua dari kalian melihat siapa aku sebenarnya."
Juan mendekat dan berbisik di telinganya. "Sayangnya, keputusan sekte sudah bulat. Besok kamu akan dibuang ke Lembah Jiwa Terlarang."
Raka menegang.
"Lembah itu bukan tempat bagi manusia. Siapa pun yang masuk, tidak pernah kembali," lanjut Juan sebelum pergi meninggalkannya sendiri dalam dingin malam.
Raka menggenggam catatannya erat-erat. Matanya menatap bintang, penuh luka, tapi tidak kosong.
Besoknya, seluruh sekte dikumpulkan di sisi jurang besar yang menganga gelap—Lembah Jiwa Terlarang. Kabut hitam menggantung, seolah mengisap suara dan cahaya.
Tetua Suranta berdiri di depan. Raka, tangannya terikat rantai spiritual, dibawa maju.
“Dengan ini, atas nama Sekte Matahari Gelap, kami mengusir Raka dari daftar murid. Hukumannya, di buang ke Lembah Jiwa.”
Beberapa murid bersorak. Yang lain hanya diam, termasuk Tetua Mandaru yang berdiri jauh di belakang.
Raka berdiri tegak. Matanya menyapu wajah-wajah yang dulu dikenalnya. Ia tidak melihat belas kasihan di satu pun dari mereka.
Sebelum dilempar, ia berkata pelan, “Aku akan kembali. Dunia ini akan mengingat namaku.”
Tubuhnya di dorong. Ia jatuh, melintasi kabut, menembus gelap, hingga bayangan tubuhnya hilang ditelan Lembah Jiwa.