Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
7000 Tahun di Dunia Pararel dan Aku Jadi Tak Terkalahkan

7000 Tahun di Dunia Pararel dan Aku Jadi Tak Terkalahkan

Heartwriter | Bersambung
Jumlah kata
266.1K
Popular
21.3K
Subscribe
1.1K
Novel / 7000 Tahun di Dunia Pararel dan Aku Jadi Tak Terkalahkan
7000 Tahun di Dunia Pararel dan Aku Jadi Tak Terkalahkan

7000 Tahun di Dunia Pararel dan Aku Jadi Tak Terkalahkan

Heartwriter| Bersambung
Jumlah Kata
266.1K
Popular
21.3K
Subscribe
1.1K
Sinopsis
18+PerkotaanSupernaturalDokter GeniusHaremDewa
Evan dihina, ditindas, bahkan dilempar dari gedung 21 lantai. Namun saat dia jatuh itu, secara ajaib dia masuk ke Dunia Pararel, dan hidup di sana selama 7000 tahun. Kini Evan kembali. Tapi sekarang, dia tidak sama lagi. Dia telah memiliki pengetahuan 7000 tahun semasa hidupnya di dunia pararel. Dia bisa memanggil petir, menyembuhkan banyak penyakit, membuat obat awet muda, jago main catur, jago beladiri, bahkan membuat pesawat antar bintang. Satu hal yang paling hebat adalah, dia bisa memberikan hubungan intim terbaik bagi para wanita. Evan mulai jadi Idola, saat dia mengatasi tantangan satu persatu.
1 Dikhianati, Dikeroyok, Dibuang dari Gedung Tinggi

Hari ini, Evan, mahasiswa berprestasi di Fakultas Kedokteran Universitas Popontolen, dan penerima beasiswa penuh, sedang mengikuti kuliah dengan serius ketika ponselnya bergetar. Sebuah chat WhatsApp dari Lisa, pacarnya, masuk:

"Evan, tolong! Aku dalam bahaya di lantai atap! Cepat!"

Jantung Evan langsung berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, dia mengangkat tangan.

"Maaf, Pak Dosen, saya harus keluar. Ada keadaan darurat," kata Evan sambil bergegas keluar kelas.

Dia berlari menaiki tangga menuju lantai 21, tempat atap gedung berada. Nafasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya, tapi rasa takut akan keselamatan Lisa membuatnya terus berlari.

Begitu pintu atap terbuka, Evan disambut oleh pemandangan yang membuatnya was-was. Gerombolan anak-anak kaya berkumpul di sana, dan mereka semua tersenyum sinis melihat kedatangannya.

Riko, salah satu dari mereka, melangkah maju sambil tersenyum mengejek.

"Mencari pacarmu, Evan?" katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar di sudut atap. "Dia ada di sana."

Evan mengenali kamar itu. Beberapa minggu lalu, dia dianiaya di tempat itu oleh Heri, pemimpin mereka dan Riko, wakilnya. Kamar tersebut adalah markas para mahasiswa kaya untuk merokok dan mengonsumsi narkoba.

Setiap sel di tubuhnya berteriak untuk tidak mendekat.

Tapi ingatan akan pesan Lisa membuatnya tetap melangkah. Dia harus memastikan Lisa tidak apa-apa, apapun risikonya.

Para mahasiswa jahat itu mengikutinya dari belakang sambil tertawa-tawa. Evan bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia terus melangkah.

 Saat Evan tiba di depan pintu kamar, telinganya menangkap suara yang membuatnya membeku.

Kriet... kriet... kriet...

Suara ranjang berderit. Disusul dengan suara nafas memburu. Evan langsung tahu apa yang terjadi di dalam sana—ada yang sedang berhubungan intim.

"Lisa!" teriaknya dalam hati.

Dia hampir mendobrak pintu, mengira Lisa sedang diperkosa. Tapi kemudian dia mendengar suara percakapan yang membuat dunianya runtuh.

"Ahh... Heri... kamu memang yang terbaik..." Suara Lisa terdengar jelas, suara yang sedang berada dalam keadaan penuh kenikmatan dan bukan berada dalam paksaan.

"Kamu juga semakin hebat, sayang. Latihan kita beberapa kali telah membuahkan hasil," jawab Heri dengan nada bangga. "Bagaimana kalau dibandingkan dengan Evan? Dia kan pacarmu selama setahun ini?"

Tawa Lisa meledak dari dalam kamar.

"Evan? Jangan bercanda! Aku mendekatinya cuma karena dia pintar. Tugasku selalu dikerjakan dia. Tanpa Evan, nilaiku pasti jelek. Dia itu cuma alat bagiku, Heri. Selama setahun ini, dia bahkan tidak pernah menyentuhku."

"Benarkah?" Heri tertawa. "Jadi aku yang pertama menikmati tubuh indahmu ini? Evan bodoh sekali melewatkan kesempatan sebagus ini!"

Kriet... kriet... kriet...

Suara ranjang kembali berbunyi lebih keras.

"Evan itu terlalu polos," lanjut Lisa di sela-sela desahannya. "Dia berjanji akan menikahi aku dulu sebelum menyentuhku. Katanya mau bermalam pertama setelah menikah. Dan tentu saja, aku setuju karena aku memang hanya butuh dia untuk mengerjakan tugasku!"

Di belakang Evan, Riko dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak.

"Dengar itu, Evan! Kamu dipermainkan habis-habisan! Huahahaha!" teriak Riko sambil menepuk paha.

"Satu tahun jadi budak tugas! Kasihan sekali!" timpal yang lain.

Tawa keras mereka membuat Lisa dan Heri menyadari ada orang di luar. Suara ranjang tiba-tiba berhenti. Terdengar suara orang berganti pakaian dengan tergesa-gesa.

Pintu terbuka.

Lisa keluar pertama kali, rambutnya acak-acakan, pakaiannya belum rapi sempurna. Matanya membulat sempurna saat melihat Evan berdiri di depan pintu.

"E-Evan...?" suaranya bergetar.

Heri keluar di belakangnya, masih merapikan kancing kemeja dengan santai, senyum puas terpasang di wajahnya.

Evan menatap Lisa dengan mata yang memerah. Suaranya gemetar, menahan amarah dan sakit hati.

"Kamu bilang kamu sedang dalam bahaya... aku datang untuk menolongmu. Aku pikir kamu disakiti. Aku bahkan siap melawan siapapun untuk menyelamatkanmu..." Evan berhenti sejenak, mencoba menahan air mata. "Ternyata ini semua... hanya permainanmu?"

Lisa terkejut. "Evan, aku tidak mengirim pesan itu!"

Heri tertawa keras. "Aku yang mengirimnya, Evan! Dari ponsel Lisa yang aku pakai. Aku ingin kamu datang dan melihat sendiri. Aku ingin kamu merasakan sakit hati ini! Hehehe."

Dia merangkul Lisa dengan posesif. "Dan Lisa, kamu tidak perlu bersembunyi lagi. Selama setahun ini kamu cuma memanfaatkan dia, kan? Sekarang kamu milikku."

Sesuatu di dalam diri Evan patah.

"ARRGGHHHH!"

Dengan teriakan penuh amarah, Evan melompat dan meninju wajah Heri. Satu pukulan. Dua pukulan. Tiga pukulan. Darah mulai memercik dari hidung dan mulut Heri.

"EVAN BERHENTI!" teriak Lisa.

Tapi Evan tidak peduli. Semua rasa sakit yang dia pendam selama ini berupa penindasan, pemukulan, hinaan dan sekarang pengkhianatan, semuanya meledak dalam setiap pukulan yang dia lancarkan.

"TARIK DIA! TARIK DIA!" teriak Riko panik.

Sembilan orang langsung mengerumuni Evan, menarik tubuhnya, memukuli dia dari segala arah. Tapi Evan tidak melepaskan cengkeramannya pada Heri. Tangannya terus memukul, walaupun punggungnya, perutnya, dan kepalanya dipukuli bertubi-tubi.

"Kalau aku harus mati, kamu mati bersamaku, Heri!" geram Evan.

"AAAHHH! LEPASKAN DIA! DIA MAU MEMBUNUHKU!" teriak Heri ketakutan.

Akhirnya, setelah dipukul keras di kepala oleh Riko, cengkeraman Evan melemah. Tubuhnya tersungkur, diinjak-injak oleh sembilan orang. Tulang rusuknya retak. Wajahnya bengkak. Darah mengalir dari mana-mana.

Di tengah kesakitannya, Evan melihat Lisa berlutut di samping Heri yang terluka, menangis sambil memeluknya.

"Heri, kamu tidak apa-apa? Oh Tuhan, wajahmu..." Lisa sama sekali tidak melirik Evan yang tergeletak.

Lisa lebih memperhatikan Heri, daripada Evan. Dan ini sangat menyakitkan bagi Evan.

Sakit hati itu lebih pedih dari semua luka fisik yang Evan terima.

Heri bangkit dengan susah payah, wajahnya penuh darah dan bengkak. Matanya menatap Evan dengan kebencian.

"Riko... buang dia..." katanya dengan suara parau. "Buang dia dari atap ini. Lempar dia ke bawah."

"Tapi, Heri—" Riko ragu.

"LAKUKAN!" bentak Heri. "Aku akan tanggung jawab. Kita bilang dia bunuh diri karena putus cinta dari Lisa. Semua orang tahu dia cengeng. Mereka akan percaya."

Riko mengangguk. "Baik, Bos."

Empat orang mengangkat tubuh Evan yang hampir tidak sadarkan diri. Mereka menyeretnya menuju pagar pengaman atap.

Evan masih setengah sadar. Dia mendengar semuanya. Dia tahu dia akan mati. Dari lantai 21, tidak ada yang bisa selamat.

'Alam semesta... jika ada dunia lain... izinkan aku pergi ke sana... sebelum tubuhku hancur...'

Itulah doa terakhirnya.

"SATU... DUA... TIGA!"

Tubuh Evan dilempar melewati pagar.

Gravitasi menariknya ke bawah.

Angin berhembus kencang di telinganya.

Dan tiba-tiba...

ZHENGGGGG

Semuanya berubah.

Evan merasa tubuhnya tidak jatuh lagi. Dia berdiri di tempat yang sama—Universitas Popontolen—tapi ada yang berbeda. Suasananya... berbeda.

Tidak ada yang menjelaskan tentang ini padanya. Tidak ada suara. Tapi Evan tahu dia sudah berada di tempat lain.

Dia berada di Dunia paralel.

Hari-hari berlalu. Evan menjalani hidupnya seperti biasa. Dia melanjutkan kuliah, menjadi dokter seperti impiannya. Tapi ada yang aneh—dia tidak bisa mati. Dia tidak menua.

Evan memanfaatkan waktu yang banyak itu. Dia belajar. Tidak hanya kedokteran, tapi juga bela diri. Dari kung fu, karate, muay thai, bahkan beladiri kuno, hingga teknik tempur modern dan kuno.

Dia mempelajari persenjataan. Dari pistol, senapan, hingga cara membuat bom.

Dia mempelajari teknologi. Dari komputer, robotika, hingga pembuatan roket antariksa dan bahkan roket antargalaksi.

Tahun demi tahun berlalu.

Puluhan tahun. Ratusan tahun. Ribuan tahun.

7000 tahun pun berlalu.

Dalam waktu itu, Evan menjadi manusia paling sempurna yang pernah ada. Otaknya menyerap semua ilmu pengetahuan. Tubuhnya dikuasai dengan sempurna.

Dia bahkan mempelajari teknologi masa depan yang belum ada di masanya.

Dan akhirnya, dia menemukan cara untuk kembali.

Dengan pengetahuan yang dia kumpulkan selama 7000 tahun, Evan berhasil membuka portal kembali ke dunianya.

WUSSHHHH!

Tiba-tiba, dia merasakan gravitasi menarik tubuhnya lagi.

Evan membuka mata.

Dia sedang jatuh dari lantai 21 Universitas Popontolen!

Dia kembali ke detik-detik di saat dia terakhir berada di dunia nyata.

Lanjut membaca
Lanjut membaca