

Wandra berdiri di teras rumah kayu sederhana yang sudah ditinggali keluarganya selama tiga generasi. Matanya menatap jauh ke arah jalan tanah yang menuju ke luar desa, sementara pikirannya dipenuhi kegelisahan.
Di dalam kamar, ayahnya terbaring lemah, batuknya semakin parah setiap hari. Biaya pengobatan yang dibutuhkan jauh melampaui kemampuan keluarga petani seperti mereka.
"Nek, saya harus pergi," kata Wandra pelan kepada neneknya yang duduk di kursi rotan tua. "Kalau saya tetap di sini, tidak akan ada yang berubah. Ayah butuh pengobatan yang lebih baik, dan itu hanya ada di kota. Aku harus cari uang untuk nanti membawa ayah ke kota, nek."
Nenek Wandra menghela napas panjang. Wajahnya yang keriput tampak semakin dalam digarisi kekhawatiran. Namun, ia tahu cucunya benar. Desa mereka terlalu terpencil, terlalu miskin untuk memberikan harapan bagi masa depan pemuda seperti Wandra.
"Tunggu sebentar," kata sang nenek akhirnya. Ia bangkit dengan perlahan, kakinya yang renta melangkah menuju kamar belakang. "Ikut nenek. Sudah waktunya."
Wandra mengikuti neneknya ke sebuah kamar yang jarang dibuka. Di pojok ruangan, tertutup kain lusuh, terdapat sebuah peti kayu jati tua yang masih kokoh meski dimakan usia. Nenek Wandra membuka kain itu dengan hati-hati, tangannya sedikit gemetar.
"Kakekmu, sebelum meninggal dua puluh tahun lalu, saat kamu masih balita, berpesan padaku," ujar sang nenek sambil membuka kunci peti dengan anak kunci yang selalu ia simpan di saku bajunya. "Peti ini hanya boleh dibuka jika kamu, cucunya, akan pergi jauh dari desa ini."
Bunyi klik terdengar saat kunci terbuka. Nenek Wandra mengangkat tutup peti perlahan, dan aroma kayu tua yang khas menyeruak keluar. Di dalam peti, terbungkus kain sutra yang sudah menguning, terdapat beberapa benda.
Yang pertama dikeluarkan nenek Wandra adalah sebuah gelang emas. Meski tidak terlalu besar, kilauannya masih sempurna, menandakan kemurnian logam mulia itu. "Ini dijual ke tuan Harun untuk biaya perjalananmu," kata sang nenek, menyerahkan gelang itu kepada Wandra.
Namun, bukan hanya gelang emas yang ada di dalam peti. Wandra melihat ada benda lain—sebuah kalung dengan liontin berbentuk bulat. Berbeda dengan gelang emas, kalung ini tampak kusam, terbuat dari semacam logam yang tidak ia kenali. Liontin bulat itu memiliki ukiran-ukiran aneh yang melingkar membentuk pola rumit.
"Yang ini... aku tidak tahu apa gunanya," ujar nenek Wandra sambil mengamati kalung itu dengan ragu. "Sepertinya bukan emas. Mungkin tidak akan laku dijual."
Entah mengapa, Wandra merasa tertarik pada kalung itu. Ada sesuatu yang memanggilnya, seolah benda itu memang ditakdirkan untuknya. "Boleh saya pakai saja, Nek?" tanyanya.
Sang nenek mengangguk. "Kalau kamu mau, tidak masalah. Mungkin itu bisa jadi kenang-kenangan dari kakekmu."
Wandra mengalungkan liontin itu di lehernya. Logam dingin itu menyentuh kulitnya, dan untuk sesaat ia merasakan sensasi aneh—seperti aliran hangat yang sangat samar. Namun, ia mengabaikannya, mengira itu hanya perasaannya saja.
***
Keesokan harinya, dengan uang hasil penjualan gelang emas, Wandra berdiri di depan rumahnya yang dikelilingi keluarga besar. Ayahnya, meski lemah, keluar untuk memeluknya. "Berhati-hatilah, Nak. Kota itu keras, tidak seperti desa kita."
"Saya akan hati-hati, Yah. Dan saya akan kirim uang untuk pengobatan Ayah," janji Wandra, matanya berkaca-kaca.
Nenek Wandra memeluknya erat. "Jaga dirimu baik-baik. Dan jangan lupa, apa pun yang terjadi, kamu selalu punya rumah di sini."
Dengan tas punggung berisi pakaian seadanya dan sisa uang yang cukup untuk perjalanan dan bertahan beberapa minggu di kota, Wandra menaiki angkutan antar kota yang akan membawanya ke terminal terdekat.
Perjalanan dengan angkutan itu memakan waktu hampir tiga jam melewati jalan berkelok-kelok. Wandra duduk di dekat jendela, memandangi pemandangan desa yang perlahan berganti menjadi kota kecil, lalu kota yang lebih besar.
Di terminal, ia berganti transportasi. Kereta api menuju kota provinsi—kota terbesar kedua di negara itu—sudah menunggunya. Wandra naik ke gerbong kelas ekonomi yang penuh sesak. Di sekelilingnya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing. Pedagang asongan mondar-mandir menawarkan makanan dan minuman.
Selama enam jam perjalanan, Wandra hanya bisa menatap keluar jendela, memikirkan masa depannya. Kota yang akan ia tuju adalah kota besar dengan jutaan penduduk, kota penuh peluang sekaligus bahaya. Ia tidak tahu apa yang menantinya di sana, tapi ia harus mencoba.