Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Cincin Wasiat Kakek

Cincin Wasiat Kakek

Inspirasi Kopi | Bersambung
Jumlah kata
443.3K
Popular
781.8K
Subscribe
8.8K
Novel / Cincin Wasiat Kakek
Cincin Wasiat Kakek

Cincin Wasiat Kakek

Inspirasi Kopi| Bersambung
Jumlah Kata
443.3K
Popular
781.8K
Subscribe
8.8K
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalRajaDewaHarem
Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupan Arjuna mulai berubah. Ia mendapatkan kecerdasan yang luar biasa, kemampuan bela diri yang mengagumkan, dan aura karisma yang membuat orang-orang tertarik padanya. Berbekal beasiswa yang akhirnya ia dapatkan, Arjuna melanjutkan pendidikan di sebuah universitas elite di Jakarta. Di kampus, tanpa ia sadari, kesederhanaan dan ketulusan hatinya justru memikat banyak gadis dari berbagai kalangan. Mulai dari putri konglomerat, ratu kampus, mahasiswa jenius, hingga anak dekan - semua tertarik pada sosok Arjuna yang misterius. Namun Arjuna yang polos memperlakukan mereka semua dengan sama baiknya, menciptakan situasi yang semakin rumit. Di balik kesuksesan dan popularitasnya yang tiba-tiba, Arjuna harus menghadapi misteri besar tentang jati dirinya. Siapakah sebenarnya keluarga Wicaksono? Mengapa kakeknya meninggalkan cincin itu untuknya? Dan apa hubungan cincin tersebut dengan ramalan kuno tentang pemersatu Nusantara? "Cincin Wasiat Kakek" adalah kisah tentang pencarian jati diri, misteri leluhur, dan kekuatan cinta yang tulus. Sebuah novel yang memadukan unsur romance ringan, slice of life, dan sentuhan supernatural dalam balutan nilai-nilai kearifan lokal.
Bab 1 Senja Yang Redup

Senja di Temanggung selalu terlihat indah, namun tidak bagi Arjuna sore ini. Semburat jingga yang memantul di kaca jendela rumahnya yang reot seolah mengejek nasibnya. Tujuh amplop coklat berlogo berbagai universitas berserakan di atas meja kayu lapuk, masing-masing berisi penolakan beasiswa yang ia ajukan. Satu-satunya harapannya untuk bisa kuliah, kini hancur berkeping-keping.

"Jun... Arjuna..." Suara parau itu memanggilnya lirih dari kamar sebelah. Arjuna bergegas menghampiri. Di atas dipan bambu yang sudah dimakan rayap, Mbah Darmi terbaring lemah. Wajahnya pucat, bibirnya yang pecah-pecah bergetar menahan sakit.

"Ya, Mbah?" Arjuna berlutut di samping neneknya, menggenggam tangan keriput yang terasa dingin itu.

"Sudah makan, Nak?"

Arjuna menggeleng pelan, mencoba tersenyum. "Nanti saja, Mbah. Masih kenyang."

Bohong. Perutnya sudah melilit sejak pagi. Tiga hari ini mereka hanya makan singkong rebus. Uang terakhir mereka sudah habis untuk membeli obat sang nenek minggu lalu. Bahkan untuk membeli beras satu kilo pun, Arjuna harus berutang pada Yu Minah, pemilik warung kelontong di ujung desa.

"Jangan bohong sama orang tua, Jun," Mbah Darmi tersenyum lemah. "Nenek dengar perutmu berbunyi dari ta—" Kalimatnya terputus oleh batuk keras yang mengguncang tubuh rentanya.

"Mbah!" Arjuna panik saat melihat bercak merah di saputangan yang digenggam neneknya. Darah. Penyakit itu semakin parah.

"Ndak apa-apa, Jun," Mbah Darmi mencoba menenangkan cucunya. "Cuma batuk biasa."

Tapi Arjuna tahu ini bukan batuk biasa. Sudah tiga bulan neneknya menderita, dan mereka tak mampu ke rumah sakit. Puskesmas desa hanya memberi obat generik yang tak mampu meredakan sakitnya. Dok Hadi, dokter puskesmas, bahkan sudah menyarankan untuk membawa Mbah Darmi ke rumah sakit besar di kota. Tapi dari mana uangnya?

"Jun..." Mbah Darmi menggenggam tangannya lemah. "Nenek minta maaf ya."

"Kenapa Mbah minta maaf?" Arjuna menahan air matanya.

"Gara-gara nenek sakit, kamu jadi tidak bisa kuliah. Padahal kamu juara satu terus di sekolah. Harusnya kamu bisa jadi orang hebat, Jun. Bukan terjebak di sini ngurus nenek yang sudah tua ini."

"Mbah ngomong apa sih?" Suara Arjuna bergetar. "Arjuna yang harusnya minta maaf. Arjuna nggak bisa jadi cucu yang baik. Nggak bisa kasih Mbah hidup yang layak. Bahkan buat beli obat aja Arjuna nggak mampu."

Keheningan mengisi ruangan sempit itu. Hanya suara jangkrik dan kayu yang berderit sesekali terdengar. Cahaya lampu minyak menari-nari di dinding, membuat bayangan mereka terlihat lebih menyedihkan.

"Jun..." Mbah Darmi berbisik sebelum tertidur. "Nenek mimpi ketemu kakekmu semalam. Dia bilang... kamu akan menemukan jalanmu..."

Arjuna tertegun. Kakek? Dia bahkan tak punya ingatan tentang sosok itu. Yang ia tahu hanya dari cerita neneknya, bahwa Eyang Prabu Wicaksono menghilang saat Arjuna masih bayi, tak lama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan misterius.

Malam semakin larut. Arjuna kembali ke kamarnya setelah memastikan neneknya tertidur. Besok ia harus mencari pinjaman lagi untuk membeli obat. Tapi ke mana? Pak Karso sudah menolak memberi hutang lagi. Yu Minah juga sudah mengancam tak akan memberi hutang beras jika hutang yang lama belum dilunasi.

"Mungkin lebih baik aku berhenti bermimpi," gumamnya pada diri sendiri. "Cari kerja di kota... jadi kuli atau apa saja..."

KREK!

Suara itu mengejutkannya. Lantai kayu yang dipijaknya berbunyi aneh, berbeda dari biasanya. Arjuna berlutut, mengamati papan yang tampak sedikit menonjol. Didorong rasa penasaran, ia mencongkel pinggiran papan itu.

Arjuna mengamati papan lantai yang mencurigakan itu. Tangannya yang kasar karena sering membantu tetangga mencangkul meraba permukaan kayu yang sudah menghitam dimakan usia. Ada sesuatu yang janggal. Papan ini terasa... berbeda.

Dengan hati-hati, ia mencoba mengangkat papan itu. Debu-debu beterbangan, membuatnya terbatuk pelan. Cahaya lampu minyak yang temaram menerangi rongga gelap di balik papan. Matanya membulat ketika menangkap kilau samar dari sebuah benda.

Sebuah kotak kayu jati.

Ukiran-ukiran rumit menghiasi permukaannya, menciptakan pola yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Di tengah tutupnya, terukir aksara Jawa kuno yang sudah memudar. Jemarinya yang gemetar perlahan menyentuh kotak itu, merasakan tekstur kayunya yang masih kokoh meski berdebu.

"Ini..."

"Jun... Arjuna!"

Suara batuk keras dan panggilan lemah neneknya memecah konsentrasinya. Arjuna tersentak, hampir menjatuhkan kotak misterius itu.

"UHUK! UHUK! Jun... tolong..."

Suara itu lebih lemah dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda. Tanpa pikir panjang, Arjuna menyimpan kotak itu ke dalam saku bajunya yang lusuh dan bergegas ke kamar neneknya.

"Mbah! Mbah kenapa?!"

Pemandangan di hadapannya membuat darahnya berdesir. Mbah Darmi terduduk di pembaringannya, tangan keriputnya mencengkeram dada, sementara tangan yang lain menutupi mulut. Darah segar merembes di sela-sela jarinya.

"Ya Allah, Mbah!" Arjuna panik, "Tunggu sebentar, Arjuna panggil Pak Karso!"

"Jangan..." Mbah Darmi menahan tangan cucunya dengan sisa tenaganya. "Jangan tinggalkan nenek... Jun..."

"Tapi Mbah butuh bantuan! Arjuna harus—"

"Dengarkan nenek dulu..." Suara itu begitu lirih, nyaris berbisik. "Nenek... nenek melihatnya dalam mimpi... kakekmu... dia bilang... sudah waktunya..."

"Mbah ngomong apa? Arjuna nggak ngerti. Mbah istirahat dulu, ya? Arjuna—"

"Kotak itu..." Mata tua Mbah Darmi menatap tajam ke arah saku Arjuna, tempat kotak kayu itu tersembunyi. "Kamu... sudah menemukannya..."

Arjuna terperanjat. Bagaimana neneknya bisa tahu?

"Buka... Jun... buka sekarang..."

"Tapi Mbah—"

"Sekarang... sebelum terlambat..."

Dengan tangan gemetar, Arjuna mengeluarkan kotak itu. Di bawah cahaya temaram, ukiran-ukiran di permukaannya seolah bergerak, menari dalam bayangan. Perlahan, sangat perlahan, ia membuka tutupnya.

Derit kayu tua terdengar saat tutup kotak itu terbuka. Di dalamnya, terbaring sebuah cincin perak yang tampak kusam. Batu biru di tengahnya seolah menyimpan kegelapan malam, begitu dalam dan misterius. Arjuna terpaku, jantungnya berdegup kencang.

"Mbah... ini..."

"UHUK! UHUK!"

Batuk Mbah Darmi semakin keras, lebih parah dari sebelumnya. Darah segar membasahi seprai putih lusuh yang sudah menguning. Tubuh rentanya terguncang hebat, mencengkeram dada dengan wajah kesakitan.

"MBAH!" Arjuna menjatuhkan kotak itu, cincin perak menggelinding di lantai kayu. "Ya Allah, Mbah bertahan! Arjuna panggil—"

"Jun..." Suara itu nyaris tak terdengar. "Maafkan... nenek..."

"Mbah jangan bicara dulu! Arjuna—"

"Dengarkan..." Tangan keriput itu menggenggam lengan Arjuna lemah. "Jagalah... cincin itu... Kakekmu... dia akan... menjelaskan..."

"Mbah ngomong apa? Arjuna nggak ngerti! Mbah bertahan, ya? MBAH!"

Genggaman di lengan Arjuna perlahan mengendur. Mata tua yang selalu memancarkan kehangatan itu menatap cucunya untuk terakhir kali, sebelum akhirnya tertutup perlahan.

"Mbah...?" Arjuna mengguncang tubuh neneknya pelan. "Mbah, bangun... Arjuna masih butuh Mbah..."

Hening.

"Mbah, jangan tinggalin Arjuna... Mbah!" Air mata mulai mengalir di pipinya. "MBAH!"

Malam itu, rumah kecil di lereng Gunung Sumbing dipenuhi isak tangis. Arjuna memeluk tubuh kaku neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Di lantai, cincin perak itu tergeletak sunyi, batu birunya berkilau redup seolah ikut berduka.

Arjuna tak pernah merasa sesendiri ini. Dulu, saat kedua orang tuanya meninggal, setidaknya ada Mbah Darmi yang memeluknya, menghapus air matanya, membisikkan kata-kata penghiburan. Tapi sekarang... siapa yang akan memeluknya? Siapa yang akan menghiburnya?

"Mbah..." isaknya lirih. "Arjuna belum jadi apa-apa... Arjuna belum bisa banggain Mbah... Arjuna masih butuh Mbah..."

Di luar, angin malam berhembus kencang. Daun-daun kering bergesek menciptakan melodi pilu. Lampu minyak bergoyang-goyang, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Dan di sudut ruangan, cincin perak itu mulai memancarkan cahaya biru yang samar...

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca