

Aku masih bisa mencium bau aspal basah ketika semuanya berubah. Malam itu sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah operasi antinarkoba berskala besar. Lampu jalan memantul di genangan air, membentuk bayangan kuning pucat.
Ini adalah misi yang sangat penting bagiku, karena semua usaha yang aku lakukan selama bertahun-tahun hanya untuk hari ini.
Apa yang kami kejar adalah pembunuh berantai, pembunuh yang sudah membunuh kedua orang tuaku dan juga nyawa orang-orang yang tidak bersalah.
Setelah bertahun-tahun menyelidikan yang melelahkan, dan menguras tenaga. Akhirnya kami sampai pada titik ini, di mana kami hanya selangkah lagi untuk menangkap pembunuh itu.
Aku mengencangkan rompi taktis yang sejak sore terasa terlalu berat, atau mungkin tubuhku yang tiba-tiba terlalu lelah. “Fokus,” bisikku pada diri sendiri. Ini seharusnya operasi terakhir sebelum aku dipindahkan.
Langkahku menggema di lorong sempit gudang tua tempat kami menyergap. Nafasku berembun di udara dingin. Jari telunjukku mengambang beberapa milimeter di atas pelatuk, seperti biasa, tidak terlalu jauh, tidak terlalu dekat. Kontrol. Disiplin. Dua hal yang selalu kutanamkan pada anak buahku.
Aku mendengar sesuatu… hanya gumaman lirih, seperti suara logam digesek. Tubuhku refleks menegang.
“Clear sisi kiri!” seru salah satu anggota timku. Suaranya terdengar datar, tapi ada getaran kecil yang tidak pernah lolos dari pendengaranku yang sudah terlatih.
Aku melangkah maju. Satu langkah. Dua langkah.
Lalu dunia meledak.
Tembakan pertama terdengar seperti palu yang menghantam drum di dalam kepalaku. Aku belum sempat mengangkat senjata ketika sebuah dentuman kedua menyusul, lebih tajam, lebih dekat. Ada kilatan kecil di sudut pandangku, lalu…
Peluru itu masuk menembus tubuhku begitu cepat hingga aku tak sempat merasakan apa pun selama satu detik yang tak masuk akal panjangnya. Baru kemudian rasa panas itu datang, membelah dadaku seperti pisau merah membara. Napasku tersengal, terpotong, seperti paru-paruku menolak bekerja.
Suara-suara di sekitarku menjadi gema tak jelas.
“Tembakan! Perwira jatuh!”
“Tutup posisi!”
“Komandan—!”
Aku ingin menjawab, tapi pandanganku perlahan menjadi kabur, dan kesadaranku juga ikut menghilang.
Sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran, aku sempat mendongak dan melihat sosok yang sebelumnya menebakku. Saat ini, sosok itu sedang berlari di antara pepohonan.
Lalu tiba-tiba, sosok itu berhenti. Dia kemudian berbalik dan menatap ke arahku.
Meskipun jaraknya sangat jauh, aku bisa melihat bahwa dia tersenyum ke arahku. Senyum yang sangat dingin.
Itu adalah senyum yang sama yang aku lihat saat dia menggantung ayah dan ibuku dan memenggal kepala mereka dengan gergaji besi.
Jika aku di beri kesempatan untuk bisa hidup kembali, aku bersumpah bahwa aku akan membunuhnya.
Pada saat ini, kesadaranku akhirnya menghilang.
...
Entah berapa lama aku tersesat dalam kekosongan, panjang, kacau, tanpa arah. Hingga perlahan, kesadaranku kembali. Ketika aku bangkit dan tanpa sengaja menyentuh kalender di dinding, tubuhku langsung membeku.
1 Juni 2006.
Aku menatap angka itu lama sekali.
“Apakah aku terlahir kembali? Atau aku sudah berada di alam lain?” pikirku linglung. Segalanya terasa seperti mimpi yang buruk, atau mungkin awal mimpi yang lebih buruk.
Aku sempat berpikir bahwa ini adalah alam baka atau sejenisnya, tapi itu tidak mungkin.
Dengan kepala kusut, aku keluar dari kantor. Aneh, rekan-rekanku di tempat itu menyambutku dengan ramah, seolah aku sangat akrab dengan mereka.
“Sudah selesai bekerja, Arsen?”
“Aku iri padamu. Pasti senang pulang ke istri secantik milikmu.”
“Ingat datang lebih pagi besok! Jangan telat!”
Aku hanya bisa memaksakan senyum. Wajah-wajah mereka asing, tetapi mereka bertindak seolah aku bagian dari tempat itu. Aku ingin bertanya seribu hal, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Belum sempat aku bernapas lega, kenyataan aneh berikutnya menghantamku.
Pulang?
Aku bahkan tidak tahu di mana rumahku?
Dari percakapan singkat dengan mereka, aku baru tahu bahwa aku ternyata sudah menikah, dan istriku disebut-sebut sangat cantik. Kepalaku makin pening.
Malam merayap pelan. Aku duduk sendirian di unit, benar-benar bingung, tidak tahu ke mana harus pergi. Di era 2006, belum ada WhatsApp yang bisa kutandalkan, dan setelah meraba-raba seluruh tubuh, aku bahkan tidak menemukan ponsel. Setelah memeriksa saku berkali-kali, aku hanya menemukan sedikit uang, sekitar dua puluh Dollar.
Perutku keroncongan. Tak ada pilihan lain, jadi aku pergi ke kedai mi dekat kantor dan memesan semangkuk mi polos. Ketika membayar dua Dollar, rasa asing menyeruak dalam hati. Dunia ini… terasa begitu jauh dari kehidupanku sebelumnya.
Selesai makan, aku kembali ke unit. Rekan-rekan kerja langsung menggodaku lagi.
“Belum pulang? Mau lembur, hah?”
“Kalau aku punya istri secantik istrimu, aku bakal lari pulang secepat kelinci!”
“Arsen, kamu sebentar lagi jadi karyawan tetap. Jangan lupa angkat kami juga nanti.”
“Karyawan tetap apa?” tanyaku, tulus tidak mengerti.
Semuanya serempak tergelak. “Masih pura-pura? Ayah mertuamu ‘kan Sekretaris Partai Kota!”
“Benar! Istrimu pemimpin di Detasemen Kriminal. Dapat jabatan pemimpin tim kecil saja, masa tidak dibantu?”
Saat itu barulah aku sadar, identitas Arsen di kehidupan ini tidak sederhana.
Istrinya adalah pemimpin di Detasemen Kriminal.
Ayah mertuanya Sekretaris Partai Kota sekaligus mantan wali kota sementara.
Terlalu wah untuk sebuah kehidupan baru yang bahkan bukan milikku.
Rekan-rekan akhirnya pulang satu per satu. Tinggal aku sendiri yang mencoba memahami pekerjaan Arsen. Ternyata aku sekarang hanyalah asisten lalu lintas, seorang polisi pembantu, jauh berbeda dari kehidupanku sebelumnya sebagai polisi kriminal profesional.
Aku menatap tubuhku di cermin. Tubuh ini… sama persis. Bahkan namanya pun sama, hanya identitas yang berubah.
Waktu berlalu. Tiba-tiba, sebuah Audi hitam berhenti di depan unit. Seorang wanita keluar dari kursi pengemudi, semampai, anggun, kulitnya putih berkilau, wajahnya mempesona seperti peri keluar dari lukisan.
Jantungku berdegup. Apa ini… istriku?
Ternyata benar.
Ia berjalan langsung ke arahku dengan ekspresi tidak senang.
“Apa maksudmu? Ponselmu hilang, ayahku marah pagi ini, dan sekarang kamu sengaja tidak pulang untuk makan malam?” Nada suaranya dingin menusuk.
Aku langsung gagap.
“Eh… istri…”
“Ayo pulang,” katanya pendek, kemudian berbalik.
Aku masuk ke mobilnya. Sepanjang perjalanan ia diam seperti es. Aku mencoba mengajak bicara, tapi tatapannya tetap lurus ke depan tanpa respon.
Pikiranku berkecamuk. Apakah rumah yang kami tuju benar-benar rumahku? Apakah aku menikah sebagai menantu masuk rumah? Apakah Arsen yang asli yatim piatu, sehingga cocok dijadikan menantu ideal keluarga pejabat?
Sial. Apakah aku harus menuangkan teh untuk ibu mertua? Membawakan air panas? Atau lebih buruk, membasuh kaki? Drama-drama TV lama tiba-tiba memutar di kepalaku.
Mobil berhenti di kompleks mewah. Wanita itu menyerahkan ponsel baru kepadaku.
“Ini ponselmu. Mulai sekarang kita saling menghubungi lewat telepon. Aku tidak mau menerima kejadian seperti hari ini lagi,” katanya dingin.
Aku hanya menerima tanpa kata. Jelas sekali ia tidak menyukaiku.
Mungkinkah ia dipaksa menikah? pikirku pahit.
Kami masuk ke rumah. Begitu pintu terbuka, aura berat langsung menekan dadaku. Di sofa, ayah mertua dan ibu mertua duduk tegak seperti dua patung batu, ekspresi mereka keras dan serius.
Jantungku seketika berdentum lebih cepat.
Tepat ketika aku hendak mengganti sepatu, suara ayah mertuaku terdengar keras dan tegas.
“Arsen, kemarilah!”
“Baik, Ayah,” jawabku sambil mengangguk.
Aku melangkah mendekati sofa, berniat duduk di sana, tetapi ia segera menghentikanku.
“Kamu duduk di sana.” Ia menunjuk sebuah bangku kecil di seberang.
Aku terpaku. Kenapa rasanya seperti aku akan diinterogasi pelaku kejahatan?
Namun setelah berpikir sejenak, aku akhirnya duduk di bangku itu.
“Aku tidak ingin Natalia ‘menjemputmu’ dengan mobilnya lagi.” Tatapannya menusuk ke arahku.
Baru saat itulah aku mengetahui bahwa istriku bernama Natalia.
Akhirnya aku mengerti. Keluarga ini mengira aku sedang merajuk dan sengaja tidak pulang.
Padahal, bukannya aku tidak mau pulang, aku tidak tahu jalan pulang.
Tapi tentu saja, aku tidak mungkin mengatakan itu. Bisa-bisa aku dianggap gila.
Aku hanya mengangguk sambil mengingat betapa cantiknya Natalia.
“Bagaimana pelajaranmu?” tanya ayah mertua.
“Pe–pelajaran apa…?” Aku tertegun.
Wajah ayah mertua langsung berubah tidak senang.
“Buku ujian pegawai negerimu! Apa kamu pikir hanya karena aku ayah mertuamu, kamu bisa langsung menjadi pegawai negeri? Ingat, kamu harus lulus ujian tertulis!”
Mendengar itu, aku akhirnya paham.
Ayah mertuaku benar-benar ingin memindahkanku dari posisi asisten lalu lintas menjadi perwira polisi kriminal penuh. Syaratnya hanya satu: lulus ujian tertulis.
“A-aku sedang belajar,” jawabku asal, karena aku benar-benar tidak tahu apa-apa.
“Kalau begitu, akan kuujikan sedikit.” Ia mengambil sebuah buku dari meja.
Aku langsung membeku.
Tidak mungkin! Aku belum membaca satu kata pun!
Bagaimana aku bisa menjawab?
Dan kenapa keluarga ini terasa sedingin kantor birokrasi? Tidak ada sedikit pun kehangatan keluarga.
“Maaf, Ayah. Beberapa hari ini aku agak sibuk, jadi belum banyak membaca,” ujarku cepat.
“Tidak banyak membaca dan tidak membaca sama sekali adalah dua hal berbeda. Dengarkan.” Ia membuka buku itu. “Untuk kendaraan barang kecil dengan daya angkut lebih dari satu ton, berapa meter batas belakang muatan tidak boleh melebihi kendaraan?”
Aku terdiam.
“???”
Ayah, tolong tanya soal kriminalitas, bukan peraturan lalu lintas!
Aku pernah mempelajari itu dulu, tetapi kasus kriminal membuatku lupa semua teori jalan raya.
Melihat kegagapanku, ayah mertua mengerutkan kening.
“Ini pertanyaan pertama di halaman pertama. Jadi kamu bahkan tidak membaca satu halaman pun?” Nada suaranya semakin dingin.
“Ayah… aku akan membacanya besok,” kataku malu.
“Tidak perlu kau baca!”
Ia membanting buku itu keras-keras ke meja. Suara gedebuknya membuatku terlonjak.
Dengan muka tegang ia bangkit, lalu berjalan menuju balkon sambil berkata ketus,
“Kau tidak bisa membuat dompet sutra dari telinga babi!”
Ia lalu berdiri sendirian di balkon sambil merokok.