

Langit malam menyimpan luka, dan jalanan kota menjadi saksi bisu langkah seorang remaja yang berlari dari kenyataan. Di antara riuh suara mesin motor dan lampu jalan yang remang-remang, Romeo berdiri di ujung gang sempit—menatap dunia yang tak pernah benar-benar menyambutnya.
Ia menarik napas dalam-dalam. Jaket lusuh berwarna hitam masih melekat di tubuhnya, menutupi kaus yang mulai robek di bagian bahu. Tangannya menggenggam helm setengah wajah, penuh bekas goresan dan cat yang terkelupas.
Suara raungan mesin terdengar mendekat.
Romeo melangkah menuju motor bebek tua yang telah ia modifikasi sendiri. Mesinnya sudah tua, tapi cukup untuk menantang para pembalap liar yang terlalu percaya diri dengan mesin 150 cc mereka. Dia tahu, malam ini adalah tentang uang. Bukan kehormatan, bukan gengsi. Tapi uang.
🏍️🏍️🏍️
“Satu putaran, lima ratus ribu. Kalau lo kalah, utang lima kali lipat. Siap, Ghost?”
Seorang pemuda berjaket kulit membuka tantangan.
Romeo tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, lalu menaiki motornya. Di balik helm, bibirnya menyunggingkan senyum tipis—dingin dan getir.
Julukannya di jalanan adalah “Night Ghost.” Legenda tak terlihat yang selalu muncul hanya ketika butuh uang. Tak banyak yang tahu wajah aslinya, dan dia menyukai itu.
Asap knalpot mengepul di udara dingin malam. Para pemuda bersorak sambil menyalakan rokok dan lampu sorot dari ponsel mereka. Di depan mata mereka terbentang lintasan jalanan kosong sejauh dua kilometer—aspal tua penuh lubang, dilapisi bayangan lampu jalan yang redup.
Romeo berdiri di samping motornya, mata tajam menatap ke depan, tanpa kata. Di seberangnya, seorang pembalap dengan jaket neon dan motor sport mengentak-entakkan gas, memanaskan mesin seperti harimau yang haus darah.
“Tiga... dua... satu... GAS!”
Teriakan wasit jalanan disambut deru mesin yang melengking.
Dalam hitungan detik, garis start berubah menjadi arena neraka. Motor-motor melesat, melintasi jalanan sempit kawasan industri yang kosong di malam hari. Romeo menghindari lubang-lubang jalan dengan presisi maut. Ia tak hanya balapan dengan mesin lain—tapi juga dengan nasib.
Ban belakang Romeo berdecit, menciptakan jejak hitam di aspal saat motornya melesat bagai anak panah. Ia tak memiliki fairing mewah atau mesin besar, hanya sebuah motor bebek tua modifikasi yang ia rawat dengan tangannya sendiri. Tapi keunggulannya bukan pada mesin—melainkan pada insting.
Tikungan pertama muncul. Lawannya masuk terlalu cepat, sedikit keluar jalur. Romeo mempersempit celah. Ia meluncur mulus seperti bayangan, menyelinap melewati sisi kanan dengan presisi gila.
Suara sorakan meledak.
“Itu Ghost! Anjir, dia naik motor bebek!”
Tikungan berikutnya lebih tajam. Ada lubang besar di tengah jalan. Romeo mengingatnya—dia pernah hampir jatuh di sana dua minggu lalu. Kali ini, dia melompat.
Motornya sedikit terangkat. Roda belakang menghantam tanah dengan keras, namun dia tidak goyah. Lawannya mencoba menyusul, tapi gagal mengatur kecepatan. Ban belakangnya slip, meskipun tidak jatuh.
Romeo tahu ini momen penentu.
Ia menurunkan tubuhnya, menyatu dengan motornya, seolah angin tak bisa menyentuhnya. Suara deru mesin tuanya seperti nyanyian perang, melawan takdir yang selalu ingin menekannya ke tanah.
Di garis akhir, Romeo menang.
Hanya beda setengah ban.
Tipis. Tapi cukup.
“Pemenangnya—NIGHT GHOST!!!”
Sorakan meledak. Uang berpindah tangan. Beberapa bersiul, yang lain tepuk tangan.
Romeo tidak selebrasi. Ia hanya memutar balik, tanpa ekspresi, lalu berhenti sebentar untuk menerima amplop berisi uang tunai. Beberapa anak geng berusaha mendekat, tapi pandangan matanya cukup untuk membuat mereka mundur.
“Lo dapet jackpot malam ini, bro,” kata salah satu orang yang menyerahkan amplop.
Romeo hanya mengangguk. “Gue cuma butuh buat bayar sekolah.”
“Sekolah?” Pria itu tertawa. “Lo bukan anak jalanan biasa, ya?”
Romeo hanya tersenyum tipis, lalu memacu motornya pergi ke kegelapan.
🏍️🏍️🏍️
Uang berpindah tangan. Beberapa tepuk tangan terdengar. Tapi Romeo tak peduli. Ia menyimpan uang di kantong jaketnya, lalu melaju pulang tanpa satu pun kata. Jalan pulangnya melewati tumpukan kontainer, jalan tanah berkerikil, dan jembatan tua yang pernah dipakai warga membuang bangkai televisi rusak.
Sesampainya di rumah, lampu hanya menyala di satu ruangan kecil.
Rumah mereka hanya rumah petak dua kamar, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap seng bocor. Di dapur, ibunya—Bu Rose—sedang mencuci piring dengan air galon bekas. Tak ada sumur. Tak ada mesin cuci. Tak ada pendingin ruangan. Tapi di rumah itu ada satu hal yang membuat Romeo bertahan: keluarga.
“Dari mana aja kamu, Romeo?” tanya Bu Rose lembut, meski wajahnya cemas.
Romeo melepas helmnya. “Cari uang, Bu. Buat bayar keperluan sekolah sama listrik.”
Ibunya diam sejenak. Lalu menarik napas, seperti ingin memprotes tapi memilih menelan kekhawatiran itu sendiri.
“Bapakmu belum dapat panggilan kerja baru. Tapi katanya ada lowongan office boy bulan depan,” katanya pelan.
Romeo mengangguk. Ia tak ingin bicara tentang ayahnya malam itu. Bapaknya terlalu sering memandang langit tanpa bicara, seolah memohon jawaban dari Tuhan yang sudah terlalu sibuk.
Tiba-tiba, Romeo membuka tas lusuh dari bahunya. Ia mengeluarkan sebuah amplop.
“Ini, Bu. Untuk kebutuhan kita sehari-hari dan sisanya untuk keperluan sekolahku.”
Bu Rose memandang amplop itu dengan mata berkaca. “Kamu gak nyolong kan, Nak?”
Romeo tertawa pendek. “Aku seharian ini memulung, Bu. Untungnya dapat banyak. Makanya baru pulang jam segini.”
Bu Rose hanya menghela napas. “Kamu pintar, Nak. Kamu bisa lebih dari sekadar hidup di jalanan.”
Romeo menatap wajah ibunya. Lelah, penuh keriput, tapi tetap menyimpan senyum lembut yang tak pernah pudar. Ia tahu ibunya benar. Tapi dunia tak pernah adil untuk orang sepertinya.
🏍️🏍️🏍️
Sudah seminggu berlalu sejak sekolah lamanya menggugurkan namanya dari daftar murid aktif. Alasan mereka sederhana—kekurangan biaya. Namun bagi Romeo, itu bukan sekadar alasan, melainkan palu yang menghancurkan jembatan masa depannya.
Setiap pagi ia terbangun bukan untuk bersiap-siap ke sekolah, tetapi untuk menghadapi kenyataan pahit bahwa ia kembali menjadi “anak jalanan”—yang digambarkan dunia sebagai beban, bukan harapan.
Di kamarnya yang sempit, beralas tikar robek dan dinding triplek yang mulai lapuk, Romeo menatap langit-langit seakan ingin bertanya kepada Tuhan:
"Masih adakah tempat untuk mimpi kecil seorang anak miskin sepertiku Tuhan?”
Setiap hari, ia menelusuri berita dan pengumuman beasiswa melalui ponsel butut warisan ayahnya yang kini menjadi pengangguran karena korban efisiensi perusahaan.
Sudah lebih dari sepuluh surat ia kirimkan. Setiap satu surat adalah satu benih harapan, namun tak satu pun tumbuh menjadi kabar baik.
Ia sudah hafal bentuk penolakan yang datang—kadang terang-terangan, kadang tak dijawab sama sekali.
Namun seperti pepatah lama berkata, “Pucuk dicinta ulam pun tiba.”
Hari itu, saat air langit mengguyur atap rumah sengnya dengan ritme lirih seperti doa, ibunya berteriak dari dapur:
“Romeo! Nak! Ada surat penting buat kamu!”
Bersambung.