

Kabut pagi menyelimuti Desa Angkasa, mengambang lembut seperti selimut yang menenangkan. Di kaki Pegunungan Biru Lazuardi, kehidupan berjalan perlahan, seolah waktu sendiri enggan tergesa-gesa. Tapi bagi Zuran, pemuda berusia tujuh belas tahun yang tengah melintasi hutan kecil di luar desa, hari itu terasa berbeda — udara terasa lebih berat, seakan menahan sesuatu yang tak kasat mata.
“Zuran! Jangan terlalu jauh!” suara kakeknya sempat menggema tadi pagi, tapi seperti biasa, Zuran terlalu ingin tahu untuk mematuhi peringatan itu.
Dengan rambut hitam acak-acakan dan pakaian sederhana yang sudah kotor oleh tanah dan embun, Zuran menuruni lereng lembut. Dia tengah mencari akar obat untuk kakeknya yang sedang sakit, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap cahaya aneh di antara akar pohon besar.
“Apakah itu... batu permata?”
Ia berjongkok, menyingkap daun-daun basah. Di sana, tertanam separuh ke tanah, adalah sebuah kristal bercahaya lembut. Warnanya biru safir, dan di tengahnya terlihat pusaran cahaya membentuk simbol burung phoenix kecil. Kristal itu berdenyut pelan… seperti bernapas.
Zuran menelan ludah. Nalurinya berkata untuk pergi, tapi rasa penasarannya lebih kuat.
Begitu ia menyentuh kristal itu, dunia seolah membeku.
Angin berhenti bertiup.
Suara hutan lenyap.
Lalu, cahaya meledak dari kristal, membungkus tubuhnya dalam cahaya putih menyilaukan. Zuran terangkat beberapa sentimeter dari tanah, matanya membelalak saat panas luar biasa menembus kulitnya — namun bukan panas yang membakar, melainkan mengalir seperti sungai energi yang murni.
Ia mendengar suara… samar, lembut, seolah berasal dari dalam pikirannya:
> “Pewaris cahaya… yang terpilih oleh langit…”
Kemudian semuanya gelap.
---
Zuran terbangun dengan jantung berdebar dan tubuh dingin oleh embun. Kristal itu telah lenyap, namun di pergelangan tangan kirinya tampak sebuah tanda yang belum pernah ia lihat sebelumnya — lambang phoenix kecil, menyala halus seperti tinta bercahaya.
“Apa yang terjadi barusan…?”
Suaranya gemetar. Ia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa ringan — terlalu ringan. Seolah ia menyatu dengan udara.
Saat itulah ia menyadari: ia bisa mendengar detak jantung burung di kejauhan. Ia bisa merasakan aliran air di bawah tanah. Ia bahkan tahu letak seekor rubah kecil yang bersembunyi di balik semak tiga puluh meter dari tempatnya berdiri.
“Ini… bukan mimpi, kan?”
Tapi sebelum ia sempat mencerna semuanya, suara berat terdengar dari balik pohon-pohon tua.
“Kau menyentuh sesuatu yang bukan milikmu.”
Zuran menoleh cepat. Dari kegelapan hutan, muncul sesosok pria berjubah hitam, tinggi dan kurus, wajahnya tersembunyi di balik tudung yang dalam. Hanya mata merah menyala yang terlihat dari balik bayangan.
“Siapa kau?” tanya Zuran, mundur perlahan.
“Seorang penjaga yang gagal menjaga… Dan sekarang kau sudah membuka jalan.” Suara pria itu serak namun tegas. “Cahaya telah kembali, dan itu berarti Bayangan juga akan bangkit.”
Zuran ingin bertanya lebih banyak, tapi pria itu menghilang begitu saja, seperti asap yang tertiup angin.
Dari kejauhan, langit mulai berubah. Kabut menebal, dan kilat menyambar di balik pegunungan. Angin berdesir pelan, membawa bisikan dari masa lalu.
Hari itu, langit Lazuardi retak sedikit… dan Zuran tak tahu bahwa langkah kecilnya di hutan akan mengguncang dunia yang selama ini tersembunyi di balik awan.
Zuran berlari pulang secepat yang ia bisa, meski tubuhnya terasa lebih ringan dari biasanya. Setiap langkah seolah didorong oleh kekuatan tak kasat mata. Hatinya masih diguncang oleh peristiwa yang belum bisa ia mengerti — kristal itu, suara aneh, dan sosok misterius yang menghilang begitu saja.
Saat ia tiba di Desa Angkasa, langit mulai memerah. Matahari sore tenggelam di balik Pegunungan Biru, menyisakan siluet lembut desa yang dikelilingi kabut.
“Zuran!”
Suara serak memanggil dari serambi rumah kayu tua — Kakek Rano, sosok tua yang membesarkannya sejak kecil. Meski tubuhnya telah melemah karena usia dan penyakit, tatapannya tetap tajam, dan ia mengenal cucunya cukup baik untuk tahu saat sesuatu tak beres.
“Kau dari mana saja? Kau terlihat... berbeda.”
Zuran berhenti di ambang pintu, napasnya masih memburu.
“Aku... menemukan sesuatu di hutan. Ada... batu, atau kristal. Lalu tiba-tiba—”
Kakek Rano langsung mendekat, matanya menyipit.
“Kristal?” bisiknya, seperti kata itu terlalu berat untuk diucapkan.
Zuran memperlihatkan tanda phoenix kecil di pergelangan tangannya. Saat ia mengangkat tangan, lambang itu berpendar samar — cahaya lembut seperti nyala kunang-kunang.
Wajah kakeknya mendadak pucat.
“Demi langit... Ini tak seharusnya terjadi sekarang,” gumamnya.
Zuran mengernyit. “Apa maksud Kakek?”
Kakek Rano menatap cucunya dengan mata yang dipenuhi ketakutan, seolah masa lalu yang lama dikubur kini bangkit kembali.
“Kau telah membangunkan sesuatu yang tertidur lama... Kristal itu milik Kerajaan Langit. Hanya mereka yang ditakdirkan yang bisa menyentuhnya. Dan jika itu muncul lagi, maka artinya—”
Suara petir menggelegar, memotong perkataannya. Lalu, angin menderu lewat jendela yang terbuka. Tirai berkibar liar, dan api di perapian mendadak padam.
Zuran dan kakeknya menoleh bersamaan. Di luar, langit malam mulai dipenuhi awan gelap tak biasa, membentuk pusaran yang tak lazim.
“Bayangan itu kembali...” lirih Kakek Rano. “Lazuardi tak akan pernah sama lagi.”
---
Malam itu, Zuran duduk di depan perapian yang nyalanya telah kembali tenang. Kakeknya tak bicara banyak, hanya memeluk tongkat tua dan menatap kosong ke api. Tapi di benak Zuran, jutaan pertanyaan berputar tak henti: Apa kristal itu sebenarnya? Mengapa ia bisa menyentuhnya? Siapa pria misterius di hutan? Dan... apa yang dimaksud dengan Bayangan?
Ketika ia akhirnya tertidur, mimpi aneh datang — sebuah kerajaan terapung di atas langit, para penjaga dengan jubah berkilau, dan seekor phoenix raksasa yang terbang membelah awan, memekik pilu.
Dan dalam mimpi itu, seseorang berkata pelan di dekat telinganya:
“Terbanglah, Zuran… karena langit kini bergantung padamu.”
Zuran terbangun dengan napas terengah. Tubuhnya basah oleh keringat, dan jantungnya berdetak seolah baru selesai berlari sejauh ladang selatan. Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui jendela bambu rumah kayunya, menyentuh tanda phoenix di pergelangan tangan—yang kini bersinar samar, seolah merespons mimpinya.
Ia duduk di atas kasur jerami, pandangannya menatap kosong ke luar jendela. Suara dari mimpinya masih terngiang di kepala:
> “Terbanglah, Zuran… karena langit kini bergantung padamu.”
Ia menyentuh tanda itu pelan. Hangat. Bukan hanya secara fisik, tapi juga terasa... hidup. Seperti ada sesuatu di dalamnya yang terus berdenyut, menunggu untuk dibangkitkan.
Di luar, suara langkah kaki tergesa terdengar. Kakek Rano membuka pintu kamar Zuran dengan ekspresi cemas.
“Zuran,” katanya, tanpa basa-basi. “Ada tamu dari utara. Penjaga hutan.”
Zuran mengerutkan dahi. “Penjaga hutan? Kenapa datang ke sini?”
“Karena mereka... mencium adanya cahaya kuno yang bangkit semalam.” Kakek Rano menatap Zuran dengan sorot yang berbeda kali ini. Bukan marah, bukan panik—melainkan campuran ketakutan dan pengharapan.
“Waktunya telah tiba,” katanya pelan. “Kau harus tahu siapa dirimu sebenarnya... dan apa takdir yang telah menunggumu sejak kau dilahirkan.”
Zuran berdiri perlahan. Meski rasa bingung dan gentar masih mencengkeram, ada sesuatu dalam dirinya yang menyala. Sebuah perasaan baru yang belum pernah ia rasakan: panggilan.
Dan jauh di balik awan biru Lazuardi, sesuatu sedang bangkit dari tidur panjangnya.
Kakek Rano menggenggam lengan Zuran, matanya tajam menatap pergelangan tangan cucunya yang kini bersinar lembut. “Itu... kristal sudah memilihmu,” bisiknya dengan suara gemetar. “Aku tak pernah menyangka hari ini akan datang secepat ini.”
Zuran menatap tanda itu, berkilauan bagai bara biru keemasan, membentuk siluet seekor phoenix dalam satu garis lengkung sederhana. Ia masih belum bisa mempercayai semuanya—mimpi tadi malam, pancaran cahaya dari gua, dan sekarang tanda ini. “Apa maksud semua ini, Kek?”
Kakek Rano menatap keluar jendela, seolah mencari sesuatu di antara kabut pagi. “Ada banyak hal yang belum kau ketahui, Zuran. Tapi sekarang bukan saatnya bercerita panjang. Penjaga dari utara datang bukan tanpa alasan. Dan jika benar mereka mencium cahaya itu, maka... Bayangan Kelam pasti juga sudah bangkit.”
“Bayangan Kelam?” Zuran mengerutkan dahi.
Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, dari kejauhan terdengar suara derap langkah kuda dan denting logam. Seekor kuda putih dengan pelana bersulam biru langit muncul dari balik kabut, ditunggangi sosok tinggi berjubah perak. Di dadanya tersemat simbol air berkilauan.
Penjaga itu turun dari kuda, melangkah mendekati rumah Zuran dengan gerakan anggun dan penuh wibawa. Mata tajamnya memandangi Zuran tanpa berkedip. “Namaku Caldris,” katanya. “Aku datang karena Kristal Cahaya telah hidup kembali. Dan aku yakin... kaulah yang membangunkannya.”
Zuran menelan ludah. Ia mundur selangkah, gugup.
Caldris melanjutkan, “Bayangan Kelam sudah mulai bergerak. Dunia tak lagi seimbang. Dan kita... membutuhkanmu.”
Udara seolah berhenti. Zuran menatap matanya sendiri yang terpantul samar di permukaan pedang Caldris—dan di sana, pantulan itu menunjukkan sinar cahaya yang berdenyut dari tanda phoenix-nya.
Untuk pertama kalinya, Zuran merasa bahwa dunia yang ia kenal selama ini—sawah, hutan, langit biru—baru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang telah menunggunya sejak lama.
Langit Lazuardi memanggil. Dan takdir Zuran baru saja dimulai.