

"Skorsing selama dua minggu, efektif mulai besok.”
Gema kalimat Kepala Sekolah, Bapak Riyanto, menggantung di udara. Ruangan berpendingin itu langsung terasa beku seperti di kutub utara, meskipun Farel Arbiyani belum pernah ke sana.
Ucapan Pak Riyanto terdengar datar dan final, terasa seperti palu godam yang menghantam fondasi dunia Farel. Pemuda itu menatap permukaan meja mahoni yang mengilap, melihat pantulan wajahnya sendiri yang kabur di sana, seorang terdakwa yang baru saja divonis tanpa pengadilan yang adil di sekolahnya sendiri, tempatnya belajar, SMA Cendekia Mandala.
Di sekeliling meja, wajah-wajah orang dewasa menatapnya dengan ekspresi yang seragam, mulai dari kekecewaan yang dibuat-buat hingga superioritas moral yang menjijikkan.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Guru Bimbingan Konseling, dan tentu saja, sang sutradara agung di balik drama ini. Ustadz Syaiful Bahri, ayah dari Sassykirana, duduk dengan punggung tegak lurus, jemarinya bertaut di atas meja seolah sedang berdoa.
Wajahnya tampak tenang, memancarkan aura kebijaksanaan yang Farel tahu betul kalau itu hanyalah topeng. Dialah yang menarik semua tali, yang mengubah kritik pedas Farel di media sosial menjadi sebuah kasus penistaan nama baik yang mengancam seluruh sekolah.
“Farel,” suara Ustadz mengalun lembut, tetapi ada baja di baliknya. “Saya harap kamu bisa merenungkan perbuatanmu selama masa skorsing ini. Fitnah adalah dosa besar, Nak. Terutama jika ditujukan kepada seseorang yang hanya ingin menyebarkan kebaikan.”
Ingin sekali Farel tertawa keras, berteriak lantang dan berkata, “Kebaikan? Citra sempurna Sassykirana yang disembah-sembah seantero sekolah adalah sebuah produk kampanye pemasaran yang dibungkus dengan rapi dan brilian!” batin Farel dalam hati.
Setiap senyumnya terkalibrasi, setiap unggahan amalnya dihitung untuk dampak maksimal. Dan Farel yang mempunyai rasa kritis dan sinismenya yang tajam, berani menunjukkannya.
Pemuda itu hanya menulis sebuah tulisan singkat di blog pribadinya, mempertanyakan keaslian di balik citra ‘Malaikat Sekolah’ tersebut, lengkap dengan beberapa bukti kecil tentang inkonsistensi jadwal kegiatan amalnya. Tulisan itu pun viral dan meledak. Dan kini, ledakan itu berbalik menghanguskan dirinya sendiri.
“Saya mengerti, Pak,” jawab Farel, suaranya terdengar serak. Ia memaksakan tatapannya untuk beralih dari Ustadz Syaiful ke sumber masalahnya, Sassykirana.
Di seberang meja, gadis berhijab itu duduk di samping sang ayah. Dia adalah personifikasi kesempurnaan yang terluka. Matanya sedikit sembap dan bibirnya yang mungil sedikit bergetar, mungkin hasil akting menangis yang meyakinkan, pikir Farel muak.
Seragam sekolah yang dikenakannya pun tanpa cela, jilbabnya terpasang rapi, tidak ada sehelai rambut pun yang berani keluar dari tempatnya. Wajahnya adalah kanvas ketenangan dan penderitaan yang agung.
Gadis itu tidak menatap ke arah Farel, kedua bola matanya merunduk, terpaku pada tangannya yang terlipat di pangkuan, seolah-olah sedang menanggung beban dunia di pundaknya yang rapuh.
“Sassykirana sudah memaafkanmu, Farel,” kata Kepala Sekolah, mencoba terdengar bijaksana. “Tapi aturan sekolah harus tetap ditegakkan untuk memberi pelajaran. Agar kedepannya nanti tidak ada murid lain yang meniru seperti kamu.”
Farel mengepalkan tangannya di bawah meja, kukunya menancap ke telapak tangan, ia merasa geram dan kesal. Pelajaran yang ia dapat adalah bahwa kebenaran tidak ada harganya di hadapan citra yang kuat.
“Boleh saya pergi sekarang?” tanya Farel, nadanya lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Bapak Riyanto menghela napas panjang. “Silakan. Manfaatkan waktumu untuk berpikir dan jadikan hal ini sebagai pelajaran.”
Farel segera berdiri, kursinya berderit memecah keheningan. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun ke semua orang yang ada di ruangan itu. Pemuda itu langsung ngeloyor pergi.
Saat ia berjalan ke arah pintu, semua orang menatapnya dengan tatapan yang tajam seperti sebilah belati yang menusuk punggung.
Namun, sang idola, Sassykirana tetap diam dalam pose pualamnya yang suci, tidak terpengaruh oleh kehancuran yang baru saja ia saksikan.
Koridor sekolah yang Farel lewati sungguh terasa asing saat ia berjalan di sana. Suara tawa dan obrolan teman-temannya yang biasanya menyambut dia kini meredup.
Beberapa siswa tampak menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel mereka. Yang lain hanya memberinya tatapan kasihan yang bercampur dengan cemoohan.
Choki dan Hendri, dua sahabat terdekatnya yang semalam masih tertawa membaca tulisannya, kini berdiri di dekat loker, sengaja membuang muka.
“Rel,” panggil Choki pelan saat Farel melewatinya, suaranya nyaris berbisik.
Farel pun berhenti dan menatapnya penuh harap. “Apa?”
Choki hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gila lo, Rel. Nyari masalah sama keluarga Ustadz. Semua orang tahu dia siapa.”
“Gue cuma nulis apa yang gue lihat,” balas Farel, getir. “Kalian juga setuju ‘kan kemarin?”
Hendri menggeleng cepat seraya berkata, “Itu sebelum Sassykirana nge-post video dia nangis, Rel. Sumpah, lo kelihatan kayak monster.”
“Itu akting!” desis Farel, frustrasi sambil memperhatikan sekitarnya, seolah-olah memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka.
“Akting atau bukan, lo kalah, Rel,” potong Choki lagi. “Udah, terima aja. Minta maaf. Mungkin skorsing lo bisa dikurangin.”
Hati Farel mencelos, ia bukan hanya dihukum, tapi juga ditinggalkan oleh temannya. Pemuda itu merasa dikhianati oleh kedua sahabatnya yang seharusnya berada di pihaknya, ia sendirian sekarang.
Farel menatap kedua temannya itu dengan tatapan kosong, lalu berjalan pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan mereka. Kekalahan terasa seperti abu di mulutnya.
***
Hari pertama menjalani skorsing, Farel merasa dalam keheningan yang memuakkan. Skorsing memberinya terlalu banyak waktu untuk berpikir, untung ibunya yang single parent bisa menerima kondisi dia dan membiarkan Farel bertanggungjawab atas apa yang telah dia lakukan.
Hari itu dia habiskan dalam amarah yang membara. Farel membanting pintu, memukul-mukul kasur, mengutuk ketidakadilan dunia. Sesaat pemuda itu berpikir untuk menyerah, menerima cap pembangkang dan pencemar nama baik yang sekolah lekatkan padanya.
Mungkin Choki benar, lebih baik ia meminta maaf dan mulai melanjutkan hidup lagi.
Namun, setiap kali Farel membuka media sosial, wajah Sassykirana terpampang di mana-mana. Tersenyum lembut dalam sebuah acara donasi buku. Meneteskan air mata haru saat mengunjungi panti asuhan. Setiap unggahan dipenuhi ribuan komentar pujian.
Banyak yang menyebutnya sebagai "Malaikat kami", "Inspirasi", "Semoga Farel si penyebar fitnah itu dapat hidayah."
Setiap pujian itu terasa seperti tamparan bagi Farel. Sinismenya tidak padam, justru bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lebih dingin dan lebih tajam.
Farel merasa dia harus balas dendam. Namun, bukan balas dendam buta yang meledak-ledak, melainkan sesuatu yang diperhitungkan. Jika mereka ingin menyebutnya sebagai pencemar nama baik, maka ia akan memberi mereka sesuatu yang benar-benar bisa dicemarkan.
Farel tidak akan membersihkan namanya. Ia akan menghancurkan citra mereka dan membuktikan bahwa di balik tirai kesempurnaan itu, ada sesuatu yang busuk.
Pikiran itu mengubahnya. Farel yang impulsif dan sinis kini berubah menjadi seorang perencana. Ia menghabiskan sisa minggu itu untuk menyusun strategi.
Dibacanya lagi tulisannya, menganalisis setiap detail kecil yang ia lewatkan. Ia membuat peta pikiran tentang jadwal Sassykirana, lingkaran pertemanannya dan kebiasaannya.
***
Baru sehari skorsingnya berlalu, Farel sudah merasa jengah. Pada sore hari, dia membongkar laci mejanya yang berantakan. Di bawah tumpukan komik lama, ia menemukan apa yang dicari.
Sebuah ponsel pintar model lama, dengan layar yang retak di sudut dan baterai yang sudah kembung. Ponsel itu tidak terhubung dengan akun media sosialnya, tidak memiliki nomor yang terdaftar atas namanya. Sebuah alat yang sempurna untuk menyamar.
Farel lalu mengisi daya ponsel itu selama satu jam, cukup untuk menghidupkannya. Lalu, dengan jaket hoodie yang menutupi kepala, ia berjalan kaki menuju sekolah.
Pemuda itu tidak masuk, tentu saja. Ia mengambil posisi di seberang jalan, di halte bus yang sepi, bersembunyi di balik tiang iklan yang sudah pudar.
Bel pulang sekolah pun berbunyi, nyaring dan familier. Namun kini terdengar seperti lonceng dari dunia lain. Gerbang sekolah terbuka, memuntahkan ratusan siswa yang tertawa riang.
Farel menunggu dengan sabar seperti seorang pemburu. Jantungnya berdebar pelan dan teratur. Lima belas menit kemudian, targetnya muncul.
Sassykirana tampak berjalan keluar dari gerbang, dikelilingi oleh beberapa pengagumnya. Gadis itu tersenyum, mengangguk anggun dan sesekali tertawa kecil.
Pemandangan yang tampak terlalu sempurna, kemudian ia berjalan menuju mobil jemputan mewah yang sudah menunggu sedari tadi.
Farel mengeluarkan ponsel lamanya dari saku. Tangannya tidak gemetar. Ia mengangkatnya perlahan, memastikan tidak ada yang memperhatikan. Dari balik tiang, ia mengarahkan kamera ke arah Sassykirana. Pemuda itu memperbesar gambar, fokus pada wajah sang idola.
Melalui layar yang retak, Farel melihat senyum itu. Senyum yang sama yang menghiasi sampul majalah sekolah dan ribuan layar ponsel. Tapi saat itu, tepat sebelum Sassykirana masuk ke dalam mobil, saat tidak ada seorang pun yang menatapnya, senyum itu goyah selama sepersekian detik.
Matanya yang seharusnya memancarkan kehangatan, kini tampak kosong dan lelah. Sebuah retakan kecil di fasad pualam. Jari telunjuk Farel pun menekan layar. ‘Klik.’