Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dari Kuli Jadi CEO

Dari Kuli Jadi CEO

Kucing Senior | Bersambung
Jumlah kata
49.7K
Popular
1.1K
Subscribe
135
Novel / Dari Kuli Jadi CEO
Dari Kuli Jadi CEO

Dari Kuli Jadi CEO

Kucing Senior| Bersambung
Jumlah Kata
49.7K
Popular
1.1K
Subscribe
135
Sinopsis
18+PerkotaanAksiKonglomeratMiliarderBalas Dendam
Bibinya menjadi korban kecelakaan dan pelakunya adalah selingkuhan kekasihnya. Keduanya bahkan turut andil dalam kecelakaan itu. Ia akan balas dendam, dan secara aneh seorang kakek suka rela memberikan uang padanya secara cuma-cuma asal mau menjadi bodyguard sang cucu. Dari sini lah jati dirinya mulai terungkap. Takdir ini pun mengantarkannya menjadi kaya raya yang tak tertandingi.
1. Biaya Pengobatan

"Bibimu harus segera dioperasi, kalau tidak maka nyawanya tidak akan tertolong. Saya harap, Mas Arlan segera menyiapkan biayanya sebesar seratus juta."

Kata-kata dokter terus terngiang di kepalanya. Tapi Arlan sama sekali tidak mampu membayar. Seratus juta tentu nominal yang sangat besar. Boro-boro seratus juta, satu juta saja dia tak punya.

Sejak kecil, Arlan diasuh oleh paman dan bibinya. Lima tahun yang lalu, sang paman yang berprofesi sebagai nelayan, tiba-tiba menghilang saat sedang melaut. Dan kini sang Bibi baru saja mengalami kecelakaan.

Kemarin, Arlan mengantar Kamilah ke pasar, dan ketika perempuan itu sedang menyebrang tiba-tiba dari arah kanan, mobil mewah melaju kencang menabrak Kamilah hingga tubuh perempuan itu terpental sejauh lima meter.

Sekelebat, Arlan melihat rupa dan ciri si pengemudi yang melajukan mobil semakin kencang untuk menghindari amukan massa.

"Seratus juta... “

Memikirkan angka yang dikatakan dokter, membuatnya merasa semakin putus asa, ke mana dia harus pergi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?

“Arlan! Hei, Arlan! Kau melamun lagi, hah?”

Arlan tersentak. Suara Baroto, sang mandor, memecah lamunannya. Lelaki berkumis tebal itu berdiri di dekat truk, tangannya memegang catatan pengiriman sambil melotot ke arah Arlan.

“Cepat, bongkar muatan pasir itu! Ngelamun terus, kau pikir perusahaan membayar orang ngelamun, hah?!” bentaknya.

Buru-buru Arlan mengambil sekop, lalu mulai membongkar muatan pasir.

“Lambat sekali, Lan! Kalau kerja terus kayak gitu, kita nggak bakal selesai sampai lebaran monyet!” teriak Baroto lagi dari kejauhan.

“Iya, Pak!” sahut Arlan.

Pemuda ini bekerja sebagai kuli bangunan, terkadang jika tak ada proyek, dia akan ke pasar menjadi kuli di sana.

Pulang dari bekerja. Dia memutuskan untuk melepaskan martabatnya untuk meminjam uang. Dia menuju rumah bibi Mirna, adik kandung bibi Kamila. Ia masih ingat betapa seringnya bibinya dulu membantu Bi Mirna saat keluarga mereka kesulitan.

Begitu sampai di rumah bergaya modern itu, sambutan Bi Mirna dan suaminya amatlah dingin.

“Pinjam seratus juta? Kamu ini mimpi di siang bolong, Arlan?!” hardik Bi Mirna dengan tajam. “Lagi pula, itu kan kewajibanmu merawat kakakku.”

“Tapi, dulu bibiku pernah membantu keluarga Bi Mirna,” kata Arlan.

“Oh, jadi bibimu nggak ikhlas begitu membantu keluarga kami?”

Arlan menggeleng cepat, “Bukan begitu, maksudku—“

“Sudahlah, lebih baik kamu pergi. Lagian kamu kan cuman anak pungut, nggak perlu berbakti segitunya!”

“Tapi keadaan Bu Lik sangat kritis.”

“Itu sudah takdir, Arlan. Ikhlaskan saja.”

Kata-kata itu menusuk bagai sembilu. Keluarga yang dulu ditolong dengan sukarela oleh bibinya, kini berbalik menyembunyikan kekikiran di balik pintu megah mereka. Tanpa sepatah kata pun, Arlan membalikkan badan meninggalkan rumah gedong itu.

Namun, masih ada secercah harapan terakhir yang tersisa di hatinya: Juwita, kekasihnya, yang merupakan anak orang kaya, dan Arlan bersyukur gadis itu tidak pernah memandang rendah statusnya sebagai pekerja serabutan. Dengan sedikit harapan yang tersisa, ia menaiki motornya menuju ke rumah megah keluarga Juwita.

Begitu tiba di depan gerbang, Arlan langsung menghampiri pos satpam. Tanpa bertanya pun dua bapak-bapak berseragam keamanan itu sudah tahu jika pemuda di depan mereka adalah kekasih Nona muda.

"Nona Juwita tidak ada di rumah.”

“Ke mana perginya, Bang?” tanya Arlan.

“Mana saya tahu! Wong tidak pamit sama kita.”

Arlan tidak menyerah. Ia menghubungi Juwita melalui telepon. Di seberang sana, suara riuh dan musik keras terdengar dengan jelas.

"Hay Arlan sayang, aku lagi di Sky Bar," teriak Juwita. "Datang saja ke sini kalau ada urusan penting!"

Tanpa pikir panjang, Arlan bergegas ke bar mewah yang disebutkan. Saat masuk, pemandangan yang tidak pernah terbayangkan menyambutnya. Juwita duduk di sofa VIP, dikelilingi tiga wanita dan empat pria yang berpenampilan mentereng. Tatapan mereka langsung tertuju pada Arlan.

Dengan perasaan canggung, Arlan mendekati meja mereka.

“Sayang, aku mau ngomong berdua sama kamu,” kata Arlan.

“Mau ngomong apa?” tanya Juwita. Melihat kekasihnya tak kunjung bicara, gadis itu pun mendekat dan menarik Arlan sedikit menjauh dari kebisingan. “Mau ngomong apa sih? Kayaknya penting banget.”

“Itu... boleh nggak aku minjam uang kamu seratus juta? Kamu tahu sendiri, bibiku baru kecelakaan dan aku tidak punya uang untuk biaya operasi,” jawab Arlan menahan rasa malu di depan gadisnya itu.

Bukannya terkejut atau tersentuh, Juwita justru tersenyum sinis. “Kalau aku menolak?”

"Aku mohon Juwita. Aku janji, setelah bibiku menyelesaikan operasi, aku akan segera mencari pekerjaan yang layak, agar bisa membayar kembali uangmu." Arlan terus memohon. Dia sangat malu sebenarnya, dan ingin lenyap saja dari depan kekasihnya. Tetapi, demi sang bibi, dia harus bertahan. "Juwita, aku mohon, bibiku akan menjalani operasi, dan dia benar-benar membutuhkan uang.”

“Hais, Arlan, yang membutuhkan uang kan bibimu, jadi itu bukan urusan Juwita!” celetuk salah satu teman Juwita.

"Juwita, bantu aku. Aku janji, uangnya pasti akan dikembalikan padamu." Arlan terus memohon.

Semua orang memandang Arlan dengan pandangan hina dan merendahkan.

"Pinjam uang dariku? Tidakkah menurutmu itu konyol? Apa hubungannya bibimu denganku?” tanya Juwita membuat Arlan semakin terlihat hina. Gadis itu lalu berdecak, “Arlan, Arlan... aku bukan bank mekar yang bisa kamu pinjami uang.”

Arlan hanya diam. Kalimat menyakitkan seperti itu memang kerap diucapkan Juwita. Dia sadar, selama ini dirinya hanya dipermainkan dan dijadikan boneka pertunjukkan oleh Juwita dan teman-temannya. Namun, rasa cintanya yang besar pada perempuan itu membuatnya tak begitu peduli. Baginya segala bentuk penghinaan Juwita adalah ujian cinta.

“Aku bisa meminjamkanmu 100 juta,” kata Juwita pada akhirnya,

Seketika Arlan mengangkat wajahnya dengan mata yang berbinar. "Benarkah? ”

Juwita tersenyum sinis, “Tentu saja. Tapi ada syaratnya.”

“Syarat?” tanya Arlan.

Juwita tersenyum tipis, lalu melirik ke arah mejanya yang penuh botol anggur. “Berlututlah di depanku, lalu merangkak ke meja, dan habiskan dua botol anggur itu sampai tandas. Nanti baru, aku transfer uangnya."

Arlan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras dan wajahnya padam karena emosi. Tetapi dia dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya. Bayangan Bibi Kamilah yang terbaring lemah di rumah sakit kembali muncul di benaknya.

“Baik, aku akan melakukannya.”

Arlan berlutut di depan Juwita, lalu merangkak ke meja dan mulai menenggak anggur yang mahal itu. Di sekelilingnya, tawa teman-teman Juwita semakin menjadi, mengolok-olok keadaannya yang memprihatinkan. Bahkan beberapa dari mereka melakukan live di media sosial.

Juwita melihat ke arah Arlan dengan pandangan hina. "Bodoh sekali kamu, Arlan. Jika bukan karena otakmu yang encer dan kamu pikir aku benar-benar sudi pacaran sama kamu?”

“Setelah lulus kuliah, masa kamu mau pertahanin dia?” tanya teman Juwita.

“Tentu, lumayan tenaganya bisa digunakan buat bersih-bersih rumahku,” sahut Juwita.

Kata-kata itu begitu menusuk bagai sembilu. Rasa malu, pengkhianatan, dan keputusasaan menyatu menjadi satu. Arlan mengepalkan tangannya, dan segera bangkit berdiri. Ditatapnya sejenak wajah pongah Juwita.

“Kita putus!” ucap Arlan tegas.

Sejenak, Juwita dan teman-temannya terdiam, mungkin terkejut. Lalu detik berikutnya mereka tertawa lepas dan semakin mengolok-ngolok Arlan. Apalagi salah satu pria, teman Juwita yang melakukan live media sosial mengarahkan lebih dekat ponselnya ke muka Arlan.

Lama-lama, pemuda itu tak bisa membendung amarahnya. Dengan emosi mendorong ia pria yang menyorot wajah pemuda itu dari dekat. Dan akibat perlawanannya, dia justru dikeroyok ramai-ramai.

Pemuda itu meringkuk pasrah sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangan dari pukulan dan tendangan teman-teman Juwita. Di saat yang sama terdengar suara bentakan keras yang membuat semua berhenti memukul dan langsung menyingkir memberikan jalan.

Seorang laki-laki muda berpenampilan necis mendekati Arlan. Matanya melirik ke arah Juwita yang mendekat, lalu ditangkulnya pinggang ramping gadis itu.

Arlan melirik sekilas pada lelaki muda itu. Seketika keduanya membelalak. Masih teringat dengan jelas dalam benaknya: alis yang dicukur ke atas alias Eyebrow slit, tahi lalat di dagu serta rambut berwarna biru norak. Dialah yang menabrak Bibi Kamilah.

“Kamu...” Arlan mendesis. Perlahan dia bangkit berdiri, dan langsung meninju wajah laki-laki itu.

Lanjut membaca
Lanjut membaca