Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Istriku Adalah  Seorang CEO cantik

Istriku Adalah Seorang CEO cantik

Indra | Bersambung
Jumlah kata
845.8K
Popular
331.7K
Subscribe
6.7K
Novel / Istriku Adalah Seorang CEO cantik
Istriku Adalah  Seorang CEO cantik

Istriku Adalah Seorang CEO cantik

Indra| Bersambung
Jumlah Kata
845.8K
Popular
331.7K
Subscribe
6.7K
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeIdentitas TersembunyiBela DiriUrban
Bhalendra turun gunung atas perintah gurunya untuk menikah. Tak disangka, calon istrinya adalah putri orang terkaya di kota itu. Namun, tunangannya menolak menikah dengannya karena miskin dan tak jelas. Semua orang memandang Bhalendra sebelah mata, menganggapnya tidak berguna. Namun, semua itu berubah saat bahaya besar datang berkali-kali, hanya Bhalendra yang berani berdiri untuk menyelamatkan dunia. Apakah tunangannya akan menyesal telah meremehkannya?
Bab 1

Kota Muara Asih, kediaman besar keluarga Prakarsa.

Bhalendra berdiri di tengah ruangan, mengedarkan pandangan hingga tatapannya berhenti pada seorang lelaki tua yang berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, diikuti oleh seorang wanita paruh baya. Melihat Bhalendra, wajah mereka menunjukkan raut yang berbeda.

"Kamu adalah murid dari Paman tua?" tanya lelaki tua itu.

"Bhalendra mengangguk sambil menyodorkan setengah bagian permata yang sempurna kepada lelaki tua itu. Pria tua itu tampak terkejut sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan berkata, 'Baiklah, baiklah, kamu datang tepat waktu. Aku begitu senang sampai tidak tidur semalaman. Ardiansyah, Sandika, segera susun rencananya. Beberapa hari lagi kita akan menikahkan dia dengan Jiwanta.'"

Ardiansyah terkejut, "Papa, ini terlalu tergesa-gesa, bukan?"

Damar dengan wajah tidak senang menjawab, "Ini adalah janji pernikahan yang ditetapkan dua puluh tahun lalu. Apakah saya tidak bisa menjadi tuan rumah di rumah ini!"

Sandika yang berada di sampingnya juga tampak cemas, "Ayah, sekarang sudah bukan lagi zaman kuno. Kaum muda sekarang bebas untuk berpacaran dan menentukan pasangannya masing-masing..."

"Kamu diam saja," kata Damar tajam. "Apa yang kamu mengerti? Menjadi orang terdekat dari murid paman tua adalah keberuntungan bagi Jiwanta. Dia yang akan menjadikan keluarga Prakarsa kelas atas."

Sandika ingin mengatakan sesuatu, tetapi Damar mengangkat tangannya, memberinya kode untuk berhenti berbicara menghentikannya berbicara.

"Kalian‼" panggil Damar pada pelayan di rumahnya. "Letakkan barang-barang Bhalendra di kamar Jiwanta. Biarkan dia tinggal di kamarnya malam ini."

Di lain tempat, Jiwanta menerima telepon dari ibunya yang memberitahunya bahwa pria yang sudah ditetapkan untuk menikahinya telah datang ke rumah. Dengan hati berdebar, dia segera bergegas pulang. Saat melintasi gerbang besar, suara kakeknya terdengar memerintahkan pria itu untuk tidur bersama Jiwanta. Rasa cemas tiba-tiba menyelimuti pikirannya. Dari ambang pintu utama ia berteriak kencang, "Saya tidak setuju!"

Setelah menetralkan detak jantungnya, Jiwanta kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya semakin cepat, sebentar lagi ia hampir sampai, Jiwanta sudah tak sabar untuk membantah kemauan kakeknya itu namun, tiba-tiba kakinya tersandung. Sialnya lagi, ia mengenakan sepatu hak tinggi, dan membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Melihat kejadian itu, Bhalendra dengan cepat merentangkan tangannya untuk menangkap tubuh Jiwanta.

Bhalendra merasakan tubuh wanita yang terjatuh dalam pelukannya begitu lembut dan harum. Setelah menstabilkan tubuhnya, dia memperhatikan Jiwanta yang mengenakan pakaian profesional, wajahnya memerah, dan matanya yang memancarkan kecemasan dan kebingungan. Setiap lekuk tubuhnya tampak sempurna, pinggang ramping, dan kulitnya halus. Meskipun posisi mereka terasa sedikit ambigu, momen ini terasa penuh dengan ketegangan dan keintiman yang tidak terduga.

"Lepaskan aku anak jalanan‼" berontak Jiwanta.

Bhalendra tercengang dengan ucapan Jiwanta. Jiwa laki-lakinya terluka mendengar penuturan wanita yang dijodohkan padanya. Ia pun berpikir, "Menjadi seorang pria itu sungguh tidak mudah. Jika terlalu dekat, mereka mengatakan kamu adalah makhluk yang tidak diinginkan. Jika terlalu jauh, mereka mengatakan kamu lebih buruk dari makhluk yang tidak diinginkan.

"Heh! Orang miskin! Jangan melamun, lepaskan aku‼"

Bhalendra menatap Jiwanta sekilas, dan dari sorot matanya terlihat jelas jika wanita itu risih dan jijik disentuh olehnya. "Baiklah."

Tanpa ragu, Bhalendra langsung melepaskan kedua tangannya, membuat Jiwanta tiba-tiba jatuh terduduk di tanah. Sandika segera mendekat untuk membantu Jiwanta, dengan wajah kesal berdiri dan berjalan ke samping Damar.

"Kakek, saya tidak setuju. Saya tidak mungkin menikah dengannya."

Damar menoleh menatap Jiwanta dengan raut wajah marah, "Jiwanta, dalam hal lain semua bisa bergantung padamu, tetapi dalam hal ini, kamu tidak bisa menolaknya. Besok kalian berdua harus pergi untuk mengurus surat pernikahan."

Jiwanta hampir menangis. "Kakek…"

"Jiwanta," potong Damar dengan suara tegas. "Kakek melakukan ini untuk kebaikanmu. Dengarkanlah, nanti kamu akan tahu manfaatnya."

"Manfaat apa sih, Kek? Yang ada, Kek malah masukin penyusup ke rumah. Kita semua gak ada yang tahu asal-usulnya, siapa keluarganya, apa pekerjaannya, dan di mana dia tinggal. Kek, coba deh pikirin lagi? Bisa-bisa dia menghabiskan harta kita."

"Jiwanta!" bentak Damar karena tak tahan mendengar celoteh cucunya itu. "Kakek tahu selama ini apapun keinginanmu selalu dituruti. Tapi untuk kali ini, keputusan kakek sudah bulat!"

Jiwanta terdiam. Ia tak menyangka jika sang Kakek tetap keukeuh pada keputusannya yang tak masuk akal. Di dalam hati, Jiwanta terus bertanya-tanya, bagaimana bisa Kakek membiarkan cucunya sendiri tiba-tiba berada dalam satu kamar dengan seorang pria, apakah masih bisa dikatakan sebuah kebaikan?

Melihat sikap kakeknya, Jiwanta semakin yakin bahwa Bhalendra telah mengatakan atau melakukan sebuah pengancaman kepada kakeknya sebelum ia datang. Jiwanta menoleh menatap Bhalendra yang juga menatapnya, dan tanpa sadar ia menatap dengan mata membulat dan raut wajah penuh kemarahan pada Bhalendra. Dia menatapnya dengan mata terbelalak. Namun, Bhalendra malah merasa bahwa sikap istrinya yang marah itu lucu dan menggemaskan.

Jiwanta pun memalingkan wajah saat beberapa bawahannya berbondong-bondong menaiki anak tangga dengan berbagai bawaan di tangan mereka. Sebuah ide gila terlintas di benak Jiwanta, "Kakek, aku ingin pindah ke… ." Ucapannya terhenti tiba-tiba ketika wajah Damar tiba-tiba berubah.

Wajah pria itu terlihat kesakitan dan pucat. Melihat kondisi Damar, semua orang mendadak panik kecuali Bhalendra yang tetap tenang menatap ke arah Damar. Termasuk Jiwanta, ia harus mengurungkan niatnya untuk menyampaikan keinginannya pindah ke apartement pribadi yang berada di dekat kantornya saat melihat kondisi Damar. Jiwanta tak sampai hati mengutarakan keinginannya mengingat Damar memiliki riwayat penyakit jantung.

Namun, Jiwanta kembali berpikir bahwa kakeknya mencoba membuatnya patuh dengan menakut-nakutinya tentang sakit, seperti yang terjadi sebelumnya. Jiwanta memilih untuk mundur dan mengawasi ibu dan ayahnya yang sibuk ke sana ke mari.

Lambat laun, keringat mulai bermunculan di wajah Damar, butiran keringat sebesar biji kedelai jatuh turun, dan seluruh tubuhnya gemetar seolah-olah akan jatuh ke belakang. Sandika dan Ardiansyah terlihat mencari obat-obatan untuk Damar. "Jiwanta! Tolong bantu kami!" pekik Sandika, melihat Jiwanta yang justru diam di tempatnya.

Jiwanta berjalan menuju meja di tengah ruangan dan menunduk mencari obat yang biasanya disimpan oleh kakeknya. Biasanya, Kakek selalu meletakkan obat darurat yang diberikan oleh Dokter Tama di tempat tersebut. Namun, mereka tidak kunjung menemukannya. Suasana ricuh dan tegang terlihat jelas di pandangan Bhalendra. Mereka semua dirundung rasa cemas, membuat semakin sulit menemukan obat tersebut.

Bhalendra menghembuskan napas kasar, melirik ke arah Damar dan yang lainnya. Mengetahui situasi yang sedang terjadi, Bhalendra dengan cepat mengulurkan tangan dan melakukan beberapa tusukan ringan di dua titik di dada orang tua itu, seperti teknik akupunktur. Tindakan Bhalendra ini bertepatan dengan Jiwanta yang menoleh, terkejut dan marah melihat adegan tersebut. Dia segera menarik Bhalendra pergi.

"Hei! Apa yang kamu lakukan?!" serunya tajam.

"Saya sedang menyembuhkan penyakit."

"Ck, omong kosong!" decak Jiwanta kesal mendengar bualan Bhalendra. Ia sangat marah dengan Bhalendra. Baginya, Bhalendra bukan hanya menipu kakeknya untuk memenuhi janji pernikahan yang tak jelas, tetapi juga meminta Jiwanta untuk tidur bersamanya malam ini, dan sekarang bahkan ikut campur dalam kondisi kesehatan kakeknya. Jiwanta bersumpah akan mengungkap wajah asli Bhalendra.

"Menjauhlah!"

"Kenapa? Aku bisa menyembuhkan Tuan Damar."

"Kamu bisa menyembuhkan penyakit? Hm, seperti babi betina bisa memanjat pohon."

Bhalendra tersenyum sambil berkata, "Memang benar. Di desaku, babi betina memang bisa naik pohon."

Jiwanta menggerutu seraya mencebikkan bibirnya. Dari kejauhan, Sandika menghela napas berat. Namun tiba-tiba terdengar pekikan dari arah meja TV. "Ditemukan!" Ardiansyah mengambil sebuah botol porselen kecil, dan dengan hati-hati ia membukanya dan menuangkan beberapa pil hitam. Sejenak, aroma obat menyebar ke segala arah.

Saat Ardiansyah hendak memasukkan obat ke dalam mulut Damar, dia tiba-tiba ditarik oleh Bhalendra. "Tunggu sebentar."

Sekarang semua mata tertuju pada Bhalendra dengan kebingungan. "Apa yang kamu lakukan! Jika sesuatu terjadi pada kakek, bisakah kamu bertanggung jawab, Nak?"

Awalnya, Ardiansyah merasa bahwa Bhalendra hanyalah anak yang tertipu oleh gurunya sendiri, dan dia tidak merasa ada masalah dengan karakternya. Namun, tindakan Bhalendra membuatnya marah. Saat keduanya saling berhadapan, suasana menjadi tegang. Tiba-tiba, terdengar teriakan dari luar. "Dokter Tama telah tiba!"

Bersamaan dengan derap langkah kaki yang berlarian mendekat ke ruang tengah, tak lama tampaklah seorang pria paruh baya berambut putih menenteng tas dokter dan sebuah kotak obat. Sekilas ia melihat wajah tegang dan bingung, tanpa membuang waktu lama ia segera meletakkan kotak obat di meja. "Mengapa tidak memberikan obat kepada Tuan Damar? Sedang apa ini?" tanyanya cemas.

Saat Ardiansyah hendak menjelaskan, tiba-tiba Bhalendra berbicara, "Saya yang tidak mengizinkannya untuk memberikan obat."

"Siapa Anda?" tanya Dokter Tama dengan kerutan di keningnya. Dari nada suara dan gestur tubuhnya, ia terlihat berusaha untuk tetap ramah pada Bhalendra. Meskipun begitu Tama tetap tak bisa menyembunyikan kebingungannya saat melihat seorang pemuda berpakaian sederhana di rumah besar keluarga Damar.

"Saya adalah menantu keluarga Damar," ujar Bhalendra, membuat Dokter Tama menoleh. Berbeda dengan dokter Tama yang terkejut tak percaya, Bhalendra justru tersenyum kecil, menampilkan gigi putihnya yang berkilau.

Merasa ragu dengan pernyataan Bhalendra, Dokter Tama memandang Jiwanta, seolah mencari kepastian. "Jangan dengarkan omong kosongnya, saya tidak mengenalnya," kata Jiwanta dengan cepat, wajahnya terlihat muak dan kesal dengan ucapan Bhalendra. Dia merasa ingin mengumpat dan bahkan memukul Bhalendra, namun tidak mungkin dia melakukan hal tersebut di depan Dokter Tama. Sungguh tak mungkin bagi Jiwanta untuk menyebutnya dengan kata-kata kasar.

Dokter Tama mengangguk cepat dan kembali fokus pada Damar. Ia tidak memiliki waktu untuk mendengarkan omong kosong, fokusnya saat ini adalah menyelamatkan nyawa Damar. "Cepat tuangkan secangkir air hangat dan berikan obatnya. Dengan bantuan akupunktur saya, Tuan Damar akan segera sembuh."

Wajah tegang perlahan menghilang, digantikan dengan senyum kelegaan. Termasuk Sandika, yang dengan senang hati menuangkan air, sementara Bhalendra berdiri di sampingnya dan berkata, "Anda adalah Dokter Tama, bukan? Jika Anda tetap keras mempertahankan pengobatan bagi Kakek Damar, saya yakin dalam waktu satu menit, Kakek Damar akan bangun karena sakit yang parah."

Kini semua orang menatap Bhalendra dengan tatapan mencemooh dan aneh. "Muntah darah dan pingsan. Anda bukan penyelamat, tetapi ancaman bagi nyawa Kakek Damar!"

"Kamu! Kamu!" bentak Dokter Tama pada Bhalendra yang berkata tak jelas. Mengingat jam terbangnya yang sudah empat puluh tahun membuka praktik medis dan juga telah menyelamatkan puluhan ribu orang, tentu saja ia lebih mengerti tentang kesehatan Damar dibandingkan dengan seorang pemuda yang asing dan terlihat miskin.

Bhalendra mengedikkan bahunya dan memilih untuk diam, meskipun di dalam hatinya berkecamuk karena tak dapat mencegah dokter itu. Melihat kondisi kembali kondusif, Dokter Tama segera mengatur pemberian obat, kemudian membaringkan Damar di sofa dengan posisi yang nyaman. Ia segera memberikan tujuh suntikan dengan cepat dan pengobatan berjalan lancar.

Tak lama, nafas Damar menjadi lebih stabil, wajahnya tidak sepucat sebelumnya, dan orang-orang di sekitarnya menghela napas lega.

Dokter Tama menatap Bhalendra, melemparkan tatapan mata kepadanya. Melalui sorot matanya, dokter Tama seakan berkata pada Bhalendra bahwa dia hanyalah seorang pemuda yang polos dan lucu.

Namun, Bhalendra tetap diam tanpa merespons apa pun, hanya menatap dingin pemandangan di depannya. Sandika baru saja ingin memberikan kartu biaya pengobatan, namun tiba-tiba Damar yang sebelumnya bernapas dengan tenang tiba-tiba membuka matanya dan terbangun.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca