"Hei, Bryan! Keluar kamu! Dasar maling tengik!" Di tepi pantai yang tenang, seorang wanita berambut panjang berteriak di depan sebuah rumah kayu sederhana. "Kamu yang mencuri ayam kakakku, kan!?"
Wanita lainnya, punya rambut pendek, menambahkan. "Aku yang membesarkan ayam itu dari telur! Seenaknya saja kamu mengambilnya!"
Kedua wanita terus saja memaki, tetapi pria yang ada di dalam rumah hanya diam. Dia duduk di sebuah kamar, memandang kosong ke depan.
Pria itu ingat, tadinya dia berada di sebuah kapal cepat mewah untuk memancing ikan bersama teman-temannya sesama orang kaya di tengah laut.
Saat itu, semua berjalan baik-baik saja. Dia menikmati ketenangan laut sambil menunggu ikan memakan umpan di pancingnya.
Semuanya berubah saat badai tiba-tiba datang. Sebuah ombak raksasa menggulung kapal itu, membuatnya terlempar ke lautan.
Bukannya tenggelam, dia sekarang malah berada di sebuah tempat yang sangat tidak familier.
Pria itu bangkit dari tepi tempat tidur yang reyot, menghampiri sebuah cermin di sudut kamar.
Ketika melihat pantulan wajahnya, dia terhenyak kaget.
Itu bukan wajahnya. Kulitnya juga seharusnya lebih cerah dan wajahnya lebih tirus. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mungkin ruhnya bertransmigrasi ke tubuh lain?
Dengan gerakan perlahan, dia mengedarkan pandangan. Matanya menemukan perabot-perabotan yang sudah tua, penuh debu, dan dihiasi sarang laba-laba.
Semua itu juga tampak asing baginya.
"Bryan Chandra!" Salah satu perempuan di luar berseru semakin keras. "Aku bilang, keluar kamu!"
Mendengar nama tersebut, ingatan-ingatan baru muncul di kepala pria itu. Ya, identitas pemilik tubuh ini adalah Bryan Chandra.
Dia adalah seorang pemuda yang beberapa tahun lalu menjadi mahasiswa teladan di universitas ternama.
Tiba-tiba pria itu memegangi dadanya. Dia merasakan kesedihan yang tidak jelas sumbernya. Barangkali ini adalah perasaan yang dialami oleh Bryan yang asli.
Bryan yang asli baru saja menjalani setengah tahun kuliahnya ketika ibunya meninggal. Luka itu tampaknya masih terlalu dalam baginya untuk benar-benar sembuh.
Semuanya diperburuk dengan pengkhianatan tunangan Bryan, seseorang yang seharusnya memberikan dukungan kepadanya di saat terendah..
Wanita itu menjalin hubungan gelap dengan seorang pria lain.
Semua kejadian itu membuat Bryan memilih untuk pulang ke desanya. Hatinya begitu hancur, membuatnya tidak punya motivasi untuk melanjutkan kuliah.
Dia jadi suka bertindak sembarangan. Mencuri ternak milik penduduk desa, menantang orang untuk berkelahi, sampai mabuk-mabukan.
Semua itu dia lakukan untuk mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang begitu dalam.
Bryan bukan lagi murid teladan yang selalu dipuji. Sekarang, dia hanyalah berandalan desa.
Ketukan di jendela kamar mengagetkan Bryan yang sedang tenggelam dalam pikirannya. Dia membuka jendela itu dan menemukan seorang pemuda dengan kulit agak gelap berdiri di luar.
"Mereka yang ada di depan pintu itu berisik sekali, Kak." Pemuda itu mendengus.
"Ahmad?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Bryan.
"Iyalah, Kak. Memangnya siapa lagi?"
Bryan memang belum pernah bertemu Ahmad. Namun, dia tahu nama pemuda ini dari ingatan pemilik asli tubuh yang kini dia tempati.
Bahkan Bryan tahu latar belakang Ahmad. Orangtua pemuda 16 tahun itu meninggal ketika dia berusia 6 tahun. Sekarang, dia hidup berdua saja dengan neneknya.
"Kenapa kamu malah bengong, Kak Bryan?" Ahmad mengerutkan kening, kemudian mengangkat kotak makanan di tangannya. Dengan senyum lebar, dia berkata. "Nenekku barusan masak ayam bakar, Kak. Kakak pasti suka."
Dari nada bicara Ahmad, Bryan merasa bocah itu mengharapkan pujian.
"Hei, kamu juga ikut dia mencuri ayamku kan, Ahmad!?" Wanita berambut pendek yang tadi berteriak datang kepada Ahmad. Wajahnya merah karena dipenuhi amarah.
Wanita satunya menambahkan dengan suara lebih menggelegar. "Kalian berdua tidak pernah kapok, ya!? Kembalikan ayam kakakku!"
"Cuma ayam saja heboh!" Ahmad membalas dengan lebih keras. "Harusnya kalian senang aku ambil ayam kalian! Secara tidak langsung, kalian bantu perbaikan gizi anak yatim seperti aku!
Bryan hanya bisa melongo, tidak percaya Ahmad berkata seperti itu dengan nada tidak bersalah.
Kemarahan kedua wanita itu makin menjadi-jadi. Mereka terus mengomel, tetapi Ahmad justru cuek dan mengorek-korek kupingnya dengan jari.
"Kamu harusnya tahu kalau mencuri itu nggak baik, Ahmad." kata Bryan.
Untuk beberapa detik, Ahmad terdiam. "Kan, Kak Bryan sendiri yang ngajarin aku."
Bryan mengerutkan kening. "Aku yang ngajarin kamu buat nyuri?"
"Iya, Kak. Kakak lupa?"
"Ah…" Bryan menghela napas. Ingatan tentang hal itu muncul di otak Bryan. Beberapa kali, Bryan yang asli memang mengajak Ahmad mencuri ternak warga.
"Kalian malah ngobrol!" Wanita berambut pendek memukul dinding kayu rumah Bryan. "Kembalikan ayamku sekarang juga!!"
Bryan melirik kotak makanan di tangan Ahmad.
"Kamu sudah makan ayamnya sebagian, kan?" Bryan bertanya dengan putus asa. Tidak mungkin mengembalikan ayam itu kepada pemiliknya dalam kondisi tidak utuh, sudah dimasak pula.
"Iya, Kak. Enak sekali, loh." Ahmad menjilat bibirnya.
Wanita berambut panjang melotot. "Kalian masak ayam kakakku!?"
Sebelum kedua perempuan itu mengomel lagi, Bryan berkata. "Tenang, aku bakal ganti, kok."
"Kalau begitu, mana uangnya!" Tuntut wanita berambut pendek.
Ahmad makin tampak keheranan saat Bryan merogoh saku dan mencari-cari di kamar.
"Kamu punya uang, Ahmad?" Bryan bertanya setelah beberapa menit mencari dan tidak menemukan sekeping uang pun.
"Kakak kan sudah ambil uangku." Ahmad menjawab, kemudian memelankan suaranya agar dua wanita itu tidak mendengar. "Sudahlah, Kak. Jangan urusin tante-tante cerewet ini? Lebih baik Kakak makan. Setelah itu, kita ke rumah Sandi buat ambil kambing."
"Kambing?" Bryan semakin tidak mengerti jalan pikiran Ahmad. Bukannya merasa bersalah, bocah gila ini malah mengajaknya melakukan tindak kriminal lagi.
"Iya kambing, mamalia berkaki empat, si mbek," Ahmad melanjutkan dengan nada antusias.
"Eh, bocah. Kami bisa dengar kamu, tahu," hardik wanita berambut pendek. "Bukannya tobat, kamu malah tambah menjadi-jadi."
Ahmad lagi-lagi tidak memedulikan mereka. Dia terus menatap Bryan dengan mata berninar, seperti sedang menunggu persetujuan.
"Kamu nggak takut masuk penjara?" Bryan bertanya.
Ahmad merentangkan kedua tangannya. "Kak Bryan juga lupa sama omongan Kakak sendiri? Kakak bilang kalau kemiskinan itu privilege yang bakal nyelamatin kita dari polisi. Mereka bakal kasihan dan pasti ngelepasin kita."
Omong kosong. Bryan yang asli pasti mengatakan itu agar Ahmad mau membantunya.
"Kamu pulang dulu aja, gih." Bryan merasa suasana semakin tidak kondusif.
Kedua wanita itu seolah sudah hampir meledak saking marahnya. Kalau Ahmad masih di sini dan terus mengoceh, situasi bisa semakin kacau.
"Oke, deh." Ahmad menaruh kotak makanan di tangannya ke jendela. "Kalau mau ke tempat Sandi, bilang ke aku ya, Kak."
Begitu Ahmad pergi, Bryan mengambil kotak makanan itu, terdiam sejenak, kemudian meringis kepada dua wanita di dekatnya. "Kalian mau?"
"Ini kan memang hak aku!" Perempuan berambut pendek merebut kotak itu.
Bryan akan meminta maaf, tetapi tiba-tiba rasa nyeri menyengat kepalanya.
Ding!
Sebuah panel transparan tiba-tiba muncul begitu saja di depan wajah Bryan. Ada beberapa teks di dalam panel itu
[Poin keberuntungan: 0+5]
[Poin kontribusi: 0]
"Ini enak sekali," gumam si wanita berambut pendek saat mencicipi ayam bakar di kotak itu. "Kita makan dulu aja sambil nunggu dia nyari uang."
"Tapi jangan sampai gara-gara keenakan makan, kita lupa buat minta pertanggungjawaban," timpal wanita satunya.
Sementara dua wanita itu asyik makan, Bryan mengamati panel yang melayang di udara itu.
Karena penasaran, ia menyentuh bagian [Poin keberuntungan]. Bryan agak terkejut saat deretan kata-kata baru muncul di panel.
[Untuk menambah poin keberuntungan dasar, Tuan bisa melakukan berbagai aktivitas seperti menggali kerang atau menangkap ikan. Semakin tinggi poin keberuntungan yang Tuan dapat, keberuntungan Tuan juga akan semakin besar!]
Baru saja Bryan selesai membaca keterangan itu, teks pengganti muncul.
[Tidak hanya itu, Tuan juga punya poin keberuntungan tambahan yang bisa naik turun sesuai dengan keadaan. Apabila angka di belakang tanda '+' semakin besar, maka keberuntungan Tuan juga akan bertambah!]
Makin penasaran, Bryan beralih menyentuh [Poin Kontribusi]. Seperti tadi, ada teks baru yang muncul.
[Setiap kali menemukan satu spesies laut baru, Tuan akan mendapatkan poin kontribusi. Jumlah poin kontribusi yang Tuan peroleh akan bervariasi, tergantung pada kelangkaan dan nilai dari spesies yang berhasil Tuan buka.]
[Tuan bisa menggunakan poin-poin kontribusi itu untuk membeli berbagai peralatan di toko sistem. Perlu diingat bahwa untuk menambah poin keberuntungan, Tuan harus beraktivitas menggunakan alat-alat tersebut.]
Siapa yang tidak mau hidupnya dipenuhi keberuntungan? Meski Bryan masih kebingungan dengan keadaannya sekarang, dia tetap ingin mengeksplorasi lebih jauh panel ajaib ini.
Bryan menyentuh tombol [Toko sistem] di pojok kanan bawah panel. Hal itu memicu kemunculan panel baru yang menampilkan berbagai macam barang jualan. Ada sekop pasir kecil, sekop biasa, jaring sekop, kail ikan, joran pancing, dan seterusnya.
Awalnya Bryan sangat antusias, tetapi itu tidak berlangsung lama. Ternyata poin kontribusinya sekarang cuma 20, padahal satu alat pancing ikan saja butuh 3000 poin.
Satu-satunya barang yang bisa dia beli hanyalah sekop pasir.
Ini seperti di game. Pemain tidak akan bisa mendapatkan barang bagus di awal permainan. Jadi, Bryan harus berjuang untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Bukannya menyerah, Bryan justru tertantang untuk mengumpulkan barang-barang bagus demi meningkatkan poin keberuntungannya.
Dia bertanya-tanya. Keberuntungan-keberuntungan seperti apa yang akan didapatkannya kalau poinnya sudah tinggi? Memikirkannya saja sudah membuat Bryan makin antusias.
"Oke, kita mulai." Mau tak mau, Bryan hanya membeli sekop pasir.
[Pembelian berhasil. Barang dapat ditemukan di depan pintu rumah Tuan.]
Bryan melirik para wanita yang tadi memakinya. Mereka terlalu fokus makan sampai tidak memperhatikannya.
Agar langkah kakinya tidak terdengar, Bryan pergi ke pintu depan dengan setengah mengendap.
Di luar, dia menemukan sekop kecil di atas pasir. Dia mengambil benda itu dan merasakan kalau materialnya mirip dengan alat sejenis, sama sekali tidak ada yang spesial.
Mungkin karena ini adalah barang dengan kualitas terendah, pikir Bryan.
Ketika hendak masuk kembali ke rumah, Bryan melihat seorang pria mendekatinya sambil membawa sebuah karung besar. Usianya mungkin lebih dari 30 tahunan dan wajahnya mirip sekali dengan Bryan.
Dari ingatan pemilik asli tubuh yang ditempatinya, Bryan tahu pria itu adalah Ricky Chandra, kakak dari Bryan Chandra.
"Ini buat kamu." Ricky menaruh karung yang dibawanya ke hadapan Bryan. "Kalau kurang, tinggal bilang saja."
Bryan menemukan tulisan "Beras 25 kg" di karung itu. Ternyata, walaupun Bryan yang asli sudah dewasa, dia belum bisa mandiri. Kakaknya sampai harus mengirimkan persediaan makanan.
"Bagaimana kabarmu? Apa kamu…" Ricky menghentikan ucapannya ketika dua wanita yang sedari tadi marah-marah berjalan menuju pintu depan.
"Jangan pikir semua ini selesai setelah kamu memberi kami makan, Bryan!" Si perempuan rambut pendek menghardik. "Kamu tetap harus bertanggungjawab!"
Si wanita berambut panjang hanya bersendawa panjang karena kekenyangan.
"Sebentar, aku diskusi sama adikku dulu." Ricky menutup pintu rumah dan bertanya kepada Bryan, "Kamu mencuri dari mereka, kan?"
Mulut Bryan tertutup rapat. Bagaimanapun, bukan dia yang melakukan hal itu. Dia sendiri masih bingung dengan keadaannya sekarang, sehingga tidak punya jawaban apa pun.
Ricky menghela napas dan mengambil dua lembar lima puluh ribuan dari sakunya. "Ini, ada sedikit uang dari hasil aku menggali kerang beberapa hari lalu. Jangan kamu pakai minum-minum, ya. Belilah sabun, lauk, dan kebutuhan lainnya."
Tanpa berkata-kata, Bryan menerima uang itu. Dia cukup syok dengan kebaikan Ricky. Dari penampilan Ricky saja, Bryan tahu kalau sang kakak bukanlah orang berkecukupan
Meski begitu, dia masih mau membantu adiknya yang seorang berandal desa.
Rajin bekerja dan perhatian. Istri serta putra dan putri Ricky sangat beruntung memiliki sosok seperti dia.
"Jangan bilang-bilang istriku, ya. Bisa-bisa aku disuruh tidur di luar." Sambil tersenyum, Ricky menepuk pundak Bryan.
"Hei, mau sampai kapan kalian ngerumpi!?" Salah satu perempuan di depan pintu berseru. "Kami sudah menunggu dari tadi, tahu!"
"Sebentar lagi!" Ricky membalas, lantas memandang dalam-dalam mata adiknya. "Ingat, Bryan. Tahun ini umurmu sudah 22. Jadilah orang dewasa yang bertanggung-jawab. Jangan lagi mabuk-mabukan dan mencuri. Kalau butuh sesuatu, tinggal bilang ke aku saja."
Bryan mengangguk. "Aku mengerti, Kak."
Ricky terdiam untuk beberapa saat dan menyentuh kening Bryan. "Kamu tidak sakit, kan? Biasanya kamu diam saja waktu aku nasihati."
Suara gedoran dari pintu depan menggema keras. "Woi, keluar kamu Bryan!"
Ricky menghela napas lagi. "Biar aku yang urus mereka."
"Nggak usah, Kak." Bryan menangkap pundak kakaknya itu. "Biar aku saja."
Saking kagetnya, Ricky sampai tidak bisa berkata-kata untuk kedua kalinya.
Bryan membuka pintu depan, dan sebelum para wanita itu mengumpatnya, dia bertanya. "Berapa harga ayam kalian? Aku akan menggantinya."
Wanita-wanita itu bertukar pandang, kemudian si rambut pendek menjawab. "Ayam itu punyaku, dan jangan lupa, minggu lalu kamu juga mencuri bebek punya adikku ini."
"Satunya lima puluh ribu." Si wanita berambut panjang menambahkan.
"Oke." Bryan menyerahkan dua lembar uang dari Ricky kepada mereka.
Kedua wanita itu menyipitkan mata kepada Bryan, terkesan tidak percaya kalau dia baru saja melakukan hal itu. Namun, tidak lama kemudian, mereka tersenyum puas dan pergi.
Ricky memandang kedua wanita itu menjauh. "Lain kali, kalau kamu mau makan enak, tunggu saja Kakak iparmu pergi dari rumah. Aku bisa ambilkan bebek atau ayam dari kandang kami. Tidak usahlah kamu mencuri. Sekarang kamu memang masih selamat, tapi bagaimana nanti?"
"Iya, Kak. Mencuri itu nggak baik, walaupun di rumah sendiri pun…" Bryan berdehem, memikirkan kalimat yang tepat agar Ricky tidak curiga.."Setelah berpikir cukup lama, aku sadar kalau mencuri itu nggak baik, Kak."
Ricky terkekeh. "Aku percaya kalau pada dasarnya kamu ini anak baik, Bryan. Hal itu terbukti hari ini."
Bryan tersenyum, merasa terharu dengan kata-kata Ricky, meskipun sebenarnya dia baru mengenal pria ini beberapa menit lalu. "Anggap saja aku meminjam uang itu dari Kakak. Tapi sabar ya, Kak. Aku harus kerja dulu untuk menebusnya."
Ricky ikut tersenyum. "Sebenarnya kamu tidak perlu mengganti uang itu, tetapi aku menghargai usahamu. Dari dulu kamu ini sudah cerdas. Aku yakin, kamu bakal punya uang banyak dalam waktu singkat. Kamu nggak akan perlu mencuri lagi buat makan enak."
Bryan memandang sekop kecilnya. "Aku akan berusaha, Kak."
Ding!
Ada pemberitahuan baru di panel sistem Bryan.
[Poin keberuntungan: 0+18]
Ini artinya, poin setelah '+' telah bertambah sebesar 13. Ternyata, dengan melakukan hal yang benar, dia akan mendapatkan poin tambahan.
Bryan merasa sistem ini semakin menarik.
"Aku mau cari kerang dulu, Kak." Bryan mengambil ember usang di dekat pintu.
Lagi-lagi Ricky terdiam karena kaget. Dia cuma mengamati adiknya masuk kembali ke dalam rumah.
Bryan mengenakan topi untuk melindungi kepalanya dari terik matahari, lalu keluar rumah lagi.
"Ingat, perubahan itu bisa diawali dengan langkah kecil, Bryan," ucap Ricky, kembali mengembangkan senyum.
Setelah mengangguk kepada kakaknya, Bryan berjalan menuju tepi pantai. Seperti di dalam sebuah game, dia sudah siap untuk melakukan misi pertamanya.