

“Jangan buru-buru. Tarik sikumu, tahan napas, baru pukul!” serunya.
Plak!
Bola meluncur bersih ke sudut lapangan. Murid itu melonjak kegirangan.
Sorak kecil terdengar. Di tribun VIP, Davina memperhatikan.
Wanita itu berambut hitam panjang, tubuh sintal dalam setelan olahraga hitam ketat. Usianya sudah lewat akhir dua puluh, janda yang berwibawa. Tatapannya tajam, tapi bibirnya tersenyum samar melihat kesabaran Roni.
Roni sempat melirik, jantungnya berdegup.
“Kak Davina lihat aku… sial, badannya bagus banget! Aku ga bisa fokus. Ga boleh. Aku ga boleh berdiri dulu, bisa-bisa dilihat orang banyak. Malu aku!”
Tapi ketenangan buyar saat suara tawa nyaring memotong udara.
Cleo.
Mantan pacarnya masuk dengan langkah penuh percaya diri. Rok tenis putihnya berkibar, rambutnya dikuncir kuda. Di lengannya bergelayut Rey, atlet semi-pro, wajahnya tampan dan angkuh. Mereka tampak seperti pasangan selebriti yang sengaja pamer.
“Wih, Cleo makin cakep, ya,” bisik seorang sosialita.
“Kasihan Roni, mantannya digondol Rey,” sahut yang lain, terkekeh.
Perut Roni menegang. Tangannya mencengkeram raket lebih keras.
Cleo berhenti tepat di depannya. Suaranya lantang. “Oh, ternyata kau masih di sini. Kupikir sudah kabur. Tapi ternyata betah juga jadi bahan gosip.”
Rey ikut menambahkan, menyalakan mikrofon kerah supaya semua dengar. “Kupikir kau sudah menyerah. Ternyata masih berani nongol walaupun semua orang tahu gosip kau impoten.”
Tawa pecah dari tribun.
Ada yang langsung live: #CoachGagal.
Wajah Roni memerah, tapi dia menahan.
Cleo semakin pedas. “Dulu, kalau bukan karena aku, kau makan apa? Tinggal di mana? Semua aku yang bayarin. Kau numpang hidup, Roni. Sekarang kau berdiri di sini seolah jagoan? Please. Kau cuma pelatih miskin, nggak punya apa-apa. Dan paling parah…” suaranya menajam, “kau bahkan nggak bisa bikin wanita puas di ranjang!”
Penonton berisik.
Ada yang teriak, “Impoten!” sambil ngakak.
Roni menunduk, rahangnya mengeras.
Tapi saat Rey ikut menyindir muridnya, bahkan menyeret nama Davina, sabarnya habis.
“Cukup! Hina aku saja! Jangan hina muridku. Dan jangan hina Kak Davina. Beliau selalu mendukungku di sini!”
Tribun mendadak hening. Semua mata menoleh ke Roni.
Davina menatap tajam, sedikit terkejut, ada cahaya berbeda di matanya.
Cleo tertawa sinis. “Oh, jadi masih punya nyali ya? Muridmu gagal, sama sepertimu. Pelatih gagal, laki-laki gagal. Di ranjang pun kau gagal, Roni.”
Roni balas, suaranya bergetar tapi mantap. “Kau lupa? Siapa yang dulu mabuk di pesta sponsor, hampir diusir panitia? Siapa yang pakai duit sponsor buat belanja barang mewah sampai minus?”
Kerumunan terkejut. Beberapa sosialita ternganga.
Wajah Cleo memerah, lalu berubah jadi senyum licik. “Lucu. Kau pikir bisa balas? Semua orang di sini tahu kenapa aku ninggalinmu. Karena kau impoten! Mau bukti? Aku masih punya chat lamamu, penuh keluhan kau tak bisa berdiri. Hahaha!”
Rey ikut terbahak. “Astaga, pantes! Cakep doang tapi useless. Pantesan dibuang.”
Kerumunan tertawa lagi.
Pak Aditama, direktur klub, muncul. “Roni! Cukup! Jangan bikin malu klub ini. Ingat, kau bisa dipecat kapan saja!”
Dia sangat butuh pekerjaan ini.
Jika dia dipecat, maka dia tidak tahu harus hidup seperti apa.
Ibu Roni meninggal saat melahirkannya, begitu juga ayahnya yang memiliki pergi saat usianya baru empat tahun. Roni kemudian tinggal bersama sang nenek. Namun, setahun terakhir, sang nenek meninggal dan Roni harus menanggung semua bebannya sendiri.
“Aku lebih baik kehilangan orang miskin sepertimu dari pada harus kehilangan Rey. Apa kau lupa, dia salah satu atlet kebanggaan Penthouse Padel. Sedangkan dirimu, hanya orang miskin yang beruntung bisa bekerja di sini. Andai bukan karena Davina, aku tidak akan memberimu pekerjaan!”
“Cukup, Pak! Biar aku yang mengurusnya,” Davina mengambil alih, dia lantas mengajak Roni ke ruang ganti, hanya berdua. Roni menunduk. Ia butuh pekerjaan ini. Kalau dipecat, dia tidak punya apa-apa.
Davina adalah pelatih paling senior di Penthouse Padel.
Dulu, Davina sempat diselamatkan nenek Roni saat dia kecelakaan dan tangan kanannya sempat patah. Beruntung Nenek Roni ada di sana dan membawa Davina ke rumah sakit secepat mungkin. Jika tidak, cedera tangan kanannya bisa lebih parah dan Davina harus pensiun dari dunia padel di usianya yang baru 29 tahun.
Setelah sembuh, dia kembali berlatih hingga menjadi pelatih nomor satu di klub. Untutk balas budi, dia merekomendasikan Roni ke Pak Aditama.
“Ma-maafin aku, Kak.” Roni membungkuk dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. “Aku janji ga akan malu-maluin Penthouse Padel lagi.”
Sebenarnya, sejak Roni masuk di klub, sosialita menaruh harapan tinggi padanya, apalagi Davina yang merekomendasikan. Tingginya 181 centi dengan bentuk tubuh dan otot lengan yang jauh lebih menggoda, tentu jadi perbincangan hangat anggota klub.
Sayang, karena fitnah yang dilayangkan Cleo, sepertinya nasib Roni berubah.
Tidak ada lagi yang menginginkannya karena dia sudah dicap sebagai pelatih miskin, unpopular, juga yang paling parah: Impoten.
Padahal, tidak ada seorang pun yang tahu kalau milik Roni sebenarnya sangat perkasa!
Cleo sengaja menyebarkan kabar itu karena dia pernah mengejek Roni dengan hal yang sama, impoten, tapi waktu itu tidak ada Rey di sana. Cleo kemudian menantang Roni di ranjang dan Cleo kalah telak.
Bahkan, sudah lima ronde, punya Roni masih berdiri.
Meski Cleo merasa puas, dia tidak mau dipermalukan, apalagi oleh orang rendahan semacam Roni. Karena itu, dia terus menyebarkan kabar bahwa Roni impoten agar tidak ada yang tahu bahwa Roni sebenarnya punya ketahanan tubuh melebihi manusia normal.
Selama ini dia tinggal di klub, tidak punya rumah, dan membantu cleaning service klub membersihkan seluruh ruangan setelah sesi latihan sore selesai.
Malamnya, lapangan sepi.
Roni duduk sendiri di bangku pemain. Peluit di lehernya terasa berat. Kata-kata hinaan bergaung di telinganya. Miskin.
Numpang.
Miskin.
Impoten.
Dia menunduk, meninju pahanya sendiri.
Langkah kaki terdengar. Davina muncul dengan handuk di pundak, rambutnya masih basah habis mandi. Setelan ketatnya menempel di tubuh, memperlihatkan lekuk pinggang dan dada montoknya.
“Masih di sini?” suaranya dingin.
“Aku… nggak bisa tidur,” jawab Roni, pikirannya masih terbayang kejadian tadi. Karena viral itu juga, Roni masih duduk. Dia merenung sampai lupa, dia seharian ini tidak makan apa-apa.
Saat akan berjalan ke arah Davina, pandangan Roni tiba-tiba gelap dan dia pingsan.
Davina yang melihat itu, panik bukan main.
Dia kemudian menelepon Tasya, sahabat Cleo, yang masih ada di klub, untuk membantunya. Sembari menunggu Roni datang, dia menyenggol-nyenggol tubuh Roni.
Masih belum ada jawaban.
Dia kemudian menyentuh milik Roni, berharap sisi sensitifnya ini bisa membuat Roni sadar.
Nyatanya tidak!
Yang bangun bukan Roni, tapi joninya!
Davina coba memalingkan wajah. Dia coba cek nafas Roni dan dadanya. Pompaan oksigennya sangat sedikit. “Cih, ngerepotin aja! Dihina gitu harus pingsan, butuh nafas buatan pula!”
Baru saja Davina memberi nafas buatan, Roni membuka mata, dunia terasa berbeda. Bukan karena lampu yang tadinya redup tampak seperti siang hari, tapi karena ada rasa enak dan basah yang terasa di mulutnya. “Ka-Kak!”