

Kabut pagi menggantung tipis di kaki gunung, seperti selendang dingin yang membelai pucuk-pucuk pinus. Jalur tanah lembap memantulkan sisa hujan semalam, aromanya bercampur wangi lumut dan tanah basah. Di pos keberangkatan, puluhan mahasiswa berkumpul, bercanda, memeriksa tali sepatu, menepuk-nepuk bahu satu sama lain. Adam mengencangkan tali dagu ransel, menghela napas panjang untuk menenangkan degup jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasa.
“Bro, jangan nyasar,” gurau Ilham sambil menyorongkan botol air.
“Aku? Paling rapi di antara kalian,” jawab Adam, menepuk dada pura-pura percaya diri. Senyumnya tipis, menutupi letih setelah seminggu dikejar deadline tugas.
Instruktur memberi aba-aba. Rombongan berangkat beriringan, derap langkah dan suara tongkat hiking mengetuk batu-batu kecil seperti irama pelan. Beberapa kilometer pertama ringan saja. Adam menikmati ritme napas, suara burung, sesekali tawa teman-temannya yang memantul di lereng.
Lalu jalur bercabang. Di kiri, papan penunjuk kusam mengarah ke jalur resmi; di kanan, setapak menanjak masuk ke rimbun pepohonan, lebih sempit namun tampak memotong jarak. Ilham sudah melenggang di depan bersama kelompok yang lebih cepat. Adam menimbang beberapa detik.
“Ambil pintas, balik ketemu di pos istirahat,” gumamnya. Ia melangkah ke kanan.
Semakin jauh, hutan kian rapat. Udara berubah lebih dingin, suara rombongan lenyap, tersedot oleh kerimbunan. Cahaya matahari disaring dedaunan, jatuh berupa serpih-serpih hijau kebiruan. Adam berhenti sejenak, meraih botol air, meneguk dua kali. Saat itulah ia mendengar suara: retakan ranting, berat, berirama. Bulu kuduknya meremang.
“Siapa?” panggilnya. Hening.
Retakan itu semakin dekat, diikuti geraman rendah, menyusup dari semak yang bergetar pelan. Adam mundur setapak. Dari kegelapan hijau itu muncul seekor hewan—sebesar anjing hutan, tetapi bahunya lebih tinggi, bulunya lebih gelap, dan matanya… merah, seperti bara kecil yang bernapas. Gusi makhluk itu tertarik, menampakkan deretan gigi yang tak seharusnya ada pada hewan biasa.
“Bagus… ini saatnya tidak panik,” desis Adam, walau telapak tangannya basah. Ia mengangkat kedua tangan perlahan, lalu mundur. Makhluk itu merendahkan badan, siap menerkam.
Adam berbalik—berlari.
Dahan-dahan mencambuk lengan, tanah licin membuatnya beberapa kali hampir tergelincir. Napas memburu, paru-paru perih seperti disayat udara dingin. Di belakang, geraman berubah menjadi pekikan garau; suara kuku menghantam batu memercikkan serpih-serpih kecil. Adam menukik di antara dua pohon, meloncati akar yang menyembul. Tiba-tiba, sepatu kirinya masuk ke lekuk becek—pergelangan kakinya memutar. Sakit menyambar. Ia mengaduh tertahan, namun tidak berhenti; adrenalin mengambil alih logika.
Di depan, hutan terbelah, menyingkap tebing batu dengan mulut gua menganga—gelap, lembap, seolah menelan cahaya di sekitarnya. Adam menoleh cepat; si pemburu tinggal belasan meter. Ia tak punya pilihan lain. Ia mencondongkan badan ke depan dan menuruni lereng kecil, menghantam tanah dengan bahu, berguling setengah putaran, lalu bangkit lagi sambil terpincang menuju mulut gua.
Begitu menembus ambang, udara berubah. Lebih dingin, berbau besi dan lumut tua. Suara dari luar meredup, seperti diselimuti kapas. Adam menempelkan punggung pada dinding batu, berusaha mengatur napas. Makhluk itu berhenti di bibir gua, mengendus—ragu akan kegelapan yang pekat. Mata merahnya berkilat, namun setelah beberapa detik tegang, geraman itu menjauh. Hutan kembali menelan suaranya.
Adam menurunkan ransel, memijat pergelangan kaki. Denyut sakit masih kuat, tetapi berangsur tertata. “Oke… bertahan,” gumamnya. Ia menyalakan senter kecil dari saku ransel. Cahaya kuning pucat meraba-raba langit-langit rendah, menguak dinding yang berlapis mineral. Tetesan air dari stalaktit jatuh ritmis ke genangan kecil, tik… tik… tik…, seolah detik jam yang asing.
Senter menangkap sesuatu: garis-garis di dinding, bukan guratan alami. Ukiran. Pola lingkaran bertingkat, disilangi garis-garis halus seperti nadi. Debu menempel di celahnya, namun saat cahaya menyapu, Adam melihat ada kilau samar—bukan pantulan senter, melainkan cahaya yang seolah lahir dari batu itu sendiri.
“Ini… arkeologi dadakan?” Ia melangkah mendekat, jemarinya terulur, ragu-ragu menyentuh kontur dingin ukiran. Permukaannya halus, terlalu halus untuk erosi biasa. Ada bagian yang menonjol seperti tombol datar, di tengah bulatan motif. Adam menekan perlahan.
Getaran halus merambat, begitu tipis hingga nyaris seperti ilusi. Lalu dari dalam batu, cahaya biru kehijauan menyala, menyusun garis seperti sungai kecil yang tiba-tiba diisi air. Ukiran-ukiran lain di kiri-kanan ikut menyala, berdesir, membentuk pola yang saling menyambungkan diri. Udara di gua menggigil; rambut di lengan Adam berdiri.
“S**t—” Ia mundur setapak. Senter di tangannya mendadak berkedip-kedip, kemudian mati. Kegelapan menutup, hanya disela oleh cahaya biru kehijauan yang kini berputar perlahan di dinding, seperti pusaran angin yang dilukis dalam garis-garis cahaya. Lantai di bawah telapak kakinya mendenting halus, seolah ada logam sangat tipis yang baru saja tersentuh.
“Jangan panik. Ini mungkin… fenomena fosfor alami? Atau sistem gua dengan gas tertentu? Tenang, tenang.” Suaranya memantul, terdengar lebih kecil dari yang ia rasakan.
Pusaran cahaya di dinding merapat, membentuk oval setinggi dada Adam. Di pusatnya, titik-titik kecil berpendar seperti bintang. Nafasnya tercekik oleh rasa ingin tahu yang menumbuk rasa takut dari balik dada. Ia mencondongkan tubuh, menatap cermat—ingin memastikan apakah ia sedang tertipu oleh kombinasi kelelahan, rasa sakit, dan kegelapan.
Dari arah oval itu, hembusan angin dingin menyapu wajahnya—bukan angin dari luar gua, melainkan semerbak asing: wangi tanah yang belum pernah diinjak, samar-samar aroma bunga liar, dan… sesuatu yang tak bisa ia namai. Hening mendadak terasa padat; suara tetes air hilang, berganti dengan dengung rendah yang beresonansi di rusuk.
“Kalau ini alat peraga wisata, mereka kebangetan,” gumamnya, setengah bercanda, setengah untuk mengusir gugup.
Langkahnya meluncur tanpa ia sadari, satu tapak, dua tapak. Ujung jari menyentuh tepi oval—dingin seperti es, namun licin seperti kaca. Seketika getarannya melonjak. Cahaya menyambar, bukan meledak, melainkan menyelimuti, menutup matanya dengan ribuan serpihan biru yang menari seperti debu bintang. Lantai seolah melesak satu jengkal; Adam kehilangan keseimbangan, bahunya terbentur dinding, lalu ia terdorong ke depan, menembus pusaran yang terasa seperti meniti permukaan air yang terlalu padat.
Semua kembali gelap, kemudian terang, lalu gelap lagi. Waktu seperti dilipat. Dalam sepersekian detik yang panjang, Adam merasakan dada mengembang sekaligus tenggelam, telinga berdenging, namun anehnya tidak ada rasa mual. Ketika cahayanya padam, ia sudah berdiri beberapa langkah lebih dalam di koridor gua yang sama—begitu pikirnya—dengan dinding-dinding yang tampak… lebih hidup. Warna batu lebih pekat, udara lebih segar, dan gema langkahnya merambat lebih jauh seolah gua memanjang tanpa batas.
Ia menepuk-nepuk senter—kembali menyala. “Syuk—akhirnya,” urainya pelan, lalu mengarahkan cahaya ke sekeliling. Ukiran di belakangnya kini tampak redup, kembali jadi batu. Di depan, lorong melebar, mulut keluar gua mungkin hanya seratus meter lagi. Hanya satu hal yang membuatnya mengerutkan kening: ada jejak kaki di debu—besar, telanjang, meninggalkan bekas jari yang panjang dan dalam, seperti milik manusia… namun bukan.
Adam menelan ludah, menyesuaikan posisi ransel, lalu berjalan perlahan menuju cahaya di kejauhan. Ia belum tahu, pada langkah-langkah kecil itu, sesuatu yang halus namun mutlak telah berubah. Bagi Adam, ini tetap hutan yang sama, gua yang sama, hari yang sama—hanya sedikit lebih aneh. Di luar sana, dunia menunggu dengan sunyi yang berbeda.