“Kapten, tapi rencana genosida bisa membunuh banyak orang tidak bersalah,” seru seorang pria yang menolak gagasan ketuanya.
“Jika mereka tidak dimusnahkan semuanya, bakal lahir pemimpin baru yang akan menyerang bangsa kita,” tolak seorang wanita yang teguh pada pendiriannya.
“Itu hanya pemikiranmu saja. Kapten, jika kita berhasil merebut wilayah musuh, mereka akan tunduk pada kita. Perbuatan baik akan menghasilkan sesuatu yang baik!”
“Kau terlalu naif, Er—”
“Kapten, kamp bagian timur kita diserang musuh!”
Bunyi dentuman yang cukup besar membangunkan Arsen dari mimpi buruknya. Asap hitam mengepul di luar jendela kamar membuat dirinya langsung bangkit dan melihat apa yang terjadi. Terdengar seorang warga mengaku tidak sengaja menjatuhkah kaleng bahan bakar saat hendak membakar sampah bekas daun kering.
Mata Arsen pun langsung beralih pada jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul tujuh. Masih terlalu pagi dan warga sekitar sudah membuat keributan. Ia pun memutuskan untuk membersihkan dirinya dibandingkan kembali tidur yang mungkin saja membuatnya kembali bermimpi buruk.
“Loh Arsen?”
Tak sengaja bertemu dengan seniornya saat tiba di pusat penelitian tempatnya bekerja, Arsen lebih memilih untuk menghindarinya. Dirinya tidak ingin paginya yang tenang harus sudah berhadapan dengan Zofia. Seniornya itu sudah pasti akan mengajukan beragam pertanyaan terkait pekerjaan padanya.
“Tak biasanya kau datang pagi seperti ini,” tegur Zofia yang tidak dipedulikan oleh Arsen. “Kau sibuk? Ah, tapi kau selalu sibuk setiap hari.”
Arsen tidak menjawab pertanyaan Zofia dan lebih memilih untuk melanjutkan langkahnya, hingga dirinya merasa seseorang menarik tangannya. “Jangan menggangguku,” keluh Arsen yang mana hanya dibalas cengiran dari Zofia.
“Masih ada waktu setengah jam sebelum kau mulai bekerja. Jadi, kau harus ikut aku ke lab sekarang. Harus.” Zofia langsung menarik tangan Arsen dan membawanya ke lab seniornya itu.
“Thorium lagi?” keluh Arsen ketika melihat laporan yang ada di meja kerja Zofia.
“Ya!” jawab Zofia semangat, Zofia pun menunjukkan laporan yang sudah ia ketik dengan rapi pada Arsen. “Kita bisa mengembangkan Thorium menjadi pembangkit listrik. Kamu tahu bukan panel surya tidak cocok di negara kita yang punya empat musim?”
“Zofia,” tegur Arsen dengan suara beratnya.
“Ya?”
Arsen tak langsung bersuara melainkan menunggu Zofia yang menjelaskannya sendiri. Dirinya sudah terlalu lelah memperingatkan sang senior mengenai penelitian yang tengah dilakukan seniornya itu. Seandainya sang senior mau mendengarkan perkataannya, sudah bisa dipastikan uang tabungan gadis itu akan sama banyaknya dengan uang tabungan yang Arsen miliki.
“Padahal aku sangat senang ketika tahu limbah thorium sangat banyak di negara kita,” gumam Zofia dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Aku menghargai kerja keras serta semangatmu untuk menemukan dan meneliti lebih banyak, tapi Zofia, aku tekankan padamu untuk tetap fokus pada limbah uranium. Semakin banyak kau mendapatkan informasi tentang teknologi nuklir terbaru, maka akan semakin bagus untuk negara kita,” jelas Arsen kembali mengingatkan Zofia akan tugas yang seharusnya dikerjakannya.
“Aku tidak suka meneliti tentang nuklir, Arsen. Kau tahu betul tentang nuklir yang banyak disalahgunakan menjadi senjata yang mematikan, aku tidak mau mengunakan otakku untuk membuat sesuatu yang salah,” ujar Zofia yang mana membuat Arsen refleks mengembuskan napasnya.
“Sudah berulang kali aku menjelaskan padamu, Zofia, nuklir punya banyak manfaat dan salah satunya juga bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Tak hanya itu, teknologi nuklir juga banyak dimanfaatkan di bidang industri, bahkan di bidang medis sekalipun.” Arsen kembali menjelaskan manfaat dari penelitian mereka.
“Aku tahu,” balas Zofia yang hanya bisa menerima teguran dari Arsen.
Yang dilakukan Arsen pun hanya bisa meletakkan kembali laporan yang sudah dibuat oleh Zofia. Sekuat apa pun keinginan seniornya itu melakukan penelitian yang lain, tetap saja tidak ada gunanya. Mereka tetap harus mengikuti permintaan dan perintah yang diberikan sang atasan dan tidak ada yang boleh menolaknya.
“Masih pagi sudah membuat lelah saja.”
Selama satu hari penuh yang dilakukan oleh Arsen mengawasi anggotanya dalam melakukan penelitian. Tak hanya itu, dirinya juga turun langsung ke lapangan dan juga memeriksa beberapa laporan yang harus diperiksanya.
Pekerjaannya sebagai seorang peneliti membuat dirinya lebih banyak berpikir dibandingkan mengeluarkan tenaga. Lelah pikiran terkadang membuatnya hampir frustasi ketika tiba di rumah sepulang bekerja. Ia bahkan tak sanggup melakukan hal lain dan lebih memilih langsung beristirahat.
“Senang mengenalmu, Erkan,” seru seorang gadis berambut pirang yang mana mengulurkan tangan ke arahnya.
Uluran tangan gadis itu pun langsung disambutnya. “Aku juga senang bisa mengenalmu, Marcela.”
“Erkan, kau harus tahu kalau aku terpaksa melakukan ini semua. Aku terpilih jadi prajurit penyerang padahal aku tidak pernah menginginkannya,” seru gadis itu tiba-tiba langsung bercerita.
“Aku tahu itu, Marcela. Aku tahu kalau kau adalah orang yang baik,” balasnya cepat.
“Erkan, jangan percaya kata-kata gadis itu. Dia memanipulasimu!” seru gadis lain yang mana membuatnya mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Apa maksudmu, Sasha? Marcela bukanlah orang seperti itu, kau Jangan bicara sembarangan,” balasnya cepat memperingatkan gadis yang baru saja bergabung dengannya.
“Tapi Erkan—”
Lagi-lagi ia terbangun dengan napas terengah-engah. Dibukanya kalendar di ponsel miliknya, sudah dua bulan ia memimpikan hal yang sama. Terus memimpikan kejadian di masa lalu. Sudah seminggu ini ia dibuat stress karena terus terlambat datang bekerja dan menjadi fokusnya menjadi terganggu.
Pagi ini pun tepat seminggu ia datang terlambat. Dirinya selalu harus berhadapan dengan Zofia yang tengah menunggunya tepat di depan ruangan pribadi milik Arsen. Dengan lemah, Arsen pun membuka pintu ruangan kerjanya dan membiarkan Zofia untuk masuk.
“Kau tidak tidur lagi?” sapa Zofia begitu melihat kedatangannya.
“Tidur, tapi tetap saja tidak nyaman,” keluh Arsen.
“Sebaiknya kau pergi menemui psikiater, Arsen. Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Dampak kurang tidur sangat buruk dan cukup mengganggu pekerjaanmu,” tegur Zofia ketika keduanya sudah berada di dalam ruang kerja Arsen.
Arsen menatap kesal ke arah seniornya itu. “Apa-apaan, aku tidak gila dan aku hanya mengalami mimpi yang sama saja. Tidak perlu sampai harus pergi menemui psikiater,” tolak Arsen secara terang-terangan.
“Siapa yang bilang pergi ke psikiater adalah orang gila? Kau tahu, Arsen, kau itu pintar dan bodoh juga,” ejek Zofia. Terlihat seniornya itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengambil secarik kertas yang ada di atas meja kerja Arsen.
Daniesha,
0192880xxx
“Apa ini?” tanya Arsen ketika kertas tersebut diberikan oleh Zofia padanya.
“Kontak Daniesha, dia psikiater kenalanku. Pastikan kau menghubungi dan membuat janji temu padanya,” saran Zofia yang mana meninggalkan Arsen seorang diri di ruangannya.
***