Matahari sore di Universitas Cahaya Nusantara memancarkan sinar keemasan yang biasanya indah. Namun, kali ini terasa menyakitkan bagi Davin Aryasatya. Pemuda berusia dua puluh tahun itu berdiri di depan gedung perpustakaan dengan wajah pucat, mendengarkan kata-kata yang menghancurkan dunianya.
"Aku minta putus, Vin."
Della Kusuma berdiri di hadapannya dengan ekspresi dingin. Gadis cantik yang selama empat tahun menjadi kekasihnya itu kini terlihat seperti orang asing. Rambut panjangnya yang selalu ia kagumi kini tergerai menutupi sebagian wajah yang dulu selalu tersenyum untuknya.
"Apa maksudmu, Del?" Davin mencoba menyentuh lengan Della, tetapi gadis itu menjauh. "Kita sudah bersama sejak SMA. Kita sudah merencanakan masa depan kita ..."
"Masa depan?" Della terkekeh pahit. "Masa depan macam apa yang bisa kau berikan, Vin? Kau pikir aku mau hidup susah terus bersamamu?"
Davin terdiam. Ia memang bukan mahasiswa berada. Setiap hari harus bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Baju yang dikenakannya pun sederhana, jauh berbeda dengan mahasiswa lain yang mengenakan pakaian bermerek.
"Ini karena Hadi Saputra, kan?" Davin bertanya dengan suara bergetar. Ia masih ingat kejadian beberapa hari lalu ketika melihat Della naik ke mobil BMW milik Hadi Saputra, playboy terkenal di kampus. "Kau tahu dia itu seperti apa. Dia sudah merusak banyak gadis, bahkan baru saja membuat seorang mahasiswi hamil!"
Della mengangkat kepala, memandang Davin dengan mata yang berkilat marah. "Itu salah gadis itu sendiri yang menggoda Hadi. Lagipula, dia sudah memberikan kompensasi yang cukup."
"Kompensasi?" Davin tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Del, kau dengar ucapanmu sendiri? Hadi itu berkencan dengan beberapa perempuan sekaligus. Dia tidak akan pernah serius denganmu!"
"Kau tidak tahu apa-apa tentang Hadi!" Della berteriak frustasi. "Dia berbeda denganmu yang hanya bisa berjanji tanpa bukti nyata!"
"Aku memang tidak punya uang banyak, tapi aku mencintaimu dengan tulus, Del. Bukankah itu lebih berharga?" Davin memohon dengan suara bergetar.
"Cinta tidak bisa membayar tagihan listrik, Davin! Cinta tidak bisa membelikan makanan enak atau pakaian bagus!" Della menjawab dingin. "Aku sudah lelah berpura-pura bahagia dengan kehidupan yang serba kekurangan."
"Berhenti bicara omong kosong tentang Hadi!" Della membentak. "Kau cuma iri karena dia bisa memberikan apa yang tidak bisa kau berikan."
Davin mencoba meraih tangan Della. "Del, kumohon. Aku tahu Hadi pasti memaksamu. Aku akan mencari cara untuk ..."
"Cara apa?" Della memotong dengan nada sinis. "Kau mau pinjam uang ke bank? Atau mau jual ginjal supaya bisa kasih aku kehidupan yang layak?"
"Aku akan bekerja lebih keras. Aku janji setelah lulus nanti ..."
"Lepaskan!" Della menepis tangan Davin dengan kasar. "Tidak ada yang memaksaku. Ini keputusanku sendiri. Aku sudah muak hidup susah bersamamu. Setelah lulus, kau akan menjadi apa? Karyawan biasa dengan gaji pas-pasan? Mencicil rumah dan kendaraan? Hadi bisa memberikanku tas seharga dua puluh juta, sesuatu yang tidak akan pernah bisa kau beli seumur hidupmu!"
Kata-kata Della menusuk jantung Davin seperti pisau. Ia merasakan dadanya sesak, tetapi masih berusaha untuk yang terakhir kali.
"Del, dengarkan aku. Hadi hanya mempermainkanmu. Dia tidak mencintaimu sungguh-sungguh. Suatu hari nanti ..."
"Suatu hari nanti apa?"
Suara maskulin menginterupsi pembicaraan mereka. Hadi Saputra menghampiri dengan langkah percaya diri, mengenakan kemeja putih mahal, celana bahan yang jelas bermerek dan sepatu berbahan kulit berkualitas yang mengilap. Jam tangan mewah di pergelangan tangannya berkilau memantulkan cahaya matahari.
Tanpa ragu, Hadi merangkul pinggang Della dan menariknya ke dalam pelukannya. Della langsung bersandar di dada Hadi dengan wajah memerah, tanpa ragu ataupun merasa canggung.
"Jangan suka menjelekkan orang di belakang, Davin," kata Hadi dengan senyum meremehkan. "Itu tidak baik."
Davin menatap pasangan di hadapannya dengan perasaan hancur. Melihat Della yang begitu nyaman di pelukan Hadi membuatnya menyadari bahwa semuanya sudah berakhir.
"Suatu hari kau akan menyesal, Del," kata Davin dengan suara parau. Ia berbalik hendak pergi.
"Tunggu sebentar!"
Hadi memanggil Davin. Ia menoleh ke Della dan berkata lembut, "Sayang, kau duluan ya. Ada yang aku perlu bicarakan sebentar dengannya."
Della tampak ragu. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Hadi."
"Percayakan saja padaku. Kau tunggu di mobil."
Della akhirnya mengangguk dan pergi meninggalkan mereka berdua. Davin berdiri dengan tangan mengepal, berusaha menahan amarah dan rasa sakit yang melilit dadanya.
Hadi mendekat dengan senyum penuh kemenangan. Suaranya yang tadinya lembut kini berubah menjadi dingin dan mengejek.
"Kau tahu, Davin, tubuh Della itu luar biasa," bisik Hadi dengan nada menjijikan yang membuat darah Davin mendidih. "Bahkan setelah empat tahun bersamamu, dia masih perawan. Kau benar-benar laki-laki yang tidak berguna."
Davin merasakan kepalanya berputar. Ia ingin memukul wajah Hadi, tetapi kakinya terasa lemas.
"Kemarin malam kami habiskan bersama di presidential suite hotel bintang lima. Kau tahu kan yang di pusat kota? Harga satu malam di sana saja mungkin setara dengan biaya kuliahmu selama satu semester," Hadi tertawa puas. "Della sangat menikmatinya. Dia bilang selama ini dia hanya mengasihani kondisimu, makanya bertahan. Tapi sekarang dia sudah menemukan laki-laki sejati."
Dunia Davin berputar. Selama empat tahun bersama, ia dan Della paling jauh hanya berciuman. Setiap kali Davin ingin melangkah lebih jauh, Della selalu menolak dengan alasan ingin menunggu sampai menikah. Ia menghormati keputusan itu, bahkan merasa bangga memiliki kekasih yang menjaga diri.
Tetapi sekarang, hanya dalam beberapa hari bersama Hadi, Della sudah melangkah sejauh itu.
"Selamat menikmati hidup miskinmu, Davin," Hadi menepuk bahu Davin dengan kasar sebelum pergi dengan langkah angkuh.
Davin berdiri sendirian di bawah sinar matahari yang kini terasa membakar kulitnya. Dadanya terasa sesak, napasnya berat. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang hangat naik ke tenggorokannya.
Darah.
Ia muntah darah tepat di depan gedung perpustakaan. Beberapa mahasiswa yang melihat berteriak panik dan berlari menghampiri. Dunia Davin berputar semakin cepat sebelum akhirnya gelap gulita.
Ketika Davin membuka mata, ia sudah berada di ruang medis kampus. Di atas kepalanya, kipas angin berputar pelan. Ia mencoba duduk, tetapi kepalanya masih terasa pusing.
Tiba-tiba, suara jernih dan tegas terdengar di dalam kepalanya.
"Sistem Sultan Tiada Tanding berhasil terhubung dengan host. Selamat datang, Davin Aryasatya."
Davin menoleh ke kiri dan kanan, mencari sumber suara. Ruangan itu kosong. Ia mengira sedang berhalusinasi akibat stres.
"Kau tidak berhalusinasi, Davin. Aku adalah sistem yang akan mengubah hidupmu. Mulai sekarang, kau akan menjadi pria paling kaya dan berkuasa di dunia ini."
Davin terdiam. Apakah ia sudah gila?