"Buka pintunya! Cepetan!" Dari dalam kontrakan terdengar suara manja tak jelas dari waktu ke waktu. Zainal mengetuk pintu kontrakan dari luar dengan perasaan gelisah. Hari ini sudah akhir pekan, tetapi perusahaan menyuruhnya untuk lembur. Ia kembali ke kontrakannya untuk mengambil sebuah dokumen, namun tak disangka ia malah mendengarkan suara tak pantas itu dari luar.
Pintunya ternyata terkunci dari dalam. Percuma saja semisal ia juga memiliki kunci. Pintu tersebut takkan bisa dibuka. Penasaran sekali dirinya tentang apa yang terjadi di dalam.
Setelah sepuluh menit, Yanti, pacarnya itu, membuka pintunya dan berjalan keluar. "Kok kamu gak lembur? Kenapa udah pulang lagi?" tanya Yanti.
Yanti terlihat amat cantik, hanya saja rambutnya acak-acakan dan bajunya juga tak rapi. Setelah berhadapan dengan Zainal, ia tampak sepoerti tak terjadi apa-apa tanpa sedikitpun rasa malu terpancar.
"Siapa di dalem?" tanya Zainal sembari mencoba untuk menerobos masuk ke dalam, namun ia dicegah oleh Yanti.
"Siapa, tuh? Zainal, ya?" Muncul di belakang Yanti seorang pria yang hanya menggunakan celana dalamnya saja.
"Ry… Ryan? Ngapain aja kalian di belakang gua, hah?!" Zainal langsung diselimuti oleh amarah, tampak dari wajahnya.
"Ngapain lagi? Ya begituan lah." Ryan memeluk Yanti dihadapan Zainal. Di saat seperti itu, Yanti tampak tak menolaknya dan malah bersikap manja.
"Woy, Yanti! Kok lu bisa sih lakuin ini ke gua?!" Tinju Zainal terkepal dengan erat. Tatapannya tajam menuju ke arah mereka.
"Hehe, gua ngadepinnya gimana, ya?"
"Aku kasih tau sekarang, ya, Zainal. Kita putus!" Pintu kontrakan mereka tutup kasar. Dari dalam, terdengar suara mesra-mesraan Yanti dan Ryan. Zainal memukul dinding dengan kerasnya.
Tiga tahun yang lalu, Zainal mengenal Yanti, adik tingkatnya di universitas. Ia amat cantik. Zainal lantas mengejar cintanya itu hingga mereka berdua resmi jadian.
Yanti, wanita yang berasal dari keluarga susah. Keluarganya bahkan tak menyetujui dirinya untuk berkuliah. Ia hanya bisa kerja paruh waktu sembari berkuliah. Lelah sekali. Mengetahui hal itu, Zainal membantunya dengan memberi uang bulanan, membelikan tas dan pakaian, juga membantunya membayar uang kuliah dan biaya-biaya lainnya.
Zainal tak menyisihkan uangnya untuk tambungan. Sebanyak 80% hingga 90% penghasilannya ia dedikasikan untuk membantu Yanti. Ia bahkan tak membeli pakaian baru selama tiga tahun terakhir.
Kini, Yanti akan lulus kuliah. Kira Zainal, dirinya tak perlu lagi membiayai uang kuliahnya dan bisa menabung untuk biaya pernikahan mereka nantinya. Akan tetapi, musibah malah menimpa dirinya. Bagai air susu dibalas air tuba. Hatinya kini terasa tak nyaman. Mengapa ini bisa terjadi? Ia sudah bekerja keras selama tiga tahun. Namun tepat saat kekasihnya itu akan wisuda dan bisa bekerja, ia malah ditendang pergi. Apakah dirinya hanya seonggok mesin ATM?
Zainal, meski wajahnya rupawan, ia tidak pandai mengurusi dirinya sendiri, tidak pula mencolok di tengah keramaian, dan tidak pula memiliki orang tua. Ia tak memiliki latar belakang keluarga yang kuat. Orang sepertinya hanya dapat mengandalkan "perhatian" saat melakukan PDKT dengan seorang gadis, memberi gadis itu rasa aman dan rasa percaya. Dengan kata lain, dirinya harus menjilat. Kalau tidak, gadis manapun takkan menjadi pacarnya. Siapa yang tak ingin menjadi kekasih dari seseorang yang dapat memberi seluruh perhatiannya pada dirinya seorang?
Yanti memanglah primadona kampus dengan paras cantik bak dewi. Zainal dapat mengejar cintanya pun karena faktor ekonomi. Zainal sudah mendapatkan penghasilan setelah lulus dan bekerja. Namun, hubungannya seperti ini tidaklah kuat. Zainal tak tahu sejak kapan hubungan Yanti dengan Ryan dimulai. Jika bukan karena dirinya memergoki perselingkuhan itu hari ini, maka ia mungkin saja masih terperangkap oleh tipu dayanya untuk waktu yang lama.
Masih dibalut dengan amarah, Zainal memasuki lift. Tepat saat lift tersebut akan turun, lampu di atas kepalanya tiba-tiba saja mati. Dengan perlahan, lift berhenti. Ia terjebak di dalam lift. Sial, batinnya.
[Ding]
[Selamat, tuan Zainal. Anda telah mendapatkan Sistem Cinta Dewa Kekayaan]
[Berhasil terikat]
Tulisan-tulisan tersebut muncul di depan retinanya. Dengan teliti, ia memeriksa "Sistem Cinta Dewa Kekayaan" tersebut untuk melihat apa sebenarnya itu.
[Tuan memiliki sistem pendukung. Jika tuan menghabiskan uang untuk wanita, maka uang tersebut akan kembali sepuluh kali lipat. Sistem ini tidak memiliki batasan]
[Tuan memiliki sistem pendukung. Tuan dapat melihat tingkat kekaguman wanita terhadap tuan. Apabila tingkat kekaguman telah mencapai batas maksimum, sistem tidak akan menampilkannya lagi]
[Sistem ini bertujuan untuk membantu tuan mencari cinta sejati. Sistem akan otomatis terlepas saat tuan menemukan cinta sejati]
Petunjuk sistem telah selesai. Lampu di atas kepala Zainal kembali menyala dan lift beroperasi seperti sedia kala.
Belanjain duit buat cewek bisa dapet cashback? Bahkan balik tunainya sepuluh kali lipat? Maksudnya ngeluarin satu duit bisa dapet sepuluh duit? Bukannya itu cuman ngeluarin duit buat cewek doang, ya? Siapa yang ga bisa? Batinnya.
Setelah ia sampai kembali ke perusahaannya, Zainal menetapkan percobaan pertamanya. "Lily… Lily…" Zainal memanggil rekan kerjanya yanh ada di sebelah meja dengan suara kecil. Wanita cantik itu membalasnya dengan dengusan singkat —tanda ia bertanya.
"Kelar kerja ada rencana, gak? Gua pengen ngajakin lo makan malem." ajaknya pada wanita cantik itu.
Lily, atau Lily Wijaya, gadis tercantik di perusahaan ini. Sepasang kaki panjang nan putih bak putri salju, membuat para pria di sana terpesona. Ia amatlah cantik. Ia selalu menjadi dambaan sedari kecil. Dirinya amat pandai pula dalam berpakaian dan besolek, juga dikelilingi oleh penggemar setianya. Tak sedikit dari mereka yang merupakan orang kaya, memberi Lily hadiah barang bermerek mewah. Meski para pria di perusahaan itu ingin sekali tidur dengannya, namun mereka hampir tak berani mendekatinya terlalu dekat setelah memeriksa dompet mereka.
Aneh sekali, Zainal yang kikir itu, terkenal kikir di perusahaan, tiba-tiba saja berpikir untuk mengajak wanita tersebut makan. Apa dia mencoba merayunya? Lily tahu bahwa Zainal rela menghabiskan uangnya untuk memanjakan seorang gadis. Zainal mengajaknya makan kemungkinannya ia sedang bertengkar dengan kekasihnya dan mencoba PDKT dengan gadis lain. Namun, mengingat kembali sifatnya yang kikir, mungkin saja Zainal hanya bisa mengajaknya makan malatang seharga belasan rupiah saja. Ia malas pergi karena itu. "Kayaknya gak bisa, deh. Gua gak tau kelar lembur sampai jam berapa, juga harus pulang cepet buat ngasih kucing aku makan."
Zainal melirik tingkat kekaguman Lily terhadap dirinya.
[Suka +10]
Skor 0-10 untuk orang lewat, 11-50 untuk teman biasa, 51-60 untuk sahabat karib, 61-80 untuk kekasih, dan skor 81-100 untuk ke jenjang yang lebih serius, pernikahan. Tingkat suka Lily terhadap Zainal hanya sepuluh poin. Artinya, Zainal bahkan tak dianggap sebagai teman oleh Lily, hanya dianggap rekan kerja setingkat orang biasa saja.
Memang, Zainal sebelumnya hemat sekali dalam menggunakan uang. Mungkinkah wanita seperti Lily memiliki perasaan yang baik pada Zainal? Tetapi, itu semua sesuai dengan apa yang Zainal inginkan. Jika tingkat kekaguman meningkat terlalu tinggi, maka terlalu mudah untuk memaksimalkan skornya dan sistem tidak akan memberinya Balik Tunai.
"Oke, deh. Tadinya mau ngajak lo jalan-jalan ke GI (Grand Indonesia). Tapi kalo lo maunya pulang gak apa-apa, sih," ujar Zainal. Sebenarnya ia masih mencoba mencari tahu, apakah dirinya terlalu miskin untuk Lily sampai dia tak ingin pergi dengannya?
Begitu Lily mendengar tentang GI, matanya langsung berbinar. Agaknya ia sedikit tertarik. Grand Indonesia, Senayan City, dan Plaza pada dasarnya adalah pusat perbelanjaan sejenis yang menargetkan konsumen kelas atas di Ibu Kota. Ketiga tempat tersebut adalah alun-alun populer untuk orang-orang elite. Jika kamu ingin pergi ke sana, kamu takkan bisa pulang tanpa menghabiskan uang beberapa juta. Gaji Zainal pun sebenarnya hanya sekitar 13 juta rupiah
"Eh, baru keinget kalo gua kemaren baru aja beli mesin pemberi makan kucing otomatis. Kayaknya gua ga perlu pulang lebih awal," ucap Lily.
"Jadinya mau ikut, nih?" Tanya Zainal.
Setelah Lily mengiyakan tawarannya, Zainal mendesah dalam hatinya. Ternyata benar, Lily merasa Zainal itu terlalu miskin. Hanya dengan mendengar nama GI saja ia langsung berubah pikiran dan setuju untuk ikut. Bahkan tingkat kekagumannya naik lima poin.
Waktu berlalu hingga pukul tiga sore, lembur telah usai. "Gak nyangka lembur hari ini bentar doang. Gua ada temen cewek nih yang pengen ikut jalan-jalan juga. Dia boleh ikut, gak?" tanya Lily.
Bawa teman perempuannya? Itu sepertinya tak lebih dari ketakutannya pada Zainal akan berlaku tak pantas padanya. Atau tak ingin rugi? Namun, Zainal pun tak berpikir untuk mengejar Lily. Ia hanya ingin mendapatkan sedikit uang, bukan untuk kencan. Temannya ikut atau tidak bukanlah sebuah masalah.
"Oke, gak masalah." Zainal menyetujuinya. Tingkat kekaguman Lily naik 5 poin lagi.
Setelah Lily merias wajahnya tipis-tipis, ia dan Zainal bersamaan pamitan pulang lalu meninggalkan tempat kerja. Adegan tersebut disaksikan langsung oleh rekan-rekan kerjanya. Semuanya terkejut.
"Zainal ngajak Lily pergi jalan-jalan?"
"Gak percaya! Pergi keluar sekali aja harus ngeluarin seribu rupiah, bahkan cuman buat makan doang!"
"Semua juga tau dia kikir. Emang dia mau ngabisin duit buat Lily?"