

Langit mulai memerah di atas punggung bukit, memancarkan cahaya keemasan yang berpendar di antara pepohonan pinus yang tinggi dan kokoh, seakan menjadi saksi abadi bagi perjalanan seorang pemuda yang tampak letih namun bersemangat; kakinya melangkah mantap, menapaki jalanan berbatu yang menanjak, sementara di belakangnya suara desir angin membawa aroma lembab dari lembah di bawah.
"Jadi, kau benar-benar ingin ke Lembah Takdir itu?" tanya seorang gadis yang berjalan di sampingnya, napasnya tersengal tapi senyumnya tak pudar.
Pemuda itu menoleh, mengerutkan alis sejenak sebelum tersenyum tipis, seolah percakapan itu hanya angin lalu. "Kalau aku tidak mencoba sekarang, kapan lagi? Satu-satunya yang pasti hanyalah ketidakpastian, dan aku harus melihat sendiri apa yang ada di sana."
Gadis itu, yang matanya memancarkan rasa ingin tahu yang sama tajamnya dengan keberaniannya, tertawa pelan dan menggeleng. "Kau tahu, banyak yang mencoba dan kembali dengan luka, atau tidak kembali sama sekali. Apa kau pikir kau berbeda?"
Dia mengangkat bahu, menatap ke depan lagi, seperti tak ingin menunjukkan kegelisahannya. "Aku tak tahu. Tapi... aku tidak datang sejauh ini untuk kembali dengan tangan kosong," jawabnya lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Mereka melangkah dalam keheningan untuk beberapa saat, sampai akhirnya gadis itu kembali bicara dengan nada yang lebih rendah, seakan menghindari bisikan angin yang mungkin bisa membawa kata-katanya pergi. "Aku ikut karena penasaran. Tapi kalau ada bahaya, aku tak akan ragu pergi lebih dulu. Jangan terlalu berharap aku akan melindungimu."
Pemuda itu tersenyum lebih lebar, matanya berkilat, seakan menantang dunia yang siap menghadangnya. "Kita lihat saja siapa yang akan berbalik lari lebih dulu."
Tawa mereka berbaur dengan angin, sementara di depan, bayang-bayang lembah yang gelap dan sunyi mulai menyambut di ujung pendakian. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang menanti mereka di sana, tetapi entah kenapa, pemuda itu merasa seperti dipanggil, seakan lembah itu bukanlah tempat asing, melainkan bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi dalam setiap langkah dan napasnya.
Ketika mereka tiba di bibir lembah, pemandangan yang terbentang di depan mereka mengejutkan sekaligus menakjubkan. Dataran luas yang dihiasi bunga-bunga liar berwarna cerah menjalar di antara batu-batu besar, sementara air sungai yang jernih berkilau di bawah sinar matahari yang mulai meninggi, menciptakan suara gemericik lembut yang seolah mengundang mereka untuk mendekat. Namun, keindahan itu juga diselimuti nuansa misterius, seakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tirai alam yang memikat.
"Aku tidak menyangka lembah ini seindah ini," kata gadis itu, suaranya menggema lembut, tetapi ada ketegangan yang bisa ditangkap dalam nada bicaranya. "Tapi ada sesuatu yang aneh di sini, bukan?"
"Benar," jawab pemuda itu sambil melangkah lebih dekat ke tepi sungai, membiarkan air yang dingin menyentuh telapak kakinya. "Seperti... ada mata yang mengawasi kita."
Hawa dingin tiba-tiba melintas, menggerakkan dedaunan di sekitar mereka, dan menciptakan suara berdesir yang membuat bulu kuduk berdiri. Mereka bertukar pandang, ketakutan mulai menyelinap ke dalam jiwa mereka. "Mungkin kita sebaiknya mencari tempat yang lebih aman," saran gadis itu, tetapi suaranya tampak ragu.
Sebelum pemuda itu dapat menjawab, suara gemuruh jauh mengguncang ketenangan lembah. Dari dalam hutan, sekelompok makhluk berbulu lebat muncul, dengan mata merah menyala dan gigi tajam berkilau, siap mengancam. "T-tak mungkin! Apa itu?" gadis itu melangkah mundur, wajahnya memucat.
"Itu... serigala tanah!" seru pemuda itu, melangkah maju, mempertahankan sikap berani meski detak jantungnya semakin cepat. "Kita tidak bisa mundur sekarang! Kita harus bertahan!"
Dengan cepat, ia meraih batu tajam di dekat kakinya, mengangkatnya sebagai senjata. "Ikut aku! Kita harus bergerak ke arah pohon besar itu!" tunjuknya pada sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh di sisi lembah.
Gadis itu mengangguk, meskipun ragu. Mereka berlari, suara langkah kaki dan detak jantung membaur dengan jeritan serigala yang mulai mengejar mereka. "Apakah kita akan selamat?" tanyanya dengan suara parau, berusaha tetap tenang.
"Selama kita tidak menyerah!" jawab pemuda itu sambil melirik ke belakang, melihat makhluk-makhluk itu semakin dekat. Mereka melesat, terhindar dari serangan gigi tajam dan cakar yang siap menerkam, hingga akhirnya sampai di bawah pohon besar, bersembunyi di balik batangnya yang lebar.
"Ambil napas, kita perlu berpikir," kata pemuda itu, berusaha menenangkan gadis itu yang terengah-engah di sampingnya. "Jika kita bisa mengalihkan perhatian mereka, mungkin kita bisa keluar dari sini."
Gadis itu menatapnya, matanya penuh harap namun tetap skeptis. "Bagaimana caranya? Kita tidak punya banyak pilihan."
"Dengar," pemuda itu merencanakan strategi sambil mengamati sekeliling, "aku akan menarik perhatian mereka. Saat mereka semua mengalihkan fokus, kau harus mencari cara untuk melarikan diri. Kau bisa menuju tebing di sebelah sana dan menunggu aku di sana."
“Apakah kau yakin bisa melakukannya?” tanya gadis itu, suaranya bergetar, tetapi ada kekuatan yang mulai tumbuh dalam tatapannya.
“Satu-satunya cara kita bisa keluar dari lembah ini adalah dengan berani,” jawabnya, menatap gadis itu dengan ketegasan yang tak tergoyahkan. "Kau harus percaya padaku."
Dengan ketegasan itu, ia melangkah keluar dari tempat persembunyian mereka, berhadapan langsung dengan serigala tanah yang menggeram, dan saat itu, harapan dan ketegangan bergelora dalam hati mereka, bersiap menyambut apa pun yang akan datang.
Ketika Han Li melangkah keluar dari bayang-bayang pohon besar, gadis itu merasakan detak jantungnya berpacu dengan panik. “Han Li! Tunggu!” teriaknya, suaranya menggetarkan keheningan lembah yang tegang. Ia ingin menarik pemuda itu kembali, tetapi kakinya seolah terikat, tidak bisa bergerak.
Han Li menoleh, melihat ke dalam mata gadis itu dengan sorot penuh tekad, seolah dia bisa mendengar desahan hatinya. “Aku akan baik-baik saja, Mei Lian!” jawabnya, suaranya tegas meski ada sedikit getaran. “Kau harus pergi sekarang, jangan sampai terjebak!”
“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu di sini!” teriaknya, seakan suara hatinya lebih kuat daripada rasa takut yang menyelimuti. Dia tidak bisa membiarkan Han Li menghadapi ancaman itu sendirian; mereka telah melalui banyak hal bersama, dan rasa saling percaya yang telah terbangun tak mungkin dihancurkan oleh keadaan ini.
“Dengar,” Han Li berusaha menenangkan Mei Lian, mengulurkan tangan dan memegang bahunya. “Jika aku terjebak di sini, kita berdua tidak akan selamat. Kau adalah harapan satu-satunya untuk melanjutkan misi kita. Lembah ini penuh bahaya, dan kita tidak bisa membiarkan diri kita terpisah lebih jauh. Pindah ke tebing sana, kau bisa bertahan di sana sampai aku menyusul.”
“Han Li,” suara Mei Lian serak, air mata mulai menggenang di sudut matanya, “apa kau tidak mengerti? Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi mereka sendirian. Kita menghadapi ini bersama-sama!”
Namun, Han Li tetap teguh. “Jika kita terus berdebat, kita akan kehilangan kesempatan!” Dia menatap serigala tanah yang semakin mendekat, tubuh mereka bergetar dalam semangat berburu. “Bersiaplah, Mei Lian. Sekali lagi, ketika aku berteriak, kau harus pergi. Kita tidak punya banyak waktu.”
Mei Lian merasakan rasa putus asa melanda. “Tapi—”
“Tidak ada tetapi!” potong Han Li, suaranya meninggi dengan ketegasan. “Kau lebih penting daripada yang kau tahu. Aku akan melindungimu, tapi kau harus melakukan bagianmu!”
Mereka bertukar tatapan yang penuh makna, dan sejenak, semua yang ada di sekeliling mereka menjadi kabur. Hanya ada mereka berdua, jantung berdegup kencang, dan satu misi untuk bertahan hidup.
Akhirnya, dengan air mata yang tertahan, Mei Lian mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan menunggu. Tapi… kembalilah, Han Li. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Janji,” jawabnya dengan suara tegas. Dia meraih kepalanya dan menepuknya lembut, seolah memberi kekuatan. “Sekarang pergi!”
Dengan satu tarikan napas dalam, Han Li berpaling, bersiap menghadapi makhluk-makhluk buas yang mendekat. “Hei! Serigala sialan! Ayo sini!” teriaknya, suara penuh tantangan. Ia mengangkat batu tajam yang dipegangnya, berusaha menyiapkan diri untuk serangan yang akan datang.
Mei Lian, meski hatinya berat, melangkah mundur menuju tebing. Sementara itu, Han Li berlari ke arah serigala, menembus batas rasa takut dan menjelajahi keberanian yang baru saja ditemukan.
“Sekarang, hadapi aku!” teriaknya, mengarahkan perhatian serigala-serigala itu padanya, seolah dia adalah satu-satunya rintangan antara mereka dan kebebasan Mei Lian. Dalam hatinya, ia berdoa agar keberaniannya cukup untuk melindungi orang yang telah menjadi cahaya dalam hidupnya.