Musim Semi, MIT – Pukul 15:00
Suasana di Massachusetts Institute of Technology (MIT) hari ini sangat meriah. Aula utama kampus dipenuhi oleh ratusan mahasiswa yang mengenakan jubah hitam khas kelulusan. Beberapa di antara mereka tampak berbicara dengan antusias, saling berfoto, atau sekadar tertawa bersama teman-teman seperjuangan.
Namun, di antara hiruk-pikuk kebahagiaan itu, seorang pemuda berusia 16 tahun duduk diam di barisan depan. Matanya yang tajam dan penuh pemikiran menatap lurus ke panggung. Ia mengenakan toga dengan dua selempang emas yang menandakan kehormatan akademiknya. Namanya adalah Mill Jens, atau lebih akrab dipanggil MJ, seorang jenius yang berhasil menyelesaikan double major dalam Fisika Teoritis dan Teknik Biomedis hanya dalam waktu beberapa tahun.
Di sekelilingnya, teman-teman seangkatannya—yang rata-rata berusia jauh lebih tua—tampak menikmati momen kelulusan mereka dengan penuh kebahagiaan. Namun, MJ tidak seperti mereka. Ia tidak memiliki banyak teman dekat, bukan karena ia tidak disukai, tetapi lebih karena ia selalu merasa berbeda.
"Akhirnya selesai juga," pikirnya dalam hati sambil melirik layar ponselnya.
Tiket penerbangan ke kampung halamannya, Sudiang, Indonesia, sudah siap. Dalam dua hari, ia akan kembali ke tempat di mana semuanya dimulai.
Sementara ia tenggelam dalam pikirannya, suara mikrofon berderak, dan rektor universitas mulai berbicara.
“Para mahasiswa yang luar biasa, hari ini adalah hari yang bersejarah. Kalian telah mencapai sesuatu yang hanya bisa dicapai oleh sedikit orang di dunia ini...”
MJ mendengarkan dengan saksama, tetapi pikirannya tetap melayang ke masa depan. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun di MIT, tetapi tidak pernah benar-benar merasa terikat dengan tempat ini. Ilmu pengetahuan adalah satu-satunya yang selalu membuatnya tertarik, tetapi bahkan dengan semua pencapaiannya, ia masih merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.
Tepuk tangan meriah membahana saat beberapa mahasiswa terbaik naik ke panggung untuk menerima penghargaan mereka. Salah satunya adalah Claire Evans, seorang gadis berambut pirang dengan kacamata tebal, yang merupakan salah satu dari sedikit orang yang bisa dianggap MJ sebagai teman.
Saat giliran MJ dipanggil, aula kembali bergemuruh. Ia dikenal sebagai legenda di kampus ini—remaja jenius yang menguasai dua bidang sekaligus dan menghasilkan penelitian yang menggemparkan dunia akademik.
Ia berjalan dengan tenang ke atas panggung, menerima piagamnya dari rektor, dan menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. Kilatan kamera dan tepuk tangan mengiringi langkahnya kembali ke tempat duduk.
Ketika upacara kelulusan berakhir, Claire langsung mendekatinya.
"Jadi, apa rencanamu selanjutnya, MJ?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Aku akan pulang," jawab MJ singkat.
Claire mengerutkan kening. "Ke Indonesia? Kenapa? Dunia ini luas, kau bisa melakukan apa pun dengan otakmu. Bergabung dengan proyek penelitian besar, masuk ke NASA, atau bahkan membuat perusahaan sendiri!"
MJ hanya tersenyum tipis. "Aku sudah terlalu lama di sini. Sudah waktunya aku pulang."
Claire mendesah. "Kau selalu seperti ini. Tidak ada yang tahu apa yang ada di kepalamu. Tapi, setidaknya datanglah ke pesta kelulusan malam ini. Kau harus merayakan ini, MJ!"
"Aku tidak terlalu suka pesta," jawab MJ dengan nada datar.
"Tidak ada yang suka pesta sampai mereka mencobanya!" Claire bersikeras. "Ayo, sekali ini saja!"
MJ berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah."
Claire tersenyum puas. "Bagus! Sampai jumpa nanti malam!"
MJ menyaksikan gadis itu pergi sebelum ia sendiri meninggalkan aula.
---
Pukul 20:00 – Pesta Kelulusan
Sebuah vila mewah di pinggiran kota menjadi tempat pesta kelulusan. Musik berdentum, cahaya lampu warna-warni menghiasi ruangan, dan puluhan mahasiswa sedang menikmati malam terakhir mereka sebagai bagian dari MIT.
MJ berdiri di sudut ruangan, menyesap segelas jus jeruk sambil mengamati suasana. Seperti yang diduganya, ini bukan tempatnya. Claire muncul dari kerumunan, menggamit tangannya.
"Ayo, jangan hanya berdiri di sini! Kau harus menikmati malam ini!"
"Aku sudah datang, bukankah itu cukup?" MJ menanggapinya dengan santai.
Claire tertawa. "Kau memang keras kepala. Tapi serius, MJ... kau sudah bekerja sangat keras selama ini. Tidakkah kau ingin sedikit bersenang-senang?"
MJ mengangkat bahu. "Mungkin lain kali."
Malam itu berlalu dengan cepat. Meskipun MJ tidak terlalu menikmati pesta, ia tetap menghormati ajakan Claire dan menghabiskan beberapa jam di sana sebelum akhirnya kembali ke asrama.
---
Pukul 06:00 – Hari Keberangkatan
Matahari baru saja muncul di ufuk timur saat MJ membereskan barang-barangnya. Ia tidak memiliki banyak yang perlu dibawa—hanya beberapa pakaian, laptop, dan dokumen penting.
Ketika taksi membawanya menuju Bandara Internasional Logan, ia menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang.
"Apa yang akan terjadi setelah aku pulang?"
Ia tidak memiliki jawaban pasti.
Setelah menyelesaikan proses imigrasi dan memasuki pesawat, MJ memasang headphone-nya dan memejamkan mata. Ini akan menjadi perjalanan panjang.
---
Pukul 22:30 – Di atas Samudra Pasifik
Pesawat telah mengudara selama beberapa jam tanpa masalah. MJ sesekali melihat keluar jendela, menyaksikan langit malam yang gelap dan bintang-bintang yang berkilauan.
Namun, tiba-tiba...
DUMMM!
Guncangan hebat mengguncang pesawat. Lampu di dalam kabin berkedip-kedip, dan suara kepanikan mulai terdengar dari para penumpang.
Kapten pesawat berbicara melalui pengeras suara. “Para penumpang, harap tetap tenang. Kita sedang mengalami turbulensi yang tidak terduga.”
Namun, MJ merasa ada sesuatu yang tidak normal.
Ia melihat keluar jendela dan menyadari bahwa awan di luar berubah menjadi pusaran hitam pekat. Petir berkilatan di sekelilingnya, tetapi tidak seperti badai biasa.
"Ini... ini bukan fenomena alam biasa..."
Pesawat mulai bergetar semakin kuat. Orang-orang mulai berteriak, masker oksigen jatuh dari langit-langit, dan suasana menjadi semakin kacau.
Kemudian, semuanya menjadi gelap.
MJ merasakan tubuhnya tertarik ke dalam kegelapan yang tak berujung. Waktu seolah berhenti. Tidak ada suara, tidak ada cahaya—hanya kehampaan mutlak.
Sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu pemikiran terakhir terlintas di benaknya:
"Apa yang sebenarnya terjadi...?"
---