"Tidak bisa ayah, aku menolak perjodohan ini!" Seru seorang wanita cantik berusia sekitar lima belas tahun, berkulit putih bersih. Rambutnya tergerai panjang hingga punggung. Namun begitu sepertinya wanita itu bukanlah wanita seperti kebanyakan, itu terlihat dari sebilah tombak bermata tiga yang terselip dipunggungnya.
"Tapi perjodohan ini sudah diatur oleh kedua belah pihak sejak kamu masih kecil, Ni Mas." Ujar seorang pria berusia separuh baya, wajahnya teduh, dengan kumis tipis menghiasi bibirnya. Gurat gurat ketampanan masih terlihat jelas walaupun usianya sudah tak muda lagi. Dia adalah Ki Ageng Lembayung, seorang penguasa daerah diwilayah timur Jawa, tepatnya di kerajaan Wanasari. Dia adalah pengikut setia Raja Dharmawangsa Teguh, Sang Penguasa Medang Kamulan.
Sedangkan anak perempuannya bernama Nimas Larasati, walaupun kecantikannya menjadi perhatian banyak pria dan raja muda tanah Jawa, namun sedikitpun dia tak tergerak untuk cepat menikah, keinginannya hanya ingin menimba ilmu Kanuragan dan ilmu siasat perang di Padepokan Wilis Wanagung.
"Pokoknya aku tidak mau!"
Ki Ageng Lembayung menghela nafas berat, "Nimas, Raden Pencar Karang sebentar lagi naik tahta dikerajaan Kanjuruhan, rencananya akan mempersunting mu setelah Prabu Airlangga menikah dengan Dewi Galuh putri Prabu Dharmawangsa Teguh. Mungkin akan dilangsungkan dalam tiga purnama kedepan." Kata Ki Ageng Lembayung lembut.
Nimas Larasati bangkit dari duduknya, "Ayah, aku sudah memutuskan untuk mencari kehidupanku sendiri. Aku ingin paripurna di padepokan Wanagung. Banyak yang harus dipelajari disana."
Ki Ageng Lembayung terlihat menggelengkan kepala beberapa kali, dia tahu persis watak anak perempuannya itu. Keras dan berdedikasi.
"Nduk, Nimas, Ramamu sebentar lagi memutuskan untuk Mandhito. Bertapa dan menjauhi kehidupan duniawi menuju Sang Batara Agung. Kau lah yang seharusnya meneruskan pemerintahan kerajaan kita. Wanasari bukan kerajaan besar seperti Kanjuruhan, ataupun Wengker, tapi kita Dimata Paduka Raja merupakan kerajaan paling setia dan paling dipercaya." Ujar wanita paruh baya disebelah Ki Ageng Lembayung, tak lain dan tak bukan dia adalah istri Ki Ageng Lembayung, Nyai Rara Tapa.
"Maaf Kanjeng ibu, biarpun aku terlahir sebagai perempuan namun aku menolak kodrat ini. Aku ingin belajar dan berkelana melihat dunia yang digelar luas oleh Sang Hyang Akarya Jagad. Untuk kerajaan Wanasari, kuserahkan pada Adinda Aryaseta atau Aryabima." Tegas Nimas Larasati.
Nyai Rara Tapa pun menghela nafas berat, dia pun tak bisa membujuk anak gadis satu satunya untuk mengikuti apa yang sudah digariskan oleh kedua orang tuanya. Pernikahan antara putri kerajaan Wanasari dan kerajaan Kanjuruhan memang dirasa perlu untuk mengikat kekuatan antar kerajaan yang berafiliasi kepada kerajaan pusat, Yaitu Medang Kamulan.
Meskipun kejayaan dan kemuliaan Kerajaan Medang Kamulan sangat terasa bagi kerajaan kerajaan kecil dibawahnya, dan itu sudah terjadi ketika Mpu Sindok memindahkan kerajaan Medang dari lereng Merapi menuju ketimur, hingga kepemimpinan Dharmawangsa Teguh, semua rakyatnya tak ada yang tak puas. Raja raja Medang Kamulan merupakan raja yang sangat membumi dan merakyat.
Memang harus diakui, tetap saja ada sebagian golongan yang merasa tidak puas atas kepemimpinan Raja Medang Kamulan, namun itu hanya sebatas letupan pemberontakan kecil yang berawal dari perebutan tahta dari kerajaan kerajaan dibawah Medang Kamulan. Dan merekapun dengan sangat cepat mampu dipadamkan, matikan bara sebelum menjadi api. Itu adalah sebuah strategi perang yang dilakukan oleh Medang Kamulan secara turun temurun.
Pemberantasan para gerombolan begal, dan bandit juga dilakukan secara cepat dan masive. Tentu saja itu diperlukan untuk menjaga ketentraman masyarakat dan keamanan para saudagar yang ingin berbisnis diseluruh wilayah Medang Kamulan.
Terutama di kepemimpinan Dharmawangsa Teguh yang membuka akses perdagangan internasional melalui jalur Bengawan Solo. Membuat anakan sungai dari Karangbaya sampai menuju wilayah Dandangilo Kadipaten Tuban. Ini dilakukan untuk mempercepat proses transportasi lewat jalur sungai. Kapal kapal dagang bisa lebih cepat masuk kepusat perdagangan Medang Kamulan, daripada harus memutar melewati Pelabuhan Kembang Putih diwilayah Tuban dan Gresik.
Sektor pembangunan untuk pengairan sawah dan kebun tak luput darinproyek ambisius Dharmawangsa Teguh, target mandiri pangan sudah jauh hari dirancang dan dieranya lah, Bengawan Solo dan Kali Brantas dijadikan sumber pengairan utama bagi sektor pertanian. Membangun bendungan! Selain untuk mengairi persawahan juga digunakan untuk penanggulangan banjir besar jika Bengawan Solo dan Brantas sedang marah.
Kembali ke Regol aula kerajaan Wanasari, yang sedikit tegang karena Nimas Larasati bersikukuh menikah perjodohan dengan putra mahkota kerajaan Kanjuruhan.
"Ayah, Ibu ampuni kelancangan Nimas. Bukan bermaksud untuk tidak berbakti kepada kalian berdua. Namun tolong mengertilah apa yang aku impikan selama ini."
Ki Ageng Lembayung terlihat sedikit lemas, diabtak tahu bagaimana lagi membujuk anak perempuan terkasihnya ini. Demikian juga sangat ibu, mereka tahu sejak kecil anaknya itu ingin berkelana mengelilingi Nusantara dan itu ditunjukkan dengan menjadi murid padepokan Wanagung selama hampir tujuh tahun. Masa kecil yang harusnya dihabiskan dengan kasih sayang dan manja, namun dia memilih untuk berpisah dengan orang tuanya demi menuntut ilmu untuk meraih apa yang diimpikan selama ini.
Ki Ageng Lembayung menghela nafas panjang dan bertanya, "Apa rencanamu sekarang Nimas?"
"Maaf ayah, aku ingin kembali ke padepokan Wanagung secepatnya. Aku ingin segera paripurna dan segera melangkah melihat dunia yang luas ini."
Ki Ageng Lembayung manggut manggut, hatinya perih namun dia tak ingin impian putri terkasihnya tak terwujud justru karena kehendak orang tua.
"Baiklah, kalau keinginanmu sudah bulat. Romo dan ibu merestuimu. Hati hati dalam melangkah, selalu berpikir panjang sebelum mengambil tindakan. Suatu saat jika kau sudah puas dengan mimpimu, kau harus segera kembali pulang dan menunaikan tugas serta kodratmu sebagai seorang perempuan." Ki Ageng Lembayung memberikan nasehatnya.
Nimas Larasati menjura hormat kepada kedua orang tuanya, "Nasehat ayah akan selalu kuingat. Nimas mohon pamit kembali ke padepokan Wanagung Ayah, Ibu."
Ki Ageng Lembayung mengangguk, "Berangkat lah." Ujarnya tegar, walaupun matanya terlihat berkaca kaca. Bagaimanapun dia adalah putri terkasihnya, yang seharusnya dia lindungi sampai ada seorang lelaki yang menggantikannya untuk melindungi hidupnya, yakni menikah dan bersuami.
"Nimas mohon pamit." Kata Nimas Larasati kembali menjura hormat lalu berbalik. " O iya," Nimas Larasati kembali berbalik dan memandang Aryaseta dan Aryabima, "kalian badut badut kecil, jangan berleha leha. Belajar yang rajin dan tempat dirimu sekuat mungkin. Kalian akan jadi pemimpin yang harus melindungi rakyat Wanasari, kalau kalian lemah dan tak becus, awas!" Tegas Nimas Larasati kepada kedua adik kembarnya itu sembari mengepalkan tangan kepada mereka berdua.
Hampir saja keduanya mewek digertak oleh kakaknya yang galak, namun begitu keduanya lantas berlari menghambur kearah Nimas Larasati dan memeluknya dengan erat.
"Kakak, kami rindu." Ujar Aryaseta sambil sesenggukan.
Pletak!pletak!
Suara jitakan terdengar. Kedua bocah berusia enam tahun itu melepaskan pelukan dan mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya yang sakit karena jitakan kakaknya.
"Jangan cengeng! Laki laki kok nangis aja bisanya."
"Tapi... Tapi." Aryabima mencoba merajuk.
Nimas Larasati kemudian berjongkok lalu memeluk kedua adiknya itu dengan lembut.
"Dengarkan kalian berdua, kalian adalah anak yang pintar dan berbakat, kelak Wanasari akan mencapai hal yang Gilang gemilang ditangan kalian. Yang penting jangan saling bermusuhan satu sama lain. Kalian harus saling mendukung dan bekerjasama. Lihat ayah, dia bekerja keras demi tawa dan suka rakyatnya. Jadikanlah dia panutan kalian kelak. Lihat ibu, dia adalah karakter yang mampu mendukung keluarganya untuk meraih cita-cita. Kesabarannya seluas samudra, terkadang ada perih dan luka dihati namun dia tetap tersenyum untuk kita, untuk ayah dan demi rakyat Wanasari."
"Kapan kita akan ketemu lagi kakak? Aku masih rindu." Aryaseta masih merajuk.
"Nanti jika kalian sudah kuat sebagai pendekar pilih tanding, nanti jika kalian sudah bijaksana sebagai pemimpin. Kita pasti ketemu lagi."
Entah perkataan itu sebagai firasat atau sekedar ingin menghibur kedua adiknya, yang jelas sebuah prahara besar yang tak bisa terbayangkan akan terjadi.