Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Raja jalan Shaka!

Raja jalan Shaka!

Tian Di | Bersambung
Jumlah kata
134.1K
Popular
1.9K
Subscribe
228
Novel / Raja jalan Shaka!
Raja jalan Shaka!

Raja jalan Shaka!

Tian Di| Bersambung
Jumlah Kata
134.1K
Popular
1.9K
Subscribe
228
Sinopsis
PerkotaanAksiUrbanDarah Muda
Shaka hobi berpetualang, memiliki kecintaan pada basketball dan bakat dalam beladiri. Namun, ayahnya adalah sosok yang menginginkan putranya menjadi sosok besar di masa depan, memaksanya fokus dalam akademiknya. Apa Shaka bisa tetap mempertahankan passion-nya?
Terlambat!

Jam beker di meja bergetar heboh, memekik nyaring seperti sirine kebakaran. Tapi yang jadi korban kali ini bukan gedung, melainkan seorang remaja yang masih terjebak dalam mimpi indahnya.

Shaka mengerjap, meraba-raba ponsel di bawah bantal. Matanya membulat seketika. 07.20!

"Astaga! Gua telat!"

Dalam hitungan detik, dia sudah melompat dari tempat tidur, meraih seragam yang belum disetrika, dan menyikat gigi dengan kecepatan turbo. Sarapan? Skip. Sepatu? Nyaris lupa kalau kaki masih telanjang.

Lima menit kemudian, dia meluncur keluar rumah dengan sepeda motor, nyaris menabrak gerobak tukang bubur. "Maaf, Bang!" teriaknya, meskipun lebih fokus pada lampu merah yang nekat diterobos.

Sampai di sekolah, gerbang sudah tertutup rapat. Pak Satpam, pria berperut buncit dengan kumis tebal, menatapnya dengan ekspresi puas.

"Telat lagi, Shaka?"

Shaka menyeringai, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sekotak roti isi daging yang dia ambil dari dapur tadi. "Pak, kita ngobrol baik-baik, ya? Saya punya sesuatu yang bikin pagi Bapak lebih cerah."

Pak Satpam melirik itu, lalu melirik Shaka. Hening sejenak.

"Masuk cepat sebelum saya berubah pikiran," gumamnya sambil membuka gerbang sedikit.

Terlambat? Iya. Tapi setidaknya dia masih bisa selamat.

Shaka berjalan cepat menuju kelas, melewati lorong yang sudah sepi. Dia menarik napas lega begitu sampai di depan pintu, lalu mengintip ke dalam. Aman, belum ada guru.

Dengan langkah santai, dia masuk dan langsung jadi pusat perhatian.

"Idola telat lagi!" ujar Rio, sahabatnya, dengan seringai lebar.

Shaka mengangkat bahu. "Biasa, hidup penuh tantangan."

Dia baru saja duduk ketika Bu Ratna, guru Bahasa Indonesia, masuk. Tanpa buang waktu, beliau langsung membuka buku dan mulai menjelaskan materi tentang majas.

Awalnya, Shaka masih berusaha fokus. Tapi setelah lima menit, kata-kata Bu Ratna berubah jadi suara dengungan. Matanya mulai terasa berat.

Dia menyandarkan kepala di meja, berniat istirahat sebentar aja. Tapi tahu-tahu...

PLAK!

Papan penghapus mendarat tepat di meja Shaka, membuatnya tersentak bangun. Seisi kelas tertawa.

"Abiyan Arshaka," suara Bu Ratna terdengar datar, tapi menusuk. "Kalau tidur di kelas, tolong jangan pakai seragam sekolah. Pakai piyama sekalian."

Shaka nyengir, mencoba menyelamatkan harga diri yang tersisa. "Maaf, Bu. Saya lagi praktik majas... eh, apa tuh yang suka bikin orang terlelap?"

"Kamu mau bilang hiperbola atau eufemisme, Nak?"

"Lebih ke efek samping metode pengajaran, sih," gumam Shaka pelan.

Seisi kelas kembali tertawa, tapi kali ini dengan ngeri. Shaka mungkin jago basket, tapi nyali ngelawan Bu Ratna? Itu level lain.

Bu Ratna menatapnya tajam, lalu tersenyum samar. "Baiklah, kalau kamu sudah cukup istirahat, ayo ke depan. Jelaskan kepada teman-teman tentang majas yang baru saja kita bahas."

Shaka mengeluh dalam hati. Pagi ini makin kacau.

Tapi ya sudah, idola juga harus bisa bertahan di segala medan.

Shaka berjalan ke depan dengan santai, meskipun dalam hati dia masih mengutuk nasib buruknya pagi ini. Seisi kelas menatapnya dengan ekspresi penasaran—mereka tahu Shaka bukan tipe yang serius belajar, tapi siapa tahu dia bisa memberikan kejutan.

Dia mengambil spidol, menuliskan beberapa kata di papan tulis.

"Oke, teman-teman, kita ngomongin majas ya. Kalau kalian sering baca komik atau novel, pasti sering ketemu sama gaya bahasa ini. Misalnya, kalau di manga olahraga, ada kalimat kayak ‘Lari gue secepat kilat!’ Nah, itu hiperbola, karena jelas-jelas manusia nggak bisa nandingin kilat, kan?"

Beberapa teman mulai mengangguk, tampak tertarik.

"Terus, kalau di novel, ada yang bilang, ‘Hati gue hancur pas dia ninggalin gue.’ Itu metafora. Hati lo nggak beneran hancur kayak kaca jatuh, tapi itu buat ngegambarin perasaan sakit hati yang dalam."

Shaka melirik Bu Ratna, yang menyilangkan tangan di dada, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Terakhir, ada eufemisme. Contohnya, di cerita-cerita sedih, orang nggak bilang ‘Dia mati,’ tapi pakai kata ‘Dia telah berpulang’ atau ‘Dia sudah tiada.’ Tujuannya biar terdengar lebih sopan."

Seisi kelas terdiam sesaat, lalu Rio berseru, "Gokil! Shaka serius, men!"

Beberapa teman bertepuk tangan kecil, sementara yang lain terkikik.

Bu Ratna menghela napas, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. "Luar biasa, Shaka. Ternyata kamu bisa menjelaskan dengan baik."

Shaka mengangkat bahu. "Saya sering baca, Bu. Komik, novel... Pokoknya yang ada ceritanya."

Bu Ratna mengangguk. "Bagus. Tapi lain kali, usahakan tidak tidur di kelas dulu sebelum menunjukkan kepintaranmu."

Seisi kelas tertawa lagi, sementara Shaka kembali ke bangkunya dengan rasa bangga. Oke, mungkin pagi ini nggak sepenuhnya buruk.

Kriiinggg!

Bel istirahat akhirnya berbunyi. Shaka meregangkan tubuhnya, merasa seperti baru saja keluar dari medan perang. Saatnya kembali ke habitat.

Dengan langkah santai, dia berjalan menuju lapangan basket. Begitu sampai, suasana sudah ramai. Beberapa anak dari kelas lain sedang main, sementara yang lain sekadar nongkrong di pinggir lapangan.

Shaka baru saja hendak bergabung ketika suara gaduh terdengar. Bola basket yang dipantulkan sembarangan melesat ke arah luar lapangan—tepat ke arah seorang gadis yang sedang berjalan di sampingnya.

Amira.

Primadona sekolah.

Cewek yang bisa bikin cowok-cowok di sekolah ini mendadak sok jago demi menarik perhatiannya.

Mata Shaka membesar. Sial, itu bakal kena kepalanya!

Tanpa berpikir panjang, dia melompat ke depan, tangan terulur cepat. Plak! Bola itu berhenti di tangannya, hanya beberapa sentimeter dari kepala Amira.

Hening.

Seisi lapangan seperti menahan napas sebelum akhirnya…

"WOOOAAAHH!!"

Sorakan pecah. Beberapa orang bersiul, ada yang menepuk-nepuk punggung Shaka.

"Anjir, refleksnya keren banget!"

"Kayak di anime basket!"

Shaka cuma nyengir, sementara Amira menatapnya dengan mata terkejut. Setelah beberapa detik, gadis itu tersenyum kecil.

"Nice save, Shaka," katanya santai sebelum melanjutkan langkahnya.

Shaka masih terpaku beberapa saat sebelum akhirnya Rio menyenggolnya dari belakang.

"Bro… cewek idaman baru aja ngomong ke lo."

Shaka menghela napas, melempar bola ke arah temannya. "Biasa aja, kali."

Shaka menggeleng pelan, mencoba mengabaikan kejadian barusan. Fokus.

Dia berlari ke tengah lapangan, menerima operan dari Rio. Begitu bola berada di tangannya, seolah seluruh dunia mengecil. Hanya ada dia, ring basket, dan satu tujuan: mencetak skor.

Dribble. Satu pemain lawan mencoba merebut bola, tapi Shaka memutar badannya dengan cepat, melewatinya dengan mudah.

"Anjir, cepet banget!" seru salah satu teman yang menonton.

Satu pemain lagi menghadangnya di dekat ring, tapi Shaka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dia menekan lantai dengan kakinya, melompat tinggi—lebih tinggi dari yang mereka duga.

DUARR!

Bola menghunjam ke dalam ring dengan keras. Slam dunk sempurna.

Hening sesaat. Lalu…

"WOOAAAHH!!"

Seisi lapangan kembali riuh. Beberapa anak yang menonton di pinggir lapangan bersorak heboh. Rio sampai memegangi kepalanya sendiri.

"Gila, Shaka! Lo pikir lo siapa? Michael Jordan?!"

Shaka mendarat dengan mantap, lalu menyeringai sambil mengusap hidungnya. "Bukan. Tapi bisa dibilang, gue versi lebih cakepnya."

Tawa pecah di lapangan. Shaka hanya terkekeh, lalu melirik ke pinggir lapangan. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan Amira yang masih berdiri di sana.

Gadis itu menatapnya sesaat, lalu tersenyum tipis sebelum kembali berjalan pergi.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca