"Kakek! Apa yang kamu lakukan?"
Anthony berteriak setelah membuka pintu samping rumah dan terkejut melihat lelaki tua yang membesarkannya sejak kecil berdiri di atas bangku batu sambil memegang tali yang menggantung di dahan pohon.
"Jangan mendekat!" hardik lelaki tua itu dengan raut wajah serius menatap ke arah Anthony
"Ayolah kek!"
"Apakah kalah sepuluh ronde catur harus sampai seperti ini?"
Anthony Erlangga, pemuda yang cukup tampan itu tersenyum melihat tingkah lelaki tua tersebut. "Benar kata orang, semakin tua kelakuannya menjadi mirip anak kecil yang butuh perhatian" gumam Anthony pelan.
"Anak kurang ajar! Kamu tidak memberikan kesempatan padaku untuk menang."
"Aku sudah mengajarkan semua ilmuku padamu, tapi kamu tidak berbelas kasih pada tulang tua ini sedikitpun. Apa gunanya hidupku ini." Lelaki tua itu menyesali diri menatap tali gantungan di depannya.
"Kakek, bukannya kamu yang mengajarkanku untuk selalu berusaha sekuat tenaga dalam segala hal," balas Anthony yang melihat tingkah tidak masuk akal lelaki tua itu.
BRUUMMM…
Dua buah mobil sedan mewah terdengar dari kejauhan menaiki Gunung Mandalesta, Desa Wanasari dan berhenti tepat di depan gerbang halaman. Seorang gadis cantik dengan anggun turun dari mobil dan berdiri menatap ke arah rumah kecil di depannya.
"Nona, apakah benar ini tempat tinggal orang itu?" Seorang pria yang turut turun bersama gadis itu dan berdiri disampingnya sementara dua orang pengawal mengikuti berdiri di belakang mereka. Gadis itu tidak menyahut namun matanya melihat ke sekeliling rumah kecil tersebut.
Melihat tamu yang datang, lelaki tua buru-buru melompat turun dari bangku dan langsung duduk bersila sambil memejamkan mata. Anthony membalikkan badan dan melihat gadis cantik itu berjalan mendekati mereka bersama tiga orang lelaki yang bersamanya.
"Tuan Besar Bastian, perkenalkan namaku Laura Larasati dari keluarga Larasati di Kota Ethera." Gadis itu memperkenalkan dirinya sambil membungkuk hormat diikuti oleh para pengawalnya.
Lelaki tua yang dipanggil Tuan Besar Bastian itu membuka mata dan menyipitkannya ke arah gadis cantik tersebut.
"Laura Larasati? Apakah kamu cucunya Darvian?" Lelaki tua pura-pura terkejut tidak menyangka oleh kedatangan mereka.
Laura Larasati mengangguk mengiyakannya.
"Bagaimana kabar kakekmu?" Bastian memperbaiki posisi duduknya dengan santai.
Mendengar pertanyaan Bastian, raut wajah Laura berubah sedih. Dia menceritakan kondisi kakeknya, Darvian yang sedang kritis dan memohon bantuan pada Bastian untuk turun gunung mengobatinya.
Bastian menghela nafasnya. "Aku sudah tua dan telah lama pensiun dalam pengobatan. Tapi ada seseorang yang bisa menyelamatkan kakekmu."
"Siapakah orang itu, Tuan?" Laura bersemangat ingin mengetahui orang tersebut.
Bastian menunjuk ke arah Anthony. "Dia tunanganmu yang akan menyembuhkan kakekmu."
"Tunangan?"
Laura mengerutkan alisnya mendengar perkataan Bastian sementara wajah Anthony tertegun tidak mengerti akan hal itu. Anthony berjalan tertatih-tatih mendekati Bastian. "Jangan bercanda, Kek, mana ada omong kosong seperti itu."
Bastian kemudian berjalan ke arah rumah dan mengambil sebuah kotak kecil yang di dalamnya berisi amplop lusuh lalu memberikannya kepada Anthony.
Anthony membuka amplop tersebut yang isinya berupa surat perjodohan antara Anthony dan Laura. Raut wajah Anthony berubah ketika membaca tulisan dalam surat itu. "Mengapa kakek tidak pernah menyebutkan ini?"
"Aku tahu hari ini akan datang. Itulah mengapa aku mengalah dan membiarkanmu menang dalam pertandingan catur agar suasana hatimu baik hari ini." Bastian menjelaskannya. Tentu saja Anthony tidak percaya dengan alasan seperti itu.
Laura merampas surat perjodohan dari tangan Anthony. Wajah cantiknya terlihat serius membaca isi surat tersebut. "Ini memang tulisan tangan kakek," gumamnya dalam hati. Dia kemudian menatap Anthony dengan ekspresi yang rumit.
Anthony memang cukup tampan meskipun berpakaian sederhana namun terlihat kakinya pincang.
Ketika Anthony hendak mendekati Laura untuk mengambil surat tersebut, lelaki pengawal disamping Laura langsung menghalangi dengan nada menghina. "Jangan menyentuh sembarangan!"
Meskipun dalam hatinya tidak senang, namun Anthony tahu diri dengan kondisinya. Dia mengurungkan niatnya untuk mengambil surat tersebut.
"Nona Laura adalah gadis tercantik dan berbakat di kota Ethera, mana pantas memiliki tunangan cacat sepertimu. Dan..."
PLAK!
Belum selesai kata-kata penghinaan itu, Bastian sudah menampar wajah lelaki tersebut hingga membuatnya terlempar.
"Dia adalah muridku. Bukan hakmu untuk mendisiplinkannya." Mata Bastian mendelik marah ke arah lelaki pengawal tersebut.
Melihat kemarahan Bastian, Laura segera meminta maat atas insiden tersebut dan menyerahkan kembali surat itu kepada Anthony.
Bastian kemudian membalikkan badan ke arah Anthony dan mengeluarkan cincin yang berada di jarinya. "Ini adalah Cincin Atherion. Aku percayakan cincin ini padamu." Bastian menyerahkan cincin tersebut kepada Anthony.
"Sudah saatnya kamu turun gunung hari ini dan membalaskan dendammu." Bastian menepuk pundak Anthony untuk menyemangatinya.
"Namun ingatlah pesanku, kamu tidak boleh mengungkapkan kekuatanmu sebelum mencapai tingkat ketujuh teknik Pilar Cahaya Terang."
Anthony menatap Bastian dengan wajah bingung. "Kakek, bukankah aku sudah mencapai tingkat ketujuh pada tiga bulan yang lalu."
Mendengar hal itu wajah Bastian langsung berubah. Dia merasa malu mengingat Anthony lebih berbakat dari dirinya yang membutuhkan waktu lima puluh tahun untuk mencapai tingkat ketujuh sementara Anthony hanya membutuhkan lima belas tahun.
Tak hanya itu, keterampilan medis, mantra, dan teknik lainnya yang dimiliki Anthony juga tidak kalah dengan Bastian, bahkan kemampuannya dalam bermain catur jauh melampaui dirinya.
"Sepertinya hidupku ini sudah tidak berguna lagi," gumam Bastian dan terlintas pikirannya untuk menggantung diri lagi.
"Kakek, jaga dirimu saat aku turun gunung. Aku akan datang kembali untuk bermain catur denganmu di masa depan. Jangan mati dulu ya."
Bastian langsung marah mendengar perkataan Anthony dan mengusirnya bersama yang lain.
Ketika Anthony berada di dalam mobil Laura, Bastian melemparkan sebuah bungkusan padanya dan berteriak, "Jangan kembali sebelum kamu memiliki banyak anak!"
Kedua mobil itupun langsung melaju menuruni puncak gunung Mandalesta dan meninggalkan Desa Wanasari menuju ke kota Ethera.
Di dalam mobil, Laura dengan penasaran melihat ke arah kaki Anthony. "Bastian yang dijuluki Dewa Obat dengan ketrampilan medis yang luar biasa, mengapa tidak bisa menyembuhkan kakimu?"
Anthony menjawab dengan datar bahwa kakinya yang pincang bukanlah penyakit, tetapi luka. Dia kemudian menceritakan kisah masa kecil yang masih diingat olehnya.
Ketika Anthony berusia lima tahun, seseorang telah mencabut otot dan mematahkan tulang pada tempurung kakinya. Jika bukan karena Bastian yang menyelamatkannya, dia pasti sudah mati.
Untuk menyembuhkan kakinya, dia membutuhkan dua bahan obat langka, yaitu Akar Naga Abadi dan Tulang Raksasa, untuk meramu Pil Tulang Naga. Tanpa itu, tidak ada yang bisa menyembuhkannya.
"Siapa yang tega melakukan hal kejam seperti itu pada anak berusia lima tahun?" Laura merasa iba mendengar cerita Anthony.
CIIITTTTT...
Namun, sebelum Anthony bisa menjawab pertanyaan Laura, supir tiba-tiba menginjak rem dengan tiba-tiba. Rupanya, mobil mereka dipaksa berhenti oleh dua buah SUV yang melintang menghalangi jalan mereka.
Setelah itu, lebih dari sepuluh pria kekar turun dari kendaraan tersebut dengan masing-masing membawa tongkat, lalu mengepung kedua mobil mereka.
"Keluar!" Teriak salah satu dari mereka sambil mengacungkan tongkatnya dengan wajah garang.