Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dibalik Layar Sang Hacker

Dibalik Layar Sang Hacker

Kinan Larasati | Bersambung
Jumlah kata
71.6K
Popular
1.5K
Subscribe
137
Novel / Dibalik Layar Sang Hacker
Dibalik Layar Sang Hacker

Dibalik Layar Sang Hacker

Kinan Larasati| Bersambung
Jumlah Kata
71.6K
Popular
1.5K
Subscribe
137
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifeCinta SekolahBalas DendamIdentitas Tersembunyi
Namanya Ray Valen atau dulu begitu. Kini ia kembali ke dunia luar dengan nama baru, Alister Dreven. Di usia delapan belas, Alister bukan lagi anak SMA biasa. Tiga tahun di penjara telah mengubahnya. Dikhianati oleh pamannya sendiri, ayahnya tewas dalam kecelakaan yang dirancang, sementara ibunya koma dan semua harta warisan lenyap. Ia, sang pewaris, justru difitnah dan dibuang ke balik jeruji.Namun di sanalah ia dilahirkan kembali. Di bawah bimbingan ketua geng yang kejam namun cerdas, Alister mempelajari seni bela diri jalanan, strategi bertahan hidup, dan dunia kelam peretasan. Ia keluar bukan sebagai korban, tapi sebagai bayangan yang tak bisa disentuh, siap menuntut balas.Wajahnya dingin, mata abu-abu gelapnya menatap dunia dengan curiga. Di sekolah, ia menyamar sebagai siswa pindahan yang biasa, Alister yang tenang dan tak menonjol. Namun di balik layar, ia adalah hacker bayaran yang bisa melumpuhkan sistem pemerintahan dalam hitungan menit.Segalanya berjalan sesuai rencana—hingga ia menyelamatkan Clara, guru cantik yang melihat sisi manusiawinya. Dan Yoona, murid baru dengan rahasia kelam dan senyum yang mampu menembus benteng hatinya.
Bab 1

Udara pagi masih terasa basah oleh embun, tapi itu tak cukup menenangkan dada Alister yang berdetak kencang karena tergesa. Dia menarik gas motornya satu kali, lalu berhenti tepat di depan pagar utama sekolah. Seperti biasa—telat.

“Pak, buka pintunya,” katanya agak keras, tapi tidak berteriak.

Di dalam pos jaga, seorang pria setengah baya dengan seragam biru tua tampak memainkan ponselnya.

Tak ada respons.

Hanya suara dari video yang dia putar di ponselnya. Seolah-olah suara Alister hanyalah bagian dari angin pagi yang tak penting untuk didengar.

“Pak! Ini gue, Alis—”

“Tau, tau... Kamu lagi, kamu lagi,” gumam si sekuriti pelan, cukup keras untuk dirinya sendiri, namun terlalu kecil untuk didengar Alister dari balik pagar. “Dasar bocah Tengil. Tiap hari kesiangan,” keluhnya.

Mata Alister menyipit, mencoba menahan emosi yang mulai naik. Dia mengangkat helm setengah, memperlihatkan wajah malasnya yang bercampur frustasi.

“Pak, tolonglah, udah telat juga, ini jam berapa...”

Namun, pria tua itu masih saja pura-pura sibuk. Seolah menjadi penjaga pagar adalah pangkat tertinggi di republik ini, dan membuka pintu untuk siswa yang sering telat adalah pelanggaran berat pada martabatnya.

Alister menghela napas panjang.

“Argh… Sial!” Tangannya memukul-mukul setang motor, gusar.

Dan saat itulah, sebuah mobil hitam elegan meluncur masuk ke halaman depan. Platnya putih bersih. Di balik kaca depan, wajah yang familiar langsung menyita perhatian Alister. “Bu Clara?” pikir Alister.

Wanita muda dengan rambut coklat gelap terurai rapi di pundak. Kacamatanya tipis, matanya tajam, tapi wajahnya teduh. Bukan hanya guru Matematika yang paling ditakuti, tapi juga—guru yang paling diam-diam digilai para murid laki-laki di sekolah ini. Termasuk... Alister, meski dia tak pernah mau mengakuinya.

Tinn…

Suara klakson mobil terdengar dan saat itu juga Pak Imron, Security sekolah bergegas membuka pintu pagar membuat Alister mendengus kesal.

“Ck… Ke guru cantik aja cepet,” keluh Alister menatap tajam ke arah Pak Imron sambil memakai kembali helm nya.

Segera, pagar mulai bergerak. KREEK!

“Jadi mobil baru boleh masuk, ya?” gumam Alister sinis.

Tanpa menunggu gerbang terbuka lebar, dia langsung nyelonong masuk dengan motornya, melewati celah sempit yang bahkan belum aman sepenuhnya. Rodanya menggores sedikit trotoar dan hampir menyerempet sisi mobil Bu Clara.

Pak Imron cukup terkejut melihat itu, apalagi dengan suara knalpotnya yang bersuara nyaring. “Hey! Alister! Jangan nyelonong begitu aja! Balik lagi lu!”

Tapi suara itu hanya menggema di angin. Alister tak menoleh sedikit pun. Dia meniru aksi pura-pura tak dengar yang barusan ditampilkan pria tua di pos itu. Karma bisa datang cepat kalau kau tahu cara memainkannya.

Bu Clara sempat melirik ke arah motor yang menghilang di ujung parkiran, hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Sudah pak, biarkan saja,” ujar Clara membuat Imron menunduk sopan.

Dia pun membawa mobilnya memasuki area parkir sekolah khusus Guru.

Sementara itu, Alister turun dari motor tanpa ekspresi. Tapi dalam hati, dia puas.

Pria itu membawa langkahnya menuju kelas. Para siswa siswi yang berpapasan dengannya, melihat ke arahnya dengan penuh rasa segan. Sedangkan para siswi terlihat terpesona karena ketampanan pria itu. Alister lagi-lagi tidak peduli dan fokus menuju ke kelasnya.

Lorong sekolah masih sepi. Bel masuk memang belum berbunyi, tapi bayangan guru piket yang siap menyodorkan daftar keterlambatan sudah menari-nari di kepala Alister. Tapi dia tidak peduli. Seperti biasa.

Sepatu hitamnya berderap mantap di atas lantai keramik. Suaranya menggema, seakan seluruh sekolah bisa mengenali langkah itu hanya dari dentingnya saja.

Beberapa siswa yang baru datang menyingkir diam-diam dari jalurnya. Bukan karena takut, tapi lebih karena aura Alister yang... liar dan tidak tertebak. Dia seperti bara api dalam wujud manusia. Kalian tidak tahu kapan dia akan diam, kapan dia akan menyambar.

Salah satu siswi berambut pendek yang berdiri di depan loker menggigit bibirnya, menatap Alister dengan pandangan yang sulit dijelaskan antara terpesona, naksir, dan juga penasaran

“Gila, itu Alister ‘kan?” bisik seseorang di belakang

“Dia telat lagi.”

“Tapi tetap aja... dia ganteng parah.”

Alister tak pernah menggubris bisik-bisik itu. Baginya, sekolah hanyalah formalitas yang harus dijalani—setengah hati. Separuh jiwanya masih tertinggal di tempat kerja, di trek balapan, atau di dunia gelap layar komputer tempat dia dikenal dengan nama lain: ZeroTrace.

Begitu sampai di depan kelas, dia menarik napas panjang lalu mendorong pintu kayu itu tanpa basa-basi.

Cekrekk—

Semua kepala di dalam ruangan seketika menoleh ke arahnya. Termasuk si guru piket harian yang sedang berdiri di samping papan tulis dengan kertas kehadiran.

“Alister!” tegur Bu Dewi dengan nada tinggi, “Sudah pukul tujuh lewat dua puluh! Kamu telat lagi?! Ini sudah keberapa kali dalam minggu ini, hah?”

Alister tak menjawab. Dia hanya menatap Bu Dewi beberapa detik, lalu berjalan menuju bangkunya di pojok belakang kelas.

“Alister! Saya bicara dengan kamu!”

Langkah Alister terhenti. Bahunya bergeming, sebelum akhirnya dia menoleh sedikit.

“Maaf, Bu. Macet,” ujarnya singkat. Suaranya tenang, tapi sarkasme dalam nada bicaranya cukup terasa bagi siapa pun yang jeli.

Seketika beberapa siswa menahan tawa.

Bu Dewi mengepalkan tangan di balik tubuhnya, wajahnya menegang. Tapi sebelum dia sempat membalas, suara langkah tumit tinggi menggema dari arah pintu. Semua kepala serempak menoleh ke belakang.

Bu Clara masuk.

Rambutnya dikuncir rendah, blouse putihnya sederhana namun elegan, dan mata tajamnya langsung menyapu ruangan, berhenti tepat pada sosok Alister.

“Maaf, saya terlambat sedikit,” ucapnya sopan pada Bu Dewi.

Bu Dewi langsung merapikan wajahnya, menunduk sedikit sopan. “Oh, iya... silakan, Bu Clara.”

Alister kembali melangkah menuju bangkunya, namun kini matanya sempat bertemu dengan mata gurunya itu. Tatapan Bu Clara seperti sedang menilai dan mencoba membaca isi pikirannya.

Alister cuma tersenyum tipis, samar, dan... sinis.

“Baiklah, buka buku kalian. Kita ke pembahasan dan tugas kemarin,” perintah Clara yang sudah mengalihkan pandangannya dari Alister ke siswa lainnya.

Kelas mulai tenang. Suara lembaran buku dibuka bersahutan, dan seperti biasa, Alister yang duduk di bangkunya, hanya menyandarkan tubuh, dan membuka bukunya dengan enggan, meski tak terlihat tertarik sedikit pun dengan apa yang tertulis di halaman.

Bu Clara berjalan perlahan ke depan kelas, tumitnya berdetak pelan di lantai. Dia tidak bicara banyak, tapi ada ketegasan dalam caranya berdiri. Karisma yang berbeda dari guru-guru lain. Aura yang menenangkan, sekaligus... misterius.

“Alister,” panggil Bu Clara, membuat beberapa murid menoleh secara otomatis. “Tugasmu kemarin tidak saya temukan di email. Kenapa tidak dikumpulkan?”

Suasana kelas mendadak sunyi. Beberapa siswa mengangkat kepala, menunggu jawaban.

Alister mengangkat wajah, satu alisnya terangkat malas.

“Jaringan rumah saya agak... bermasalah, Bu,” ujarnya santai. “Tapi kalau Ibu mau, saya bisa kirim sekarang juga.”

Dia mengambil ponsel dari saku seragamnya, lalu menyalakan layar. Sekilas, tampak deretan aplikasi dan kode yang hanya dipahami orang-orang tertentu. Bukan tampilan ponsel anak sekolah biasa. Bukan ponsel yang seharusnya ada di tangan seorang siswa dari keluarga sederhana.

“Baiklah, tolong kirim secepatnya. Dan lain kali, jangan terlambat mengumpulkan tugas,” ucap Bu Clara, datar tapi jelas.

Alister hanya mengangguk kecil. Diam-diam, jemarinya menari di layar. Dalam hitungan detik, file itu terkirim. Tapi bukan dari email biasa. Ada enkripsi, ada IP masking, dan ada keisengan kecil yang membuat server sekolah sempat tersendat satu detik sebelum kembali normal.

Dia melirik ke arah Bu Clara. Sang guru tampak tidak menyadari apa pun. Atau... mungkin justru sangat sadar.

Dan di saat semua orang kembali tenggelam dalam materi, Alister bersandar di kursinya, memutar bolpoin di tangan, dan tersenyum kecil.

“Okey, kita kembali ke materi. Perhatikan ke depan semuanya,” ucap Clara.

Sedangkan, Alister memilih menatap keluar jendela sekolah. Menerawang ke depan yang jauh di sana.

***

Suara mesin motor menderu melintasi jalanan sepi malam itu. Alister mengenakan jaket kulit hitamnya, helm bertutup kaca gelap, dan ransel kecil yang menggantung di bahu kanan. Lampu-lampu jalan redup, beberapa bahkan padam. Udara malam terasa dingin, tapi baginya, itu hal biasa. Malam seperti ini adalah waktu yang tepat untuk balapan liar. Tempat di mana adrenalin memuncak, dan dunia seperti bisa dilupakan sejenak.

Namun, langkahnya terhenti mendadak saat ia melintas di depan rumah tua yang sudah lama kosong. Sorot matanya menajam saat menangkap pemandangan tak biasa, sebuah mobil putih terparkir tak wajar, miring, seperti terburu-buru. Dan saat melihat plat nomornya, dia mengenali siapa pemilik mobil tersebut.

Dari kejauhan, ia mendengar suara. Samar, tapi jelas, jeritan seorang wanita.

Alister mematikan mesin motornya dan menyandarkannya di balik semak. Dia mendekat diam-diam, lalu bersembunyi di balik pagar besi berkarat. Pandangannya tertuju pada seorang pria yang sedang membuka paksa pintu mobil bagian pengemudi. Di dalam, Bu Clara, gurunya terlihat ketakutan. Matanya memerah, tangannya bergetar saat mencoba menahan pintu agar tak terbuka sepenuhnya.

“Rudi, cukup! Kita sudah putus!” teriak Clara penuh emosi.

Pria bernama Rudi itu mendorong pintu lebih keras hingga terbuka lebar, lalu menarik tangan Clara dengan kasar. “Gue nggak peduli, Clara! Lo milik gue! Sampai kapan pun!”

Clara mencoba melawan, tubuhnya tertarik keluar dari mobil, terhuyung, tumit tingginya membuat gerakannya semakin tak seimbang. “Lepasin! Jangan sentuh aku lagi! Aku bilang, kita sudah selesai, Rudi!”

Namun Rudi semakin membabi buta. Tangannya mencengkeram pergelangan Clara seperti penjepit baja. Sorot matanya liar dan marah. “Gue udah cukup sabar selama ini! Lo pikir lo bisa ninggalin gue begitu aja?!”

***

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca