"Aghhh... jangan... lepaskan aku, Ken... aghh..."
Jeritan lirih Hanna menggema di sudut ruang utama rumah mewah itu. Tubuhnya gemetar saat pria berjas di depannya membuka lemari—bukan untuk mengambil baju atau berkas kerja, tapi sepasang borgol dingin berlapis baja. Cahaya lampu gantung memantul di permukaan logamnya, seakan ikut mengolok ketakutan gadis itu.
Ken, suaminya—atau lebih tepatnya pemiliknya—menarik kedua tangan Hanna ke atas tanpa sedikit pun belas kasih. Dengan kekuatan maskulin yang tenang tapi mematikan, ia mengaitkan borgol itu ke palang besi di atas pintu. Tubuh Hanna terangkat sedikit, membuat kedua kakinya jinjit, seolah tubuh mungil itu tergantung oleh kekuasaan sang pria.
"Aku sudah bilang padamu, kan?" suara Ken pelan, datar, nyaris tanpa emosi.
"Ketika aku pulang, aku ingin kau sudah berada dirumah. Tapi kau bahkan tidak bisa menuruti perintah sederhana itu."
"Maaf... maafkan aku Ken..." isak Hanna, air mata mulai membasahi pipinya.
"Aku tadi mengunjungi ibu... dan aku ketiduran disana..."
Ken hanya tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, tapi tawa menghina. Ia berjalan memutari tubuh istrinya seperti seekor macan yang mengelilingi mangsanya—santai, namun mematikan. Ia melepas jam tangan mewahnya, meletakkannya di meja, lalu melepaskan jas kerja dan dasinya perlahan.
"Berapa kali aku harus bilang, bahwa aku tidak suka menunggu?" bisiknya tepat di telinga Hanna.
"Aku tidak suka permintaan maaf."
Tangis Hanna pecah. Bukan karena sakit—belum, tapi karena dia tahu apa yang akan terjadi. Ini bukan pertama kalinya. Ini sudah jadi rutinitas. Sebuah neraka pribadi yang tak bisa ia tinggalkan.
Dia tak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini. Menjadi istri dari seorang pria bengis yang memperlakukannya bukan sebagai pasangan, tapi sebagai properti. Mainan. Budak. Dan yang Hanna tau, semua ini terjadi karena ayah Tirinya... Kalau saja dia tidak menjual Hanna demi menutup utangnya— Hanna tidak akan ada di sini, tergantung seperti ini, menjadi milik pria yang bahkan tak menganggapnya manusia.
Namun berbeda dengan Ken. Ken sudah sejak lama, memimpikan untuk segera membalas dendam kepada keluarga Choi. Tidak peduli bahwa yang dia sakiti adalah putri cantiknya, Hanna. Dan dia tau, bahwa Hanna tidak mengerti dengan dendam yang sudah mengakar di hati Ken.
Ken menatap Hanna yang menangis dalam diam, tubuhnya menggigil. Tapi Ken hanya menatapnya dingin, matanya gelap, penuh kelaparan—bukan lapar makanan, tapi haus akan kekuasaan dan kendali. Dan malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, tubuh Hanna-lah yang akan jadi pelampiasannya.
***
Ken berdiri membisu, menatap tubuh istrinya yang tergantung pasrah di bawah cahaya remang. Gaun tipis Hanna menempel erat di kulitnya yang lembap oleh keringat, memperlihatkan lekuk tubuh yang bagi kebanyakan pria mungkin tampak memabukkan.
Tapi di mata Ken, itu bukanlah keindahan yang mengundang cinta.
Itu adalah milik. Barang.
Mainan.
Ia melangkah perlahan dari belakang, mendekat sampai napasnya menyentuh leher Hanna yang terbuka. Kepalanya menunduk sedikit, lalu ia berbisik, dengan suara rendah yang menyelinap masuk ke lubuk ketakutan gadis itu.
"Hahh... kau benar-benar seksi... menarik... dan wangi. Aku tidak menyesal meminjamkan uangku kepada ayahmu, sayang." ucap Ken. Seolah dia memang menikahi Hanna bukan karena dendam, namun karena sebuah hutang.
Napasnya terasa panas di telinga Hanna, seperti api kecil yang membakar dari dalam. Gadis itu menggigit bibirnya, mencoba menahan ketakutan, tapi tubuhnya gemetar. Dan sebelum ia sempat membalas atau menunduk memohon, suara keras itu terdengar—
PLAKK!!
Pukulan mendarat telak di bokong Hanna, membuat Hanna tersentak dan mengerang pelan. Lalu jari Ken meremas bulatan padat itu dengan keras. Membuat istrinya mengerang.
"Aww... ampun... Ken, aku tidak akan melakukannya lagi... ampun..."
Ken terkekeh, tawa sinisnya terdengar seperti ironi yang disengaja.
"Hahaha... bagus kalau kau mengerti. Tapi sayangnya, tubuhmu ini sudah menggodaku, jadi kau... sekarang di sini saja. Di depanku. Diam... dan menemaniku."
Ken pun berjalan ke sofa, lalu duduk santai, menyandarkan punggung, menaruh satu kaki di atas lututnya. Matanya tak berpaling sedikit pun dari tubuh istrinya yang masih tergantung, napas tersengal dan tubuh berkeringat.
Gaun tipis itu terangkat sedikit karena posisi tangan Hanna yang tertarik ke atas. Kulit putihnya tampak kontras di bawah cahaya kekuningan ruangan. Wajahnya yang biasanya tenang kini kacau oleh air mata dan ketakutan.
Ken menyeringai. Tatapannya dingin dan penuh nafsu bejat.
"Sempurna..."
***
Mata Ken masih memandangi tubuh seksi istrinya itu. Belahan bajunya yang rendah semakin memperlihatkan keindahan tubuhnya. Ken mengusap bibirnya sendiri dengan ibu jarinya, namun matanya tidak lepas dari dada Hanna. Tiba tiba Ken berdiri, melepaskan kancing kemejanya satu persatu. Hanna yang melihat pria itu mulai beraksi nampak ketakutan. Meski ini bukan kali pertama dia merasakan tubuh suaminya. Setelah melepaskan semua pakaiannya, Ken pun melangkah mendekat dengan wajah bringasnya.
Tanpa basa basi, tangan Ken mencengkeram wajah Hanna, dan tanpa aba aba bibirnya mulai melumat bibir Hanna dengan penuh nafsu.
"Uhmmmm...... agghh... uhhm....." suara Hanna tertahan dibalik ciuman paksa suaminya itu.
Ken menarik diri. Tiba tiba jari jari Ken membuka paksa mulut Hanna, dan menarik lidah Hanna keluar.
"Julurkan lidahmu!" Perintahnya.
Setelah wanita menjulurkan lidahnya, Ken dengan sigap memainkannya dengan lidahnya.
"Umpp..."
Kedua tangan Hanna bergerak seolah ingin mencari celah untuk mendapatkan oksigen.
Tiba tiba Ken menghentikan aksinya.
Ken memandangi tubuh istrinya yang tergantung tak berdaya. Matanya gelap, penuh gairah tak terkendali—bukan cinta, bukan kasih, hanya obsesi yang membakar perlahan dan menyiksa. Ia membuka laci di sisi meja, mengeluarkan sepasang gunting logam yang berkilat dingin.
Tanpa sepatah kata, ia berjalan kembali ke Hanna. Mata gadis itu membulat, panik, napasnya makin tak beraturan.
"Tidak… jangan lagi Ken..." gumamnya lirih. Tapi suara permohonan Hanna justru membuat Ken semakin bergairah.
Dengan gerakan dingin dan tanpa ragu, Ken menyelipkan ujung gunting ke kerah gaun tipis istrinya. Satu tarikan—SREETT—kain itu terbelah. Hanna menggigil. Satu sisi pundaknya terlepas. Tarikan kedua..
SREETT..!!
Seluruh tubuhnya terbuka dalam balutan udara malam yang menusuk.
Gaun itu jatuh ke lantai seperti kenangan akan kebebasan—tak berdaya, lemah, dan tak bisa kembali.
Dada Hanna naik turun, bukan karena gairah, tapi karena rasa takut yang menusuk ulu hati. Tubuh Hanna yang semok kini menjadi tontonan. Hanna tahu itu. Ken memandangi tubuh Hanna tanpa berkedip. Tatapan yang menelanjangi lebih dari sekadar pakaian.
Ken tersenyum tipis.
“Ken… ampuni aku…” suara Hanna pelan, lemah, hampir seperti bisikan.
“Apa yang kau lakukan padaku tadi pagi… masih terasa begitu sakit… tolong ijinkan aku… beristirahat…” pintanya.
Ken menatapnya sejenak. Senyumnya muncul perlahan, menyerupai iblis yang baru saja menemukan mangsa sempurna. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya langkah mendekat… dan cengkeraman di dagu Hanna.
“Kau terlalu indah untuk disia-siakan malam ini,” bisiknya dingin.
“Istirahatmu bisa menunggu.”
Hanna memejamkan mata. Air mata jatuh membasahi pipinya, menetes hingga ke dada.
Ken memandangi istrinya dari atas ke bawah. Memandang betapa cantiknya wanita itu. Meski tidak ada cinta di hatinya. Lalu tangan Ken kembali mendekat. Menarik kepala belakang Hanna.
"Uhhmmmpp....mpphh....."
Bibir Ken mendekat dan mencuri ciuman Hanna dengan paksa, namun Hanna tak membalas. Hanna hanya diam. Pasrah tidak mampu melakukan apapun. Dan dalam hati Ken—sesuatu semakin tumbuh. Bukan cinta. Bukan rasa sayang. Tapi dendam. Dendam yang sudah sejak lama mengakar. Dan kini dia bisa membalaskan dendamnya dengan brutal.
"Jika ayahmu yang brengsek itu tidak bisa berbelas kasih pada ibuku ketika dia membutuhkan bantuannya, maka, aku juga tidak akan berbelas kasih kepadamu. Kau.. akan menjadi budak ku sampai kau mati." ucap Ken dalam hati.
Dan ciuman itu masih terus berlanjut.