Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Cinta Di Balik Pedang dan Janji

Cinta Di Balik Pedang dan Janji

NinLugas | Bersambung
Jumlah kata
41.1K
Popular
100
Subscribe
2
Novel / Cinta Di Balik Pedang dan Janji
Cinta Di Balik Pedang dan Janji

Cinta Di Balik Pedang dan Janji

NinLugas| Bersambung
Jumlah Kata
41.1K
Popular
100
Subscribe
2
Sinopsis
FantasiFantasi TimurPedangNagaPerang
Panglima Tirtayasa adalah sosok yang disegani tajam dalam berpikir, dingin dalam medan perang. Atas titah Raja Arakon, ia diperintahkan memimpin penaklukan ke tanah-tanah kecil yang dianggap lemah dan tak berarti. Kejam bila perlu, tak kenal belas kasihan. Namun, di balik ketegasan dan zirah perangnya, tersembunyi hati yang terusik oleh satu nama Kencana. Kencana bukan bangsawan. Ia hanyalah anak seorang petani biasa, tumbuh dalam kesederhanaan di tanah yang sama tempat Tirtayasa dilahirkan dan dibesarkan. Cinta mereka sunyi, tak diumbar, namun dalam. Tapi sumpah Tirtayasa pada mendiang ayahnya memaksanya mengabdi penuh kepada raja, bahkan ketika nuraninya menolak cara-cara yang dipilih sang penguasa. Ketika tanah air sendiri menjadi ladang penindasan atas nama kekuasaan, dan cinta berhadapan dengan sumpah yang mengikat jiwa, akankah Tirtayasa memilih pedangnya… atau Kencana?
Bab 01

Saat langit merona jingga, Tirtayasa mengarahkan kudanya ke tepi danau yang tenang, membawa serta perasaan yang tak mampu ia ucapkan. Air danau memantulkan cahaya senja, seolah mengerti beratnya langkah perpisahan yang akan terjadi. Di sanalah ia ingin berpamitan bukan dengan kata-kata megah, melainkan dengan diam yang menyimpan luka, sebab hatinya sendiri belum siap untuk benar-benar melepaskan.

Di sebelah barat berdiri megah Kerajaan Aurora tanah yang dikenal karena kekuatannya, kemakmurannya, dan kemegahan istananya yang menjulang tinggi bak menyentuh langit. Namun, di balik segala gemerlap itu, tersembunyi kisah cinta yang kelam dan tragis, terbungkus rapi oleh tirani dan ambisi seorang raja. Kerajaan Aurora bukan sekadar lambang kemajuan, melainkan juga simbol dari bagaimana kekuasaan bisa melahirkan luka yang tak terlihat mata.

Bertahtalah Raja Arokon di singgasana tertinggi penguasa dengan tangan besi dan hati yang membeku oleh obsesi. Ia bukan hanya raja, tetapi juga predator kekuasaan. Segala sesuatu yang bersinar, yang kuat, yang cantik semua harus tunduk di bawah kakinya. Arokon dikenal bukan karena cinta rakyatnya, melainkan karena rasa takut mereka. Ia haus akan wilayah baru, harta, dan wanita, menjadikan penaklukan sebagai cara untuk mengisi kekosongan jiwanya yang tak pernah puas.

Setiap kali Arokon mengincar kerajaan seberang untuk ditaklukkan, ia selalu mengirim panglima perangnya yang paling ditakuti Tirtayasa. Lelaki yang dijuluki Pedang Timur itu dikenal karena ketegasannya, keberaniannya, dan ketepatannya dalam menyusun strategi perang. Tak pernah ada perang yang ia gagal menangkan. Bagi rakyat, Tirtayasa adalah simbol kemenangan bagi musuh, ia adalah mimpi buruk yang datang dalam derap kuda dan cahaya mata pedangnya.

Namun kekuatan Tirtayasa bukan hanya berasal dari kemampuan bertarungnya, melainkan dari sumpah yang ia ikrarkan pada pusara ayahandanya: untuk mengabdi seutuhnya kepada kerajaan dan menjaga kejayaan Aurora, apapun risikonya. Sumpah itu mengekangnya, menjadi beban tak kasatmata yang menahannya untuk hidup atas kehendaknya sendiri. Ia tak pernah mengeluh, sebab ia tahu, hidupnya bukan miliknya lagi sejak hari itu.

Di balik sosok keras dan dingin itu, tersimpan hati yang lembut dan rapuh hanya pada satu nama Kencana. Bukan seorang bangsawan, bukan pula putri istana. Kencana hanyalah anak petani biasa, yang ditemuinya secara tak sengaja di tepi danau sunyi pada suatu senja. Dari pertemuan-pertemuan diam mereka, tumbuhlah rasa yang tak bisa disangkal. Cinta yang tak bersuara, tapi terasa lebih keras daripada genderang perang.

Dan di sanalah, antara tugas dan perasaan, antara pedang dan janji, Tirtayasa harus memilih jalan yang bisa saja menghancurkan segalanya. Cinta dan kesetiaan kini saling menikam di jantungnya, sementara bayang-bayang Raja Arokon dan perintahnya terus mengintai langkah yang akan ia ambil. Di tanah yang gemerlap namun berdarah itu, kisah mereka dimulai kisah yang tak semua orang punya keberanian untuk menjalaninya.

“Besok aku harus kembali berperang. Raja menginginkan kerajaan seberang jatuh dalam genggamannya,” ucap Tirtayasa, suaranya datar namun sarat beban. Pandangannya tertuju pada permukaan danau yang tenang, memantulkan warna langit senja yang mulai meredup. Di balik sorot matanya, tersembunyi badai yang tak bisa ia redam pertempuran batin antara tugas dan cinta.

Kencana menoleh perlahan. Matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang sedari tadi menggenang. “Berapa lama lagi kau akan terus seperti ini, Tirta? Menjadi alat seorang raja yang hanya tahu memerintah?” katanya lirih, namun penuh luka yang tak sanggup ia sembunyikan. Kata-katanya menggantung di udara, seperti desir angin yang menyayat sunyi.

Tirtayasa terdiam. Hatinya merintih, namun mulutnya tetap menyusun kata-kata dengan tenang. “Aku terikat janji pada almarhum ayahku. Ia gugur di medan perang demi raja ini. Aku bersumpah untuk melanjutkan pengabdiannya, menjaga nama keluargaku, dan melunasi kehormatan yang diwariskannya padaku.”

“Bahkan jika nyawamu menjadi taruhannya?” tanya Kencana, kali ini suaranya gemetar. Ia menggenggam jari-jarinya sendiri, berusaha menenangkan detak jantung yang kian kacau. Baginya, Tirtayasa bukan hanya lelaki yang dicintainya. Ia adalah segalanya, dan ketakutan kehilangan pria itu perlahan menggerogoti harapannya.

Tirtayasa tersenyum tipis. Ia mendekat, mengusap lembut air mata yang jatuh di pipi Kencana. Tatapannya penuh harap, namun juga mengandung kesedihan yang tak terucap. “Aku berjanji akan kembali ke danau ini. Dan saat itu tiba, aku akan menikahimu. Bukan sebagai panglima, bukan sebagai abdi raja tapi sebagai lelaki yang hanya ingin hidup bersamamu.”

Kencana menatapnya, dan senyum pelan merekah di wajahnya yang masih diliputi kekhawatiran. “Kalau begitu, aku akan menunggu di sini. Di tempat yang sama... sampai kau kembali.” Dan senja itu pun menjadi saksi bisu janji suci dua insan janji yang tertanam dalam hati, menantang kesetiaan, ambisi, dan takdir yang belum tentu berpihak pada cinta mereka.

Pagi itu, langit masih pucat saat matahari perlahan merangkak naik dari balik perbukitan timur. Kabut tipis menyelimuti halaman istana, menciptakan bayang-bayang samar yang menari di antara derap langkah para prajurit. Gemerincing senjata dan suara denting zirah terdengar bersahutan, berpadu dengan tiupan sangkakala yang memecah kesunyian fajar. Di halaman utama, barisan prajurit berdiri tegap dengan wajah serius, mengenakan baju perang berlapis baja yang memantulkan cahaya pagi.

Kuda-kuda yang sudah dipersiapkan sejak subuh meringkik gelisah, seakan tahu bahwa hari ini bukanlah perjalanan biasa, melainkan misi penuh pertaruhan. Bau logam dari senjata dan aroma keringat bercampur dengan embusan angin dingin, menciptakan suasana yang tegang namun penuh tekad. Di antara mereka, Panglima Tirtayasa muncul dengan pakaian perang berwarna kelam, lambang dari keteguhan dan kekuasaan.

Langkahnya mantap, tatapannya tajam, namun dalam dadanya tersimpan rasa yang tak ia tunjukkan. Ia menatap sekeliling para prajurit memberi hormat, rakyat berkumpul di sisi jalan, sebagian membawa bunga, sebagian hanya menatap diam dengan doa yang tak terdengar. Tirtayasa mendekati kudanya, menepuk leher hewan setianya itu dengan lembut, lalu naik dengan lincah dan tegap.

Beberapa bangsawan dan sesepuh kerajaan menghampiri untuk memberi salam dan restu. Namun, Tirtayasa hanya mencari satu wajah. Wajah yang telah memenuhi pikirannya sejak malam terakhir. Dan di balik kerumunan, ia melihat Kencana berdiri dalam balutan pakaian sederhana, kedua tangannya menggenggam bunga liar yang ia petik di ladang subuh tadi. Tatapan mereka bertemu, sejenak waktu berhenti.

Tak ada kata yang terucap. Hanya isyarat mata, hanya kedipan halus, hanya janji yang kembali dipatri dalam diam. Lalu, tanpa aba-aba lebih lama, sangkakala kedua ditiup. Gerbang utama terbuka, dan derap langkah para kuda mulai mengguncang tanah. Pasukan bergerak maju meninggalkan istana, meninggalkan damai, menuju tempat di mana darah dan kehormatan akan diuji. Dan pagi itu pun mencatat sebuah awal bagi pertempuran, bagi harapan, dan bagi cinta yang menggantung di batas takdir.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca