Bab 1
Langit pagi di Gunung Agung masih diselimuti kabut tebal, menyisakan atmosfer yang tegang dan misterius. Awan yang menggantung rendah seolah memberikan peringatan tentang sesuatu yang belum terungkap. Sekelompok pendaki, Mapala Giriwesi, dipimpin oleh Pandu, tengah menapaki jalur pendakian yang semakin curam dan terjal. Mereka mengenakan pakaian tebal khas pendaki, ransel penuh perlengkapan, melangkah dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Namun, tiba-tiba, langkah Pandu terhenti.
“Stop!” teriaknya, suaranya menggetarkan udara dingin pagi. Semua pendaki menahan langkah.
“Kenapa, Du?” tanya Raka dari belakang, tampak kebingungan.
Pandu berdiri tegak, matanya memicing, menatap kabut yang perlahan mulai menghilang. “Lu pada denger gak?” tanyanya, suaranya penuh kehati-hatian.
"Enggak ada apa-apa, Du. Lu denger suara apaan?" tanya Dani, mulai cemas.
Pandu mendengarkan dengan seksama, hanya suara hutan yang bisa terdengar. Namun, di tengah kesunyian itu, dia menangkap sesuatu, suara yang samar namun jelas di telinganya, suara minta tolong.
“Ada suara … suara orang minta tolong,” kata Pandu, akhirnya memecah keheningan.
Teman-temannya saling pandang, ragu. Hutan Gunung Agung terkenal dengan sepinya. Tak ada yang datang ke sini kecuali para pendaki. Tapi Pandu, dengan insting tajam yang dimilikinya, tahu bahwa ada yang tidak beres.
“Bener, Du? Lu yakin?” Raka bertanya, mulai merasakan ketegangan yang menyebar.
Pandu mengangguk mantap. "Ayo, kita ikuti suara itu. Jaga formasi." Suaranya dingin, tanpa keraguan.
Tanpa membuang waktu, Pandu memimpin langkah mereka menuju sumber suara. Mereka menembus jalur yang semakin sempit, menuruni medan yang lebih curam, hampir 400 meter jauh dari jalur utama. Langkah mereka terasa semakin berat, tetapi Pandu tak menunjukkan kelelahan sedikit pun.
Di antara pepohonan yang rapat, mereka menemukan sebuah pemandangan yang mengejutkan, sekelompok mahasiswi terjebak di kawasan hutan yang hampir tak bisa dilalui, dua di antaranya panik, sementara seorang lainnya menggigil, terjatuh di bibir jurang.
"Sial...!" Raka menggumam dengan suara rendah penuh kekhawatiran.
Pandu cepat bergerak, mendekati mereka. Salah satu mahasiswi, wajahnya penuh ketakutan, melambaikan tangan dengan putus asa.
“Tolong! Teman kami… dia hampir jatuh!” teriaknya dengan suara tercekat, matanya basah oleh air mata.
Pandu mengamati situasi dengan cepat, menilai dengan ketelitian seorang pemimpin. Di bawah mereka, seorang gadis tergantung, hampir jatuh dari bibir jurang, mencengkram semak dengan tangan yang lemah. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya hampir menyerah.
"Tenang, gue bantu tarik," kata Pandu dengan suara tegas, meraih tali dari ranselnya.
Dia menoleh ke Raka, “Lu jagain mereka, gue yang turun.”
Raka mengangguk, tetap waspada. Dani juga langsung bergerak membantu mempersiapkan peralatan. Dalam hitungan detik, Pandu sudah turun, menggunakan tali yang diikatkan pada pohon besar yang cukup kokoh.
Gadis itu menatapnya dengan mata penuh harapan. Wajahnya penuh keringat dan lumpur, tubuhnya gemetar.
“Gue nggak bisa lagi…” suara gadis itu hampir tak terdengar, lemah.
Pandu dengan sigap menepuk bahunya, “Gue di sini. Cengkram tangan gue, gue tarik.”
Pandu menarik tubuh gadis itu dengan kecepatan yang luar biasa, meskipun medan licin dan berat. Setiap gerakan penuh perhitungan. Suara napasnya yang berat hampir tak terdengar di tengah keringat yang mengucur.
“Tarik lagi... hampir sampai,” katanya, meskipun tubuhnya mulai terasa kelelahan.
Dengan bantuan teman-temannya yang berada di atas, mereka berhasil menarik gadis itu ke atas dengan aman. Sesaat setelahnya, gadis itu jatuh terduduk, terengah-engah, namun dengan senyum penuh rasa syukur.
“Terima kasih… terima kasih banget,” katanya, matanya berbinar.
Pandu hanya mengangguk pelan, meskipun lelah tampak di wajahnya. “Jangan lupa bawa alat keselamatan. Jangan cuma bawa keberanian.”
Gadis itu menunduk malu. Teman-temannya yang lain terlihat lega, segera menghampiri dan membantu mereka berdiri.
“Gimana, Du? Semua aman?” tanya Raka, suara sedikit khawatir.
“Aman. Tapi hati-hati kalau lewat jalur yang nggak jelas,” jawab Pandu, menarik napas panjang. “Sekarang kita bantu mereka turun ke jalur utama.”
Setelah memastikan mereka aman, Pandu kembali memimpin regu untuk melanjutkan pendakian. Langit yang semula kelabu kini mulai terang, memberi sedikit kelegaan. Namun, jalanan semakin menanjak, dan udara mulai terasa tipis. Pandu terus melangkah mantap di depan, memimpin tanpa ragu.
Citra, yang berada di tengah, memperhatikan Pandu dengan cermat. Pandu bukan hanya pemimpin yang tegas, dia memiliki cara tertentu dalam menjaga ritme pendakian yang membuat Citra merasa aman. Tetapi ada yang berbeda kali ini. Citra merasakan sesuatu yang lebih, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Pandu bukan sekadar ketua Mapala bagi Citra. Ia lebih dari itu.
Namun, pandangan itu teralihkan ketika Dani, yang berjalan di sebelahnya, tiba-tiba bersuara.
“Eh, Citra? Kenapa diem aja? Gak biasanya loh.”
Citra tersadar dan segera mengalihkan pandangannya. "Hah? Gak apa-apa, Dani. Lagi mikir aja."
Dani tertawa kecil, “Mikir apaan? Gak usah mikirin hal-hal aneh. Fokus aja, masih panjang perjalanan kita.”
Citra tersenyum kecil, meskipun hatinya bergejolak. “Iya, gue cuma capek aja,” jawabnya, berusaha menutupi perasaan yang baru saja muncul.
Dani melirik ke depan, kemudian mengangkat bahu. "Mungkin karena ngeliat Pandu yang kayak mesin berjalan, ya?" ujarnya sambil tertawa. "Orang kayak dia susah banget dikejar."
Citra terdiam, merasa sedikit canggung. “Gak gitu kok,” jawabnya cepat, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun, pikirannya kembali melayang ke Pandu. Pandangannya yang tajam dan fokus, langkahnya yang penuh kontrol, membuat Citra merasa kagum sekaligus tidak bisa menjelaskan mengapa. Ada sesuatu yang begitu kuat dalam diri Pandu. Kepercayaan yang tumbuh, lebih dari sekadar rasa hormat. Sesuatu yang makin terasa saat perjalanan ini semakin berat.
Pandu sendiri, dengan seluruh kewaspadaannya, tidak sadar akan pandangan Citra. Bagi Pandu, ini hanyalah perjalanan biasa, tentang menjaga keselamatan tim. Namun bagi Citra, perjalanan kali ini mulai terasa seperti lebih dari sekadar pendakian.
Dan siapa yang tahu, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang hanya bisa ditemukan di puncak Gunung Agung. Langit yang cerah tiba-tiba berubah lagi. Hujan mengguyur dengan deras.
Dengan hujan yang terus mengguyur, tim Mapala Giriwesi akhirnya menemukan perlindungan di bawah tenda besar di pos pendakian. Meskipun semua orang berusaha untuk mengatur diri dan menenangkan diri.
"Pastiin kalian tetap hangat dan ngga kelaparan."
Di sudut tenda, Pandu duduk sendiri, tubuhnya tampak basah kuyup, namun matanya masih tajam, fokus pada tim yang kini mulai beristirahat. Citra yang baru saja selesai membantu menyiapkan tenda, melihat ke arahnya. Pandu masih tampak serius, seakan-akan semua yang terjadi tak cukup untuk menggoyahkan ketenangannya. Dia mengatur napas, berusaha menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan.
Citra tertegun sejenak sebelum memutuskan untuk mendekat. Langkahnya mantap, meski hati sedikit ragu. Pandu tidak pernah menunjukan sisi lain dari dirinya, selain sosok pemimpin yang kuat dan tegas. Namun, kali ini, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ingin dia pahami lebih jauh.
“Pandu,” suara Citra terdengar lembut namun jelas di tengah suara hujan yang terus mengguyur atap tenda. Pandu menoleh, memperhatikan Citra dengan tatapan yang tak terbaca.
“Citra,” jawabnya pelan, tetap dengan ekspresi serius, namun ada ketegangan yang menguar dari matanya. "Ada apa?"
“Kamu gak apa-apa?”