Di pinggiran utara Kota Eternal, Melvin Alfonso mengayuh sepeda hingga tiba di depan Rumah Sakit Taylor. Saat ini, dia adalah mahasiswa tahun ketiga di Universitas Eternal yang bekerja sebagai asisten di rumah sakit tersebut.
Rumah sakit ini tidak terlalu besar, hanya memiliki belasan tenaga medis dengan kemampuan biasa saja. Mereka hanya bisa menangani penyakit ringan, sedangkan penyakit berat atau darurat tidak berani mereka tangani, mengingat kurangnya alat medis juga.
Bersamaan dengan Melvin sampai rumah sakit tersebut. Sebuah mobil sedan merah berhenti di depan rumah sakit tidak jauh dari Melvin.
Pintu mobil pun terbuka, sepasang kaki jenjang berbalut stoking keluar dari mobil, menarik perhatian Melvin yang baru datang. Sosok wanita cantik dengan tubuh yang sangat proporsional turun dari mobil tersebut dengan anggun.
Wanita itu bernama Emily Ferdinand, putri dari direktur rumah sakit tersebut yang memang kebetulan bekerja di sana.
Sejak kecil, Emily memiliki kecerdasan tinggi, dia melompati dua tingkat kelas saat SD, ketika di perguruan tinggi, dia hanya butuh waktu dua tahun untuk mendapatkan ijazah dari Universitas Kedokteran Britama.
Melvin mengenal Emily dengan baik, bahka demi mendekati wanita itu, dia rela bekerja sampingan di rumah sakit tersebut dengan gaji rendah.
Namun, sayangnya Emily tidak pernah menganggap Melvin sama sekali, bahkan saat mereka bertatap muka pun, Emily tidak pernah menyapa Melvin sama sekali, seperti sekarang ini, dia langsung masuk ke rumah sakit tanpa peduli dengan kehadiran sosok yang terus mengawasinya tersebut.
Ketika Emily baru masuk ke lobi rumah sakit, terlihat seorang dokter Resident menghampirinya dengan tergesa-gesa.
"Nona Ferdinand, ada pasien darurat yang tidak bisa kami tangani, bahkan semua dokter yang memeriksanya tidak tahu dia sakit apa, saya harap Anda segera memeriksanya," ucap dokter tersebut dengan tatapan tak berdaya.
Sambil berjalan, Emily pun membalas dengan lugas. "Bawa aku ke ruang perawatannya."
Dokter Resident itu mengangguk, dia pun langsung menunjukkan jalan untuk Emily melihat pasien tersebut. Melvin yang juga mendengar itu dia ikut ke sana untuk melihatnya.
Saat Emily sampai di kamar perawatan pasien yang dimaksud, terlihat seorang wanita tua sedang mengeluh sakit kepala sambil menangis, di samping ranjang perawatan wanita tua itu, terlihat seorang pria paruh baya tampak panik.
Melihat Emily datang, pria paruh baya itu langsung menghampirinya. "Dokter, tolong Ibu saya," ucapnya khawatir.
Emily mengangguk, dia langsung mengeluarkan stetoskop dan memeriksa pasien tersebut.
Namun, setelah memeriksa beberapa saat, Emily tidak bisa mendiagnosa apa yang menyebabkan wanita tua itu kesakitan.
Emily perlahan melepas stetoskop yang melingkar di lehernya, matanya memandang pasien yang terbaring lemas. "Tidak ada masalah serius, hanya migrain. Anda bisa tenang," ujarnya dengan nada menenangkan. Dia berpaling ke perawat yang berdiri tegap di sampingnya, "Berikan dia suntikan antibiotik dosis tinggi."
"Baik, Dok," sahut perawat itu, siap untuk melaksanakan tugas.
Namun, sebelum jarum suntik sempat menyentuh kulit pasien, sebuah suara terdengar, "Tunggu!"
Melvin, yang mengenakan seragam biasa para pekerja sampingan rumah sakit, berdiri tegak sambil mengangkat tangan. Semua mata di ruangan itu langsung tertuju padanya.
Melvin dengan percaya diri menghampiri Emily, membuat wanita itu mengerutkan kening, apa yang akan dilakukan pria itu.
Menatap Emily sejenak, lalu beralih menatap wanita tua yang sedang terbaring diranjang masih mengeluh sakit kepala. Melvin kemudian buka suara. "Antibiotik memiliki efek samping yang besar, kalian tidak boleh memberikannya dalam dosis tinggi kepada orang yang sudah lanjut usia."
Emily menyipitkan matanya, dia merasa kesal karena seorang pekerja sampingan ikut campur dalam pengobatannya.
Dengan kemampuannya sekarang, Emily sangat percaya diri, tetapi bisa-bisanya ada orang yang berani menegur tindakan yang dia ambil.
"Lancang! Siapa kamu berani meragukan kemampuanku!" tegur Emily dengan suara yang meningkat satu oktaf.
Pria paruh baya yang mendengar perkataan Melvin merasa khawatir, dia lalu bertanya. "Dokter, apakah antibiotik tersebut benar-benar memiliki efek samping untuk Ibu saya?"
Emily menatap tajam pada Melvin, dia lantas menoleh ke pria paruh baya sambil tersenyum. "Tuan tidak perlu khawatir, antibiotik itu khusus untuk mengobati migrain, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan."
Seorang dokter pria bernama Miguel langsung menimpali. "Anda tidak perlu mendengarkannya, dia bukan dokter di sini, melainkan hanya pekerja sementara."
Setelah mengetahui hal itu, pria tersebut menatap tajam Melvin. "Berani sekali kau asal bicara, biarkan para ahlinya yng bekerja!" bentaknya, dia langsung tidak lagi mempercayai perkataan Melvin.
Miguel tersenyum sinis, " Tidak memiliki izin praktik tetapi berani membantah Emily yang merupakan salah satu lulusan terbaik Universitas Britama, seharusnya kau sadar diri, pecundang," ucapnya mengejek.
Emily memutar bola mata malas, dia memotong ejekan Miguel dengan nada tidak sabar. "Kamu juga tidak perlu banyak bicara dan kamu pergi lanjutkan tugasmu membersihkan ruangan!" katanya tegas pada Miguel dan Melvin.
Melvin yang mendengar itu, menatap Emily sejenak, kemudian langsung berbalik dan pergi. Dia sudah mencoba memperingatkan mereka, tetapi perkataannya dianggap angin lalu, bahkan Miguel dengan sengaja merendahkannya. Karena itu, dia pun tidak mau ikut campur lagi.
Perawat pun menyuntikkan antibiotik pada wanita tua itu, setelah beberapa saat wanita tua pun berhenti mengeluh kesakitan.
Pria paruh baya yang melihat itu menghela napas lega. "Anda memang dokter terbaik di wilayah ini, terima kasih dokter," ucapnya tulus.
Emily hanya tersenyum simpul, dia merasa senang telah dipuji, tetapi berpura-pura rendah hati didepan pria paruh baya serta dokter dan perawat yang ada di sana.
Di sisi lain, Miguel menghampiri Melvin yang sedang membersihkan ruangan tersebut, dia langsung menasihati Melvin. "Ketahuilah tempatmu, jangan bertindak di luar kapasitasmu yang hanya seorang pekerja sementara."
Melvin menatap Miguel dengan pandangan yang sangat tajam. Kata-kata penuh kearoganan dari Miguel membuatnya ingin membalasnya dengan keras.
Namun, ketika Melvin baru hendak mengucapkan kata-kata pedas, teriakan tiba-tiba menggema, memecah keheningan.
"Tolong! Ada apa dengan Ibuku!" Seru pria paruh baya dalam kepanikan.
Emily dan yang lainnya yang hampir meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terhenti. Mereka bergegas berbalik, menghampiri sumber teriakan itu dengan langkah tergesa-gesa. Sesampainya di sana, pemandangan yang menyayat hati terbuka di depan mata.
Wanita tua yang hanya beberapa menit lalu tampak sehat, kini mulutnya berbusa dan tubuhnya kejang-kejang tanpa kendali. Emily, terpaku, kaget menyaksikan perubahan drastis yang tak terduga tersebut.
"Apa yang terjadi dengan ibuku, dokter? Apakah Anda telah salah memberikan obat?!" Pria itu mendesak Emily dengan nada tinggi dan cemas, sambil menunjuk ke arah wanita tua yang menderita itu. Kekacauan sempurna telah terjadi, dan tuntutan menjemukan itu seolah menjadi petir di siang bolong bagi Emily dan yang lain menambah ketegangan di udara.