Kabut tipis menggantung di lereng Pulau Seribu Gunung. Burung-burung kecil berkicau di sela-sela pepohonan pinus. Udara pagi sejuk menampar lembut pipi siapa saja yang lewat.
Pagi itu, langit di atas masih biru pucat, dibungkus kabut seolah bumi masih malas bangun. Angin sejuk menyusup lembut ke sela-sela ranting pinus yang rimbun. Sunyi, nyaris sempurna... sampai sebuah suara bernada nyanyian pecah di udara:
Di atas sebuah batu besar yang menjorok ke tepi jurang,
Duduklah Aji Sukma, bersila di atas sebongkah batu bulat dekat pondok kayu kecil. Di sampingnya ada sebakul pisang, secarik kain lusuh bertulisan syair aneh, dan—seperti biasa—pena bulu ayam kebanggaannya.
Pakaiannya sederhana. Rambutnya sedikit kusut, pipinya bersemu segar, dan walaupun acak-acakan akan tetapi wajahnya sangat tampan.
Ia tengah menulis syair, kemudian membacanya. Suaranya lantang, jenaka:
“Burung berkicau, kupikir ia bicara padaku,
Tapi rupanya hanya kentut angin lewat sembarangan.
Ah, seperti hidup, kadang kita merasa penting...
Padahal cuma dilupakan semesta.”
“Wahai burung,” lanjutnya dengan gaya panggung, “jangan sombong. Aku juga bisa terbang! Tapi jatuh.”
Tawa meledak dari bibirnya sendiri. Ia terbahak seolah dunia tak ada beban.
“Daun gugur bukan berarti cinta luntur...
Tapi mungkin pohonnya lagi... masuk angin!”
Disusul suara “BWAAHAHAHAAA!” tawa terbahak yang menggema membelah ketenangan hutan.
Aji Sukma, anak tunggal dari pendekar legendaris Bambang Jatmika dan mendiang Seruni, pemilik Kecapi Pedang Buana dan Pedang Naga Buana yang termasyhur. Pernah menggegerkan negeri Nusa Swandika dengan sepak terjangnya.
Tidak berhenti dengan aksinya, sekarang dengan gerak teatrikal, ia berdiri di atas batu, lalu menengadah sambil bersyair dengan tema lain dan penuh penghayatan:
“Wahai kabut! Tutupilah wajahku yang terlalu tampan!
Karena jika dunia melihatku terlalu jelas...
Banyak gadis bisa lupa makan!”
Dan lagi, ia menertawakan syairnya sendiri sampai berguling ke rerumputan.
Namun, tak jauh dari sana, terdengarlah suara seretan sandal kayu dan suara batuk sengaja:
“KRAHEM! KRAHEM! Maaf, ini hutan atau panggung badut?!”
Dari balik semak pinus, muncullah Ki Balang Kerti, lelaki tua berjubah usang, tongkat bengkok di tangan, dan mulut yang selalu siap mengomel seperti cerek tua yang tak pernah mati apinya.
“Sudah jam ayam ketiga! Orang lain belajar silat, belajar pernafasan, belajar menangkis golok... Kau di sini malah bikin puisi tentang... kentut dan wajah tampan!”
Aji langsung duduk tegak, memberi hormat dengan senyum nakal.
“Selamat pagi, Ki Balang! Saya sedang dalam misi penting: menyelamatkan pagi dari kebosanan.”
“Pagi tidak minta diselamatkan! Yang perlu diselamatkan itu otakmu!”
Ki Balang mendekat, menepuk kepala Aji pelan dengan tongkat.
“Aku dengar ayahmu sampai tarik urat memanggilmu ke Bale Latihan. Mendiang ibumu dulu mengeluh kau tidak mau sentuh kecapi atau pedang, hanya bersyair seperti orang gila. Apa sebenarnya cita-citamu, hah?”
Aji menjawab sambil menopang dagu:
“Cita-citaku? Menjadi Legenda Syair Tanpa Nama. Hidup dari puisi, mati karena tertawa.”
Ki Balang memelototkan mata.
“Bagus. Kalau begitu, kau bisa tidur di bawah langit, makan daun jati, dan mungkin nikah sama semut hutan! Siapa mau hidup dengan penyair kentut macam kau?!” sembur Ki Balang Kerti seorang tetangga yang cerewet, ingin tahu akan tetapi sayang dengan Aji Sukma.
Aji bangkit, menepuk-nepuk celananya. “Eh, jangan salah, Ki. Banyak gadis menyukai penyair.”
“Karena mereka belum tahu dompetmu selalu kempes!”
Tiba-tiba, terdengar suara perut Aji berbunyi keras: GROOOGH...
Ki Balang melotot. “Tuh! Bahkan lambungmu protes! Bukan waktunya bersyair—ini waktunya sarapan!”
Dengan kesal tapi gemas, Ki Balang membuka bungkusan daun pisang dari keranjang dan menyodorkan sebungkus nasi jagung dan ikan asin.
“Makan. Dan habis ini ikut aku ke sawah. Bantu angkat karung padi. Biar tanganmu tahu kerja bukan cuma nulis puisi ngaco.”
Aji mengambil nasi, duduk sambil bersenandung.
“Nasi jagung dan ikan asin,
Pagi cerah, perut makin yakin...
Ki Balang, terima kasih banyak,
Meski marahmu seperti tokek gatal pakai gincu.”
Ki Balang menahan tawa. Tapi tak lama.
“Tokek gatal pakai gincu, hah?! Dasar bocah! Kau ini keturunan pendekar apa pelawak wayang?!”
Aji hanya tertawa lagi, puas.
Selesai makan, Aji mengikut Ki Balang ke sawah. Tapi bukan tanpa syair. Sepanjang jalan ia bersenandung, membuat Ki Balang makin gatal ingin melemparnya ke sungai.
“Sawah terbentang, hatiku senang,
Meski tak punya golok, ku punya semangat yang... setengah tang.”
“APA ITU SETENGAH TANG?!” bentak Ki Balang.
Aji tertawa. “Saya juga nggak tahu, Ki. Tiba-tiba aja mengalir begitu.”
Benar-benar aneh Aji Sukma. Putera seorang pendekar kenamaan malah bertingkah seperti itu.
Tapi mau dikata, segala sesuatu tidak bisa dipaksakan, apalagi Ki Balang Kerti hanya salah satu dari tetangga Bambang Jatmika dan mendiang Seruni, seorang jago pedang tua yang takluk dengan kehebatan Bambang Jatmika. Ia sedikit ikut prihatin, melihat perkembangan Aji Sukma, akan tetapi ia juga yakin, suatu saat Aji Sukma akan menjadi pendekar sesuai harapannya dan harapan orang tuanya tentunya.
Suatu saat!
---
Sore hari.
Di halaman belakang rumahnya, Bambang Jatmika memandangi putranya pulang dari sawah, basah, dekil, tapi... dengan wajah penuh senyum.
“Apa kau belajar sesuatu hari ini, Sukma?”
Aji mengangguk.
“Ya, Ayah. Aku belajar bahwa lumpur tidak menghalangi puisi.”
Bambang Jatmika hanya tertawa kecil. Kali ini ia tak mengomel. Ia tahu, suatu hari nanti, pemuda aneh ini akan menggetarkan dunia... entah dengan kecapi, pedang, atau kata-katanya.
Yang penting, jiwa Aji Sukma sedang tumbuh. Dengan caranya sendiri.
Keesokan harinya...
Kabut pagi menyelimuti pulau yang dihuni sedikit orang, namun terkenal sebagai tempat yang penuh legenda. Di salah satu lembahnya yang subur, berdiri sebuah rumah kayu sederhana, beratapkan daun rumbia, dikelilingi bunga-bunga liar dan pohon kelapa berdahan rendah. Di sinilah Bambang Jatmika dan puteranya, Aji Sukma, hidup.
Sejak kematian istrinya, Seruni, dunia Bambang Jatmika menjadi sunyi. Seruni meninggal karena penyakit dalam yang tak bisa disembuhkan oleh tabib mana pun. Sejak itu, ia menguburkan cerita tentang kecapi Pedang Buana dan melupakannya dengan cara mengembalikan Kecapi Pedang Buana secara diam-diam ke gudang pusaka Istana Nusa Swandika.
Lalu...
Di sisi pusara sang istri. Ia bersumpah tak akan lagi memainkan petikan yang telah membunuh dan menyelamatkan banyak jiwa itu.
"Ayah," kata Aji Sukma pada suatu pagi, duduk di bale bambu, menatap matahari yang baru terbit, "aku menulis syair lagi semalam. Tentang Ibu."
Bambang Jatmika menoleh. Wajahnya yang dahulu gagah kini dipenuhi garis waktu. "Bacakanlah, Nak."
Dengan suara lirih, Aji Sukma membaca:
"Seruni, bunga terakhir musim kemarau
Rebah dalam sunyi, namun harummu tak mau hilang
Ibu, kau tak pergi, hanya berubah menjadi angin,
Yang membisikkan cinta di sela dedaunan."
Bambang Jatmika memejamkan mata. "Kau sungguh pewaris yang tak biasa, Aji. Ilmuku tak kau sukai, tapi syairmu bisa menembus dada siapa pun."
Aji tertawa pelan. "Aku tak bisa menebas musuh, Ayah. Tapi mungkin aku bisa menenangkan hati orang dengan kata-kata."
“Ya kau lebih memilih bersyair lagi daripada berlatih silat?” tanya Bambang Jatmika dengan nada lelah, memandang anak kebanggaan satu-satunya.
Sementara itu di belakangnya, seekor kucing tua menguap.
Bambang Jatmika sudah menua. Rambutnya memutih, namun matanya masih menyorot tajam seperti dahulu, saat ia menebas musuh-musuhnya dengan petikan kecapi Pedang Buana dengan jurus Panca Sukma Bayu. Namun dunia telah berubah.
Ia tak lagi menggenggam kecapi atau memanggul pedang setiap saat. Sekarang ia hanya berharap—satu harapan terakhir: agar Aji Sukma bisa melanjutkan warisan Pedang Naga Buana. Bukan hanya memainkan pedang kayu dan seruling bambu hitamnya!
Namun Aji Sukma lebih senang bersyair, bercanda, dan... mengejar kupu-kupu.
Jauh dari rumah sederhana itu..
Di lereng gunung belakang rumah mereka, burung-burung rajawali merah anak turun Jatayu beterbangan. Mereka adalah keturunan burung legendaris seperti Sempati, teman lama Bambang Jatmika saat masih mengembara. Burung-burung itu tinggal di sarang batu tinggi, dan kadang si Garuda turun menemani Aji Sukma menulis di atas batu besar.
Ya, menulis syair. Bukan berlatih silat seperti ayahnya di waktu kecil dulu ketika diselamatkan oleh Eyang Tjiptadinata si Dewa Kecapi!
Berlatih silat ditemani oleh Jatayu dan Sempati!
Bersambung...
---