Udara pagi di Natuna selalu membawa suara yang sama: desir ombak lembut, derik perahu kayu, dan nyanyian burung kecil yang bersarang di atap-atap rumah kayu. Tapi bagi Topan, suara paling nyata adalah detak waktu. Detik-detik yang terus berlari, membawanya semakin dekat ke kenyataan yang tak pernah menunggu.
Ia bangun lebih cepat dari matahari. Jam dinding belum menunjukkan pukul lima, tapi tubuhnya sudah terbiasa dengan ritme laut. Dengan mata masih menyimpan sisa kantuk, ia melipat tikar gulungnya dan menengok ke arah dua adiknya yang masih terlelap. Keduanya masih kecil—satu kelas dua SD, satu lagi belum sekolah. Ia tersenyum tipis, lalu berdiri dan mengambil kaus yang tergantung di paku dinding.
Dapur rumah sempit itu sudah beraroma kayu bakar. Ibunya, Bu Rina, sedang meniup api kecil di tungku tanah. "Sudah bangun, Nak?" sapanya tanpa menoleh.
Topan mengangguk. "Iya, Bu. Mau bantu Ayah dulu di laut, baru sekolah."
Bu Rina tak menjawab langsung. Ia hanya menghela napas, lalu menyerahkan sebungkus nasi bungkus daun pisang. "Bawa ini. Makan di perahu, jangan lupa."
Ayahnya, Pak Anwar, sudah menunggu di tepi pantai. Tubuhnya yang kurus tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Sejak penyakit asam lambungnya makin sering kambuh, kekuatan fisiknya tak seperti dulu. Tapi ia tetap keras kepala—laut sudah seperti rumah kedua, dan menyerah bukan bagian dari kamus hidupnya.
Topan naik ke perahu, membantu melepas tali tambat, dan dalam sekejap, mereka sudah melaju menembus kabut pagi. Laut tenang, langit mulai cerah, dan garis cakrawala menyala perlahan.
"Pan," suara Ayahnya pelan. "Kalau ada kesempatan kuliah nanti, ambil. Jangan pikirin Ayah-Ibu. Kamu anak sulung, tapi kamu juga punya hak buat bermimpi."
Topan diam. Kata-kata itu pernah ia dengar sebelumnya, tapi tetap saja terasa seperti beban yang harus ia tolak. “Kalau saya kuliah, siapa yang bantu di rumah? Adik masih kecil. Uang dari mana, Yah?”
Pak Anwar hanya menatap lautan. “Rezeki Tuhan atur. Yang penting kamu jalan terus. Jangan berhenti.”
Topan menggenggam dayung lebih erat. Ombak kecil beriak pelan, seperti mengangguk diam-diam pada pernyataan Ayahnya.
Setelah satu jam di laut, mereka mendapat hasil lumayan. Ikan kembung dan tongkol cukup banyak tertangkap. Hari mulai terang. Topan tahu, ia harus segera kembali ke rumah, mandi, dan pergi ke sekolah sebelum lonceng pertama berbunyi.
---
Sekolah SMA Negeri 1 Natuna berdiri di dekat bukit rendah, tak jauh dari pantai. Gedungnya sederhana, berlantai satu, dengan dinding yang pernah dicat putih tapi kini berubah menjadi krem keabu-abuan dimakan waktu. Murid-murid berdatangan, sebagian dengan sepeda motor, sebagian berjalan kaki.
Topan datang dengan rambut masih basah dan baju seragam yang sudah sedikit kusut. Tapi tak ada yang mempermasalahkan itu. Semua tahu: Topan anak laut. Dan anak laut tidak hidup dengan cara yang sama seperti anak kota.
Di kelas XI IPA 1, suasana belum sepenuhnya gaduh. Guru belum datang. Topan duduk di bangku pojok dekat jendela—tempat favoritnya. Dari sana, ia bisa melihat laut lepas jika mencondongkan kepala sedikit. Laut adalah satu-satunya lukisan yang tak pernah membuatnya bosan.
Namun hari ini, sesuatu berubah. Atau lebih tepatnya, seseorang.
“Anak baru dari Jakarta,” bisik Gani, teman sebangkunya, sambil menunjuk ke arah pintu kelas.
Topan menoleh.
Seorang gadis dengan rambut hitam lurus yang diikat sederhana, mengenakan seragam lengkap, masuk ke kelas dengan langkah percaya diri. Ia tak tersenyum, tak juga tampak gelisah—ia hanya terlihat... berbeda. Terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang baru masuk ke dunia yang asing.
“Perkenalkan, saya Dela. Pindahan dari Jakarta,” ucapnya di depan kelas. Suaranya jelas, nadanya ringan, tapi seolah menyimpan dinding tinggi tak terlihat.
Topan menatapnya sesaat. Entah kenapa, ada sesuatu dalam sorot mata Dela yang seperti langit mendung sebelum badai. Tenang, tapi menyimpan petir.
Guru menyuruh Dela duduk di bangku kosong—di samping Topan.
"Permisi," ucap Dela singkat.
Topan mengangguk. "Topan."
Dela menoleh. "Kayak nama cuaca."
Topan nyaris tertawa, tapi hanya mengangkat alis. "Kebetulan saya juga sering datang tiba-tiba."
Dela tersenyum tipis. "Kita lihat nanti."
Dan hari itu, tanpa mereka sadari, dunia mulai berputar sedikit lebih cepat.