Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
NAFAS SANG TERBUANG

NAFAS SANG TERBUANG

OhMyZan | Bersambung
Jumlah kata
206.4K
Popular
2.7K
Subscribe
213
Novel / NAFAS SANG TERBUANG
NAFAS SANG TERBUANG

NAFAS SANG TERBUANG

OhMyZan| Bersambung
Jumlah Kata
206.4K
Popular
2.7K
Subscribe
213
Sinopsis
FantasiFantasi TimurPertualanganPendekarKultivasi
Jihan lahir tanpa harapan. Demi ibunya yang sakit, ia menentang takdir dan menapaki jalan beladirinya sendiri, sebuah jalan yang tak pernah terbayangkan bahkan oleh langit sekalipun.
BAB 1: Jihan

“Ibu, apa itu dunia beladiri?”

Suara rendah seorang pemuda menggema di dalam gubuk reot, menyisakan denyut keingintahuan yang menggantung di udara yang hening. Ekspresi penasaran terukir di wajahnya ketika ia menatap sang ibu, menunggu jawaban yang belum terucap.

Pemuda itu bernama Jihan. Dari tubuhnya yang masih muda, ia tampak berusia sekitar 13 hingga 14 tahun, usia yang menandai awal kedewasaan menurut aturan dunia ini. Pakaian yang dikenakannya tampak sederhana, terbuat dari kain berlapis dengan motif bergelombang menyerupai riak air di tepi sungai. Kerah tinggi pada pakaiannya mencerminkan kerapian dan sikap disiplin, menunjukkan ketenangan yang tak biasa bagi anak seusianya.

Tentunya, ketidakbiasaan itu bukan tanpa alasan. Ketika teman-teman sebayanya pergi bermain, Jihan tak memiliki waktu untuk hal semacam itu. Ia menghabiskan hari-harinya membantu kepala desa bekerja demi mendapatkan beberapa keping tembaga, menggantikan peran sang ayah yang telah pergi meninggalkan mereka 4 tahun lalu.

Dalam benaknya, Jihan tak pernah menyimpan dendam terhadap ayahnya yang telah pergi. Sebaliknya, ia terus berharap keluarganya bisa kembali seperti sediakala. Namun jauh di lubuk hati, ia tahu harapan itu nyaris mustahil, sebab sang ayah telah memilih jalan hidup lain dan menikah lagi.

Dan kini, beban di pundak Jihan kian berat, seiring dengan kesadaran bahwa kesehatan ibunya perlahan menurun, membuat hari-hari yang dijalani mereka semakin sunyi.

Lalu, dari ranjang kayu tempatnya bersandar, sang ibu akhirnya menjawab.

“Apa kamu ingin mendengarnya?”

Lantunan suara lembut penuh kasih itu memecah keheningan yang sempat menggantung di udara. Dibalik nada suaranya, terselip kehangatan yang mencoba mengusir rasa cemas dan penasaran di mata anaknya, meski tubuhnya sendiri kian melemah, digerus waktu dan sakit yang perlahan menggerogoti.

Wanita itu adalah Wulandari, Ibu Jihan. Dahulu, ia dikenal sebagai gadis berparas cantik nan menawan. Karena keayuannya, ia pernah dijuluki sebagai ‘Kembang Desa’, seorang wanita yang pernah menjadi pujaan hati para lelaki di seluruh desa Batu Sungai.

Jihan sendiri masih tak habis pikir bagaimana mungkin ayahnya rela meninggalkan sosok bidadari secantik ibunya. Kadang ia berpikir, mungkinkah ayahnya memang memiliki selera yang aneh?

Senyum kecil tersungging di wajah Jihan. Ia menunduk sejenak, lalu menatap kembali sang ibu.

“Aku ingin mendengarnya, Bu.”

Dalam benaknya, Jihan masih diliputi rasa penasaran. Saat berjalan pulang kemarin, usai membantu pekerjaan kepala desa, ia sempat mendengar bisik-bisik samar dari beberapa orang tentang sesuatu yang disebut "dunia bela diri". Istilah itu terdengar asing di telinganya, namun justru itulah yang membangkitkan keinginannya untuk mencari tahu lebih jauh.

Namun ketika mencoba mencari tahu, yang ia temukan justru membuatnya bingung, beberapa orang hanya menirukan gerakan aneh yang tampak kikuk dan nyaris konyol, seolah-olah mereka sendiri tidak yakin dengan apa yang sedang mereka lakukan.

Melihat tatapan tegas namun bingung dari sorot mata putranya, tawa kecil keluar dari sudut bibir wulandari, wajahnya yang pucat seakan menjadi cerah kembali seolah tau apa yang tengah dipikirkan oleh putranya tersebut.

Wulandari mengerti bahwa Jihan sedang memasuki masa pubertas, masa di mana rasa ingin tahu dan tanggung jawab terhadap dunia sekitar mulai tumbuh, seringkali melebihi perhatiannya pada diri sendiri. Ia bisa melihat tanda-tandanya dari otot-otot putranya yang mulai terbentuk, hasil dari hari-hari yang dihabiskan membantu kepala desa dalam berbagai pekerjaan, misalnya menebang kayu.

Wulandari mengangkat tangannya, menyentuh lembut telapak tangan Jihan. Kulitnya terasa kasar, dan penuh kapalan, terlalu keras dan dewasa untuk dimiliki oleh anak seumurannya

“Dunia bela diri…”

“Adalah dunia bagi mereka yang mempelajari ilmu beladiri. Tapi lebih dari sekadar jurus dan kekuatan, itu adalah jalan hidup. Jalan yang penuh disiplin, pengorbanan, dan juga bahaya.”

Wulandari terdiam sejenak, membiarkan penjelasan itu meresap dalam benak putranya, sebelum akhirnya melanjutkan.

“Adapun mereka yang menapaki jalan beladiri, disebut sebagai Pendekar atau Praktisi beladiri, mereka adalah orang-orang berbakat yang direkrut oleh perguruan-perguruan ternama.”

“Ibu, apakah Jihan bisa menjadi seorang Pendekar Beladiri?”

Rasa penasaran Jihan semakin membuncah setelah mendengar penjelasan sang ibu. Pikirannya melayang, membayangkan dirinya tumbuh menjadi seorang pendekar tangguh yang mampu melindungi ibunya. Tujuannya sederhana namun tulus ia hanya ingin melihat ibunya tersenyum, dan suatu hari merasa bangga memiliki anak sepertinya.

Namun, lamunan itu tanpa sadar tercermin di wajahnya. Sebuah ekspresi kemenangan yang canggung…setengah bangga…setengah bingung, terpampang jelas, membuat Wulandari mengernyit kecil heran melihat perubahan ekspresi pada wajah anaknya.

“Jihan, apa yang sebenarnya kamu pikirkan?”

“Ti-tidak apa-apa... Aku cuma membayangkan, bagaimana rasanya jika aku menjadi seorang pendekar dan bisa melindungi Ibu!”

Mendengar jawaban polos dan malu-malu dari Jihan, sudut bibir Wulandari perlahan melengkung, membentuk sebuah senyum hangat yang menenangkan. Deretan giginya yang seputih susu terlihat samar, memancarkan ketulusan yang bisa dirasakan.

Di balik sorot matanya, ada makna yang lebih dalam, sebuah harapan yang tak terucap.

Dalam hatinya, Wulandari hanya ingin menjaga semangat anaknya itu tetap menyala. Ia tak ingin sedikit pun membebani pikiran Jihan dengan kenyataan pahit tentang kondisinya yang kian melemah, merenggut tenaganya perlahan.

Dengan lembut, tangan Wulandari terulur. Jemarinya yang hangat menyentuh kepala putranya, mengusapnya penuh kasih sayang. Rambut panjang anaknya yang hitam tergerai lembut, menyelinap di antara jemarinya, seolah menyalurkan kehangatan dari kepedulian ibu terhadap anaknya.

“Bagus, bagus, sayang,”

“Aku yakin kamu akan menjadi pendekar hebat suatu hari nanti. Ibu akan selalu mendukungmu!”

Sebelum Jihan sempat membalas, sebuah suara memuakan yang tidak ingin ia dengar bergema. Rentetan batuk kecil keluar dari tenggorokannya, kecil, cepat lalu disusul dengan degan getaran kasar yang mengguncang dada.

"Uhuk...Uhuk"

Tangan wulandari segera terangkat menekan bibirnya seolah mencoba menahan sesuatu yang memaksa keluar, tubuhnya membungkuk lalu bergetar pelan.

Jihan mematung.

Tatapannya beralih cepat menatap ibunya yang berusaha tetap tersenyum dibalik kepayahan yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Dengan tangannya yang kecil namun liat, Jihan segera memeluk bahu ibunya itu, mengusapnya dengan penuh kehati-hatian tetapi sarat akan ketulusan, menyiratkan sosoknya sebagai pemuda yang berbakti.

“Ibu mohon jangan ditahan… itu justru bisa membuat kondisi ibu makin memburuk”

Jihan tak mampu menyembunyikan kepeduliannya. Suaranya bergetar lirih saat menatap ibunya yang bersandar lemah, tubuhnya semakin kurus, dan warna di pipinya memudar sedikit demi sedikit seperti bunga yang kehilangan kelopaknya. Setiap helaan napas sang ibu terdengar berat, membuat dadanya ikut sesak seolah merasakan penderitaannya.

Jihan telah melakukan segalanya. Upah dari kepala desa nyaris habis ia sisihkan, rasa lapar ditahannya demi bisa membeli pil penyembuh, bahkan ia rela menembus hutan kecil di timur, hanya untuk membawa pulang tabib terbaik dari desanya, Desa Batu Sungai.

Namun ketika tabib itu datang, harapan yang sempat tumbuh hanya bertahan sekejap. Tatapan sang tabib dipenuhi keraguan, dan akhirnya yang Jihan terima hanyalah gelangan pelan, sebuah isyarat sunyi yang berbicara lebih lantang daripada kata-kata, bahwa ia tak mampu melawan penyakit yang perlahan menggerogoti sang ibu.

Ibunya, seperti biasa, hanya tersenyum lemah dan berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Namun di telinga Jihan, kalimat itu terdengar seperti perpisahan yang diselipkan dalam kepura-puraan yang tenang. Dan justru karena itulah, ia menguatkan tekad.

Sejak saat itu, hanya satu tujuan tertanam dalam hatinya.

'Ibu… aku bersumpah, bahkan jika langit menutup semua jalan, Jihan akan tetap menemukan caranya. Apa pun yang terjadi, aku akan menyembuhkan Ibu.'

Janji itu terukir dalam benaknya, sebuah ikrar yang kelak akan menuntunnya ke dunia yang tak pernah ia bayangkan… dunia yang akan menguji segalanya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca