Langkah kaki Raka terdengar mantap di lantai marmer lobi gedung Orion Tech Tower. Jas hitamnya rapi, dasinya terikat sempurna, dan tatapannya tajam seperti biasa. Ia datang bukan untuk bekerja di sini, melainkan menjalankan tugas audit keamanan—profesinya sebagai konsultan keamanan data membuatnya sering keluar masuk gedung-gedung besar, tapi hari ini rasanya berbeda.
Dari luar, Orion Tech Tower tampak seperti simbol kemegahan teknologi Indonesia; kaca-kaca biru berkilau memantulkan cahaya pagi, dan papan nama besar di depan lobi menandakan status perusahaan ini sebagai pemain global. Namun bagi Raka, setiap gedung tinggi selalu punya rahasia di balik kilauannya.
Sambil menyerahkan kartu identitas kepada resepsionis, pandangannya sempat menangkap sosok wanita di sudut lobi. Ia duduk sambil mengetik cepat di laptop, rambut hitam panjangnya tergerai, dan ada kerutan tipis di keningnya—tanda ia sedang fokus. Wanita itu mengenakan blazer abu-abu, celana hitam ketat, dan sepatu hak rendah.
Raka belum pernah melihatnya sebelumnya, tapi instingnya langsung menilai: pekerja lapangan, bukan karyawan biasa.
“Pak Raka, ini kartu tamunya,” kata resepsionis.
“Terima kasih,” jawab Raka singkat. Ia melangkah menuju lift, namun baru beberapa langkah, suara wanita tadi memanggil, “Mas, sebentar.”
Raka menoleh. “Saya?”
Wanita itu menutup laptopnya, bangkit, dan berjalan cepat menghampiri. “Iya, mas. Namanya Raka, kan? Konsultan keamanan?”
Tatapannya tajam, tapi bukan tatapan ramah. Lebih seperti tatapan seseorang yang sedang menginterogasi.
Raka mengangkat alis. “Iya, kenapa?”
“Apa benar Anda dikontrak Orion Tech minggu ini?”
“Betul. Ada masalah?”
Wanita itu menyilangkan tangan di dada. “Masalah banyak. Dan saya rasa Anda bagian dari masalah itu.”
Raka tersenyum tipis. “Kita bahkan belum saling kenal, tapi Anda sudah menuduh saya. Siapa Anda?”
“Dira,” jawabnya singkat. “Jurnalis. Saya sedang menginvestigasi kebocoran data di perusahaan ini, dan—”
Sebelum Dira sempat melanjutkan, suara alarm mendadak meraung di seluruh gedung. Lampu-lampu darurat menyala, lift berhenti beroperasi, dan resepsionis terlihat panik.
“Semua karyawan harap menuju jalur evakuasi!” terdengar suara dari pengeras suara.
Orang-orang mulai bergerak tergesa-gesa menuju tangga darurat. Raka dan Dira saling pandang sebentar.
“Ini kebetulan yang terlalu aneh,” gumam Raka.
“Aneh atau tidak, saya ikut Anda,” jawab Dira, meski nadanya masih curiga.
Mereka berlari menuju pintu tangga darurat. Namun begitu melewati pintu besi, suara pintu itu menutup keras, dan saat Raka mencoba membukanya lagi—terkunci dari luar.
“Bagus… kita terkunci di sini,” desis Dira.
Tangga itu hanya mengarah ke bawah. Mereka pun turun hingga lantai terendah, berharap ada jalan keluar lain. Tapi yang mereka temukan hanyalah sebuah ruang tunggu kecil di basement—lampu redup, dinding beton, dan satu pintu baja di ujung ruangan.
Raka mencoba pintu baja itu. Terkunci.
“Sepertinya kita… tidak di sini secara kebetulan,” kata Dira, napasnya sedikit terengah.
Raka mengamati ruangan itu. Tidak ada CCTV di dalam, hanya satu di luar pintu yang mengarah ke lorong gelap. Dari kejauhan, samar-samar terdengar langkah kaki. Pelan, berat, dan ritmis.
“Dira, mundur,” bisik Raka sambil meraih benda logam dari sudut ruangan—sebatang kunci inggris besar yang entah kenapa ada di sana.
Langkah kaki itu semakin dekat, lalu berhenti tepat di luar pintu. Sunyi.
Kemudian… tok… tok… tok. Suara ketukan perlahan, seakan orang di luar tahu mereka ada di dalam.
“Siapa di sana?” teriak Dira, mencoba terdengar tegas.
Tidak ada jawaban. Hanya ketukan yang diulang, kali ini sedikit lebih keras.
Raka memberi isyarat agar Dira diam. Ia mendekat ke pintu, mencoba mendengar. Detik berikutnya, suara gesekan logam terdengar dari sisi luar—seperti seseorang sedang mencoba membuka kunci.
“Siapapun itu, dia bukan petugas keamanan,” gumam Raka.
Dira merapat ke dinding, matanya menatap Raka dengan tegang. “Apa kita akan baik-baik saja?”
Raka menatap balik, senyum tipisnya kali ini nyaris tidak terlihat. “Saya tidak yakin.”
Ketika suara kunci berputar, Raka mengangkat kunci inggris itu, bersiap. Dira menahan napas. Pintu mulai terbuka…
Dan di sanalah mereka berdiri, dua orang asing yang sama-sama penuh pertimbangan, dihadapkan pada awal dari sesuatu yang akan mengubah hidup mereka—entah menjadi lebih baik atau justru lebih buruk.