Prolog – Catatan dari Tahun Darah
> Tahun itu dikenal sebagai Tahun Darah, ketika langit di timur terbakar merah dan bumi di utara dipenuhi jejak kaki pasukan asing. Ardhanapura, negeri yang selama dua abad berdiri tak tergoyahkan, tiba-tiba menjadi mangsa di antara dua naga raksasa: Sarvanta dan Ligor.
Kerajaan Ardhanapura membentang dari pegunungan bersalju di utara hingga pesisir selatan yang kaya pelabuhan. Selama puluhan tahun, perdagangan rempah, besi, dan kain halus membuat negeri ini makmur. Namun, kemakmuran yang terlalu lama melahirkan penyakit: kemalasan di antara bangsawan, kesombongan di antara perwira, dan perebutan kekuasaan di dalam istana.
Sarvanta, kerajaan timur yang dikenal dengan infanteri beratnya, telah lama mengincar pelabuhan-pelabuhan Ardhanapura. Sementara Ligor di utara, sebuah kekaisaran kavaleri, melihat peluang untuk menguasai jalur darat dan memutus perdagangan. Kedua musuh ini jarang bekerja sama, tetapi pada tahun itu, mereka menemukan kesamaan tujuan: memecah Ardhanapura.
Di tengah situasi itu, seorang panglima muda muncul—Arya Wicaksana. Berasal dari keluarga perwira lapangan, Arya tidak memiliki darah bangsawan, hanya reputasi di medan perang. Ia dikenal karena taktik yang tak lazim, keputusan cepat yang sering bertentangan dengan perintah resmi, dan kesetiaannya pada rakyat lebih dari pada istana.
Bagi sebagian orang di dewan perang, ia hanyalah perwira yang terlalu muda dan berani melawan tradisi. Bagi para prajurit, ia adalah komandan yang berjalan di garis depan bersama mereka, berbagi air di tengah gurun, dan tidur di tanah becek bersama pasukan.
Tahun Darah dimulai dengan jatuhnya Benteng Perisai Utara ke tangan Ligor. Dalam waktu kurang dari sebulan, Sarvanta menyerbu perbatasan timur dan mengancam jalur utama menuju ibu kota.
Benteng Gerbang Timur—sebuah pos pertahanan yang dianggap tak terkalahkan—tiba-tiba menjadi garis terakhir sebelum ibu kota jatuh. Dan di sinilah Arya Wicaksana ditugaskan, bukan hanya untuk memimpin pertahanan, tetapi untuk mempertaruhkan seluruh hidupnya demi memastikan Ardhanapura tetap berdiri.
Sejarawan mencatat, hari itu kabut tebal menyelimuti Lembah Waringin. Para prajurit menunggu dalam diam, genderang perang Sarvanta terdengar dari kejauhan, dan seorang panglima muda berdiri di menara batu, menatap ke arah timur, siap menulis bab pertama dari perang yang akan mengubah sejarah negeri ini selamanya.