Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
OBSESI SEPUPU PSIKOPAT

OBSESI SEPUPU PSIKOPAT

Coklat Stroberi | Bersambung
Jumlah kata
186.3K
Popular
100
Subscribe
4
Novel / OBSESI SEPUPU PSIKOPAT
OBSESI SEPUPU PSIKOPAT

OBSESI SEPUPU PSIKOPAT

Coklat Stroberi| Bersambung
Jumlah Kata
186.3K
Popular
100
Subscribe
4
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifePsikopatThriller21+
Ginan selalu tahu bahwa cintanya terlarang. Bagaimana mungkin seorang pria jatuh hati pada sepupunya sendiri? Namun rasa kagum itu pelan-pelan berubah menjadi obsesi. Apa pun yang dilakukan sepupunya,senyum, tatapan, bahkan sekadar langkah kecil, tertanam dalam benaknya, menjelma candu yang tak bisa dilepaskan.Semakin dalam ia terperangkap, batas antara cinta dan kegilaan pun mengabur. Ginan rela melakukan apa saja agar tak kehilangan sosok yang ia puja. Dalam diam, cintanya tumbuh menjadi kegelapan membentuk dirinya menjadi seseorang yang tak lagi bisa disebut manusia biasa. Seorang pecinta? Atau seorang psikopat?
WANITA LAIN DI ACARA IJAB KABUL

Suasana di dalam gedung pernikahan itu penuh dengan harapan dan kegembiraan. Para tamu mengenakan busana terbaik mereka, wajah-wajah berseri menanti momen sakral yang akan segera berlangsung. Namun, di dalam hati Andreas, ada ketidakpastian yang menggelayut. Ia berdiri di hadapan penghulu, mengenakan jas rapi, tetapi pikirannya melayang jauh.

Aisha, wanita cantik berambut coklat bergelombang, berdiri di sampingnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Andreas tahu bahwa ia seharusnya bahagia, bahwa mereka seharusnya saling mencintai. Namun, perasaan itu tidak pernah ada.

Ketika penghulu mulai membacakan doa dan momen ijab kabul itu tiba, dengan suaranya yang tegas, ia mengambil nafas dalam-dalam, berharap bisa melakukan segalanya dengan benar. Namun saat itu terjadi, aliran pikirannya seolah terhenti.

"Saya terima nikahnya Adinda Kirana..." ia tertegun dengan sebuah nama yang terasa tak asing bagi dirinya, namun Andreas tak dapat mengingat apapun tentang sosok Adinda Kirana yang ia sebut namanya.

Kejadian itu menghentikan seluruh ruangan. Suara riuh yang sebelumnya ada berubah menjadi hening yang mencekam. Bisikan bingung mulai terdengar di antara para tamu. Beberapa orang saling berpandangan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Penghulu mendongak, memastikan bahwa ia mendengar dengan benar, sementara ayah Aisha menegakkan tubuhnya, terlihat jelas ada kemarahan dan kebingungan di wajahnya.

"Apa maksudmu, Andreas?" bisik ayah Aisha. Suaranya bergetar antara marah dan kecewa.

Andreas, yang tiba-tiba merasa bingung, hanya bisa menatap Aisha dengan penuh ketidakpahaman. Ia tidak sepenuhnya menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.

"Aku... aku mohon maaf. Aku... tidak ingat," gumamnya perlahan. Membuat semua yang hadir semakin heran.

Setelah beberapa detik mencekam itu, penghulu berusaha menjaga ketenangan. "Tuan Andreas, apakah Anda yakin dengan nama pengantin wanita yang Anda sebutkan? Kita sedang dalam proses ijab kabul," tanyanya, berusaha mencairkan suasana yang tegang.

Ayah Aisha, meskipun terkejut, bertekad untuk tetap melanjutkan acara. "Lanjutkan saja pak, kita tidak bisa membatalkan ini. Aisha adalah putriku dan ini adalah saat yang telah ditunggu-tunggu," katanya dengan tegas. Namun, dalam hatinya, rasa sakit dan kekhawatiran menorehkan garis keraguan.

Andreas merasakan tekanan di dadanya. Bagaimana bisa ia menghadapi semua ini? Dalam hatinya, ia terus menerus berjuang untuk menggali memori yang hilang, mencari tahu siapa sebenarnya Adinda bagi dirinya, dan mengapa tiba - tiba namanya terlintas dalam pikirannya. Ia merasa terjebak di antara dua dunia yang ingin ia lupakan dan yang ingin ia ingat.

Dengan menahan nafas, ia akhirnya kembali memandang Aisha. Dapatkah ia mencintai perempuan ini, yang sekarang berdiri di sampingnya dengan harapan di wajahnya?

"Tolong fokus Ndre" Ucap Sang Ayah yang juga ada di sampingnya.

Andreas kembali menarik nafasnya dalam - dalam, tangannya kembali terulur untuk berjabatan dengan pria paruh baya di hadapannya.

Wajahnya nampak pucat dengan buliran keringat yang mulai turun menjelajah dari pelipis hingga ke rahang tegasnya.

Perasaan takut akan kembali salah mengucapkan nama calon mempelai wanita terus menggelayuti fikirannya. Juga Adinda Kirana yang terus disebutnya, siapa wanita itu? Jelas - jelas wanita yang bersamanya kini, bahkan 10 tahun belakangan hanya satu dan namanya dari dulu tidak berubah, tetap Aisha Maharani.

"Tolong jangan salah lagi, Mas" Bisik Aisha pelan.

Aisha yang sudah malu karena calon suaminya selalu salah menyebutkan nama itu pun lebih banyak tertunduk dan menjaga sikap.

Aisha itu ibaratkan bidadari yang sengaja Tuhan turunkan ke bumi. Wanita berparas cantik hampir sempurna itu memiliki iris mata biru dengan hidung mancung, serta bibir tipis yang membuat semua mata pria enggan beralih saat menatapnya.

Hanya dengan selangkah lagi, mengikrarkan kalimat sakral untuk menjadikan Aisha pendamping hidup satu - satunya yang sah dan untuk memiliki sepenuhnya seluruh pesona bidadari cantik itu, Andreas malah terus mengacaukannya.

Sebenarnya bukan Andreas, tetapi fikiran, hati, dan bibirnya yang selalu tertuju pada satu nama yang ia sendiri bahkan tidak tahu dari mana nama itu berasal bahkan bisa sampai singgah di benaknya. Sedangkan ingatan tentang diri seorang Adinda pun sama sekali tidak ada di sana. Ini sangat konyol, mengingat Aisha lah yang selama 10 tahun sudah setia menemaninya.

Dan dari waktu 10 tahun kebersamaannya dengan Aisha. Di setiap hari yang terus berganti. Kenapa harus hari ini Andreas salah menyebutkan namanya.

***

Andreas berlari sekuat tenaga, jantungnya berdetak kencang, memacu darahnya di setiap langkah.

Jalanan di depan terlihat sepi, malam yang sunyi hanya diisi oleh suara langkah kakinya yang berderap cepat. Lampu-lampu jalan berkelip samar, memberikan penerangan yang cukup untuk membuatnya bisa melihat ke depan, namun tidak cukup untuk menghilangkan bayangan-bayangan kelam yang bersembunyi di sudut-sudut gelap.

Bayangan Andreas terpantul di dinding-dinding bangunan yang ia lewati, terlihat seolah sedang dikejar oleh sesuatu. Ia tidak tahu apa yang membuatnya berlari secepat ini, tetapi instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang harus segera ia temukan.

Napasnya terengah-engah ketika ia akhirnya tiba di sebuah gang sempit. Langkahnya terhenti mendadak ketika menyadari bahwa ia telah terjebak di jalan buntu. Dinding bata yang menjulang tinggi menutup semua kemungkinan untuk melarikan diri. Andreas memutar tubuhnya, memandang sekitar dengan panik, namun tidak ada jalan keluar. Hanya ada kegelapan yang mengintainya.

Di ujung gang itu, sebuah sosok terduduk lemah di tanah. Sosok seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang menutupi wajahnya. Andreas merasa napasnya terhenti sejenak. Jantungnya berdegup kencang, perasaan tidak nyaman semakin menguat di dalam dirinya.

Wanita itu tampak tak berdaya, tubuhnya membungkuk seperti boneka yang kehilangan nyawa. Andreas bisa melihat noda-noda darah yang menodai pakaian wanita itu, membuat hatinya teriris perih.

Siapa wanita itu? Mengapa dia ada di sini?

Ketika Andreas mulai melangkah maju, niatnya adalah untuk menolong, untuk memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Namun, sebelum ia bisa mendekat, bayangan besar tiba-tiba muncul dari kegelapan. Orang bertopeng dengan tongkat baseball di tangannya. Topeng putih yang menutupi wajahnya membuatnya terlihat lebih menyeramkan dalam gelapnya malam.

Tanpa peringatan, orang bertopeng itu mengayunkan tongkat baseballnya dengan keras ke arah Andreas. Andreas tidak punya waktu untuk bereaksi. Tubuhnya merasakan hantaman keras yang membuatnya terjatuh ke tanah, rasa sakit menjalar cepat di sekujur tubuhnya. Dunia seakan berputar, namun pandangannya tetap terfokus pada wanita itu.

Andreas terbaring di dekat wanita itu, kepalanya berdentum kencang, nyeri yang menusuk membuat pikirannya menjadi kacau. Namun, ia tetap berusaha sadar, meskipun rasa sakit semakin menguasai tubuhnya. Andreas tahu ia harus melakukan sesuatu, harus memastikan siapa wanita itu.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Andreas mengulurkan tangannya ke arah rambut wanita itu. Jari-jarinya yang gemetar mulai meraih helaian-helaian rambut hitam yang jatuh menutupi wajah wanita itu. Hatinya penuh dengan ketakutan, namun dorongan untuk mengetahui identitas wanita itu lebih kuat dari apa pun.

Seiring dengan setiap inci rambut yang ia sibakkan, rasa nyeri di kepalanya semakin berdenyut kuat. Denyutan itu semakin kencang, seolah ada sesuatu yang menekan otaknya dari dalam. Andreas menggertakkan giginya, mencoba mengabaikan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi, namun kepalanya seakan akan meledak.

Beberapa inci lagi, hanya beberapa inci lagi tangannya akan menyentuh wajah wanita itu. Namun, di saat yang sama, penglihatannya mulai kabur. Dunia sekitarnya mulai berputar, suara-suara mulai terdengar seperti bisikan-bisikan jauh yang tidak bisa ia pahami. Rasa sakit di kepalanya semakin tak tertahankan, hingga akhirnya semuanya menjadi gelap.

Andreas terkulai lemas di samping wanita itu, jari-jarinya yang hampir menyibakkan rambut wanita tersebut kini terkulai tak berdaya. Rasa sakit di kepalanya membuatnya kehilangan kesadaran, tenggelam dalam kegelapan yang dingin dan menakutkan.

Namun di tengah kegelapan itu, ada satu pikiran yang masih tersisa, satu pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Siapa wanita itu? Dan mengapa dia merasa sangat perlu untuk mengetahui jawabannya? Rasa penasaran itu menghantui pikirannya yang sekarat, seperti bayangan gelap yang tidak mau hilang.

Dalam detik-detik terakhir sebelum semua benar-benar hilang, Andreas merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak pada tempatnya. Dan di dalam kegelapan, sebuah kenyataan mengerikan perlahan-lahan mulai menyusup ke dalam pikirannya yang hampir tidak sadar. Mungkin, wanita itu bukanlah sosok yang asing baginya. Mungkin, dia adalah seseorang yang sangat dikenalnya.

Namun, sebelum ia bisa mengungkap kebenaran, Andreas terjatuh ke dalam kegelapan yang dalam, meninggalkan semua pertanyaan tanpa jawaban, dan semua rasa sakit yang kini terasa jauh.

Andreas terbangun dengan tiba-tiba, napasnya memburu seperti habis dikejar sesuatu. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit ruangan yang tak asing dan gelap.

Tubuhnya berkeringat, kemeja yang ia kenakan basah oleh keringat dingin yang mengucur dari seluruh pori-porinya. Ia merasakan dadanya naik-turun dengan cepat, seolah-olah ia baru saja melepaskan diri dari cengkeraman sesuatu yang mengerikan.

Mimpi buruk itu masih jelas terbayang di benaknya. Sosok wanita yang terduduk lemah dengan rambut hitam panjang menutupi wajahnya, gang sempit yang menyesakkan, dan orang bertopeng yang menghantamnya tanpa ampun. Semua terasa begitu nyata, begitu mengerikan.

Andreas bisa merasakan rasa sakit itu lagi di kepalanya, denyutan yang seolah memukul dari dalam tengkoraknya, membuatnya mengerang pelan saat tersentak dari tidurnya. Tangannya secara refleks memegang kepalanya yang berdenyut nyeri, mencoba menghalau rasa sakit yang masih terasa begitu nyata.

Perlahan-lahan, kesadarannya mulai kembali, dan ia menyadari bahwa dirinya bukan berada di dalam gang gelap yang menyeramkan itu. Tidak ada orang bertopeng, tidak ada wanita dengan rambut hitam panjang. Ia berada di sebuah ruangan yang lebih aman, dan tempat ini jauh dari mimpi buruk yang baru saja ia alami. Andreas mengedarkan pandangannya, matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan di sekitarnya. Dalam keremangan, ia menyadari bahwa ia sedang terbaring di atas sebuah sofa. Sofa abu yang empuk, dengan bantal yang nyaman di bawah kepalanya.

Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh sedikit cahaya dari lampu meja yang redup di sudut ruangan. Ia mengerutkan kening, berusaha mengingat bagaimana ia bisa berada di sini. Pikirannya masih kabur, namun perlahan-lahan semuanya mulai masuk akal. Andreas ingat bahwa ia sudah terlalu lelah ketika pulang dari resepsi pernikahannya, tubuhnya terlalu berat untuk dibawa ke tempat tidur. Ia teringat duduk di sofa ini, mencoba memejamkan mata sejenak, hanya untuk beristirahat. Namun tanpa ia sadari, rasa kantuk yang begitu dalam menyeretnya ke dalam tidur, dan akhirnya ke dalam mimpi buruk yang menyiksa.

Andreas menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Jari-jarinya mengusap keningnya, merasakan sisa-sisa rasa sakit yang perlahan-lahan memudar. Ia mengguncang-guncangkan kepalanya, berusaha membuang bayangan mimpi buruk itu dari pikirannya, namun perasaan tidak nyaman itu tetap menggantung di sana, seolah ada sesuatu yang belum selesai. Ia duduk perlahan di atas sofa, merasakan bantalan sofa yang empuk di bawah tubuhnya.

Ia mendesah pelan, menyadari bahwa tidur lagi mungkin akan sulit setelah mimpi mengerikan yang baru saja ia alami. Namun meski begitu, Andreas tidak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan gelisah yang terus menggantung di benaknya. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu menakutkan. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha mengingat detailnya, tetapi semakin ia mencoba mengingat, semakin terasa aneh dan mengganggu. Ada sesuatu dalam mimpi itu yang seolah berusaha memberitahunya, sesuatu yang penting.

Tetapi apa? Siapa wanita itu? Dan mengapa rasa sakit itu terasa begitu nyata?

Andreas menggigit bibirnya, merasa frustrasi karena tidak bisa memahami makna mimpi tersebut. Ia mengusap wajahnya, merasakan keringat dingin yang masih mengalir di kulitnya. Mungkin itu hanya sekadar mimpi buruk, hasil dari pikiran yang lelah dan stres yang menumpuk. Namun bagian dari dirinya tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa mimpi itu lebih dari sekadar mimpi. Bahwa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tersembunyi di balik kegelapan mimpinya.

Langkah-langkah kaki yang lembut terdengar mendekat, dan Andreas menyadari bahwa dia tidak sendirian. Aisha, istrinya yang baru, masuk ke ruangan dengan segelas air di tangannya. Cahaya lampu yang lembut dari dalam kamar menerangi sosoknya, membuat Aisha terlihat tenang dan penuh perhatian, meskipun Andreas tidak bisa menghilangkan rasa hampa yang memenuhi hatinya setiap kali melihat wanita itu.

"Apa yang terjadi, mas?" tanya Aisha dengan suara lembut, matanya yang penuh perhatian menatap suaminya dengan kekhawatiran. Dia mendekat, menawarkan gelas air kepada Andreas, mencoba memberikan kenyamanan meskipun ia tahu betul bahwa Andreas belum bisa menerima kehadirannya.

Andreas menghela napas pelan, mencoba menyingkirkan bayangan mimpi buruk itu dari pikirannya. Ia meraih gelas itu tanpa berkata apa-apa, merasakan dinginnya gelas kaca di tangannya. Aisha tetap berdiri di sana, menunggu dengan sabar, berharap suaminya akan mengatakan sesuatu.

"Minumlah," desak Aisha dengan lembut, mencoba memecah keheningan yang terasa berat di antara mereka. "Ini akan membuatmu merasa lebih baik."

Andreas menatap Aisha sejenak, ada perasaan tidak nyaman yang sulit diabaikan. Meskipun Aisha berusaha bersikap baik dan perhatian, Andreas tahu bahwa perasaan dingin dan hampa di hatinya tidak akan mudah hilang. Dia merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkannya, dengan seorang wanita yang meskipun baik hati, tidak bisa ia cintai.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Andreas meneguk air itu perlahan. Cairan dingin mengalir melewati tenggorokannya, namun tidak cukup untuk menghapus kekacauan dalam pikirannya. Ia memandang jam dinding di ruang tamu yang nyaris tidak terlihat di tengah gelapnya pagi.

"Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan suara serak, tidak memedulikan kekhawatiran yang terpancar di wajah Aisha.

"Sudah pukul lima pagi," jawab Aisha dengan nada lembut, meskipun hatinya terasa perih karena sikap Andreas yang dingin. "Masih ada waktu untuk beristirahat lagi, kalau kamu mau, mas"

Andreas menundukkan kepalanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Namun, perasaan hampa itu tidak mau pergi, sebaliknya malah semakin menguat. Ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa ia katakan atau lakukan di hadapan Aisha tanpa membuat dirinya semakin tenggelam dalam kekosongan yang ia rasakan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Andreas menyerahkan kembali gelas kosong itu kepada Aisha, lalu berdiri dari sofa. Dengan gerakan yang terkesan dingin dan tidak peduli, ia melangkah melewati istrinya, menuju tangga yang mengarah ke kamarnya di lantai atas. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang terus menekan dari dalam dirinya.

Aisha menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, merasa putus asa namun tak berdaya. Dia tahu Andreas masih belum bisa menerima kehadirannya sepenuhnya, tetapi dia tetap berharap bahwa waktu akan membawa perubahan. Namun, malam ini, Andreas memilih untuk menjauh, meninggalkannya sendirian dalam keheningan yang dingin.

Andreas mencapai puncak tangga, lalu tanpa menoleh ke belakang, ia masuk ke kamarnya. Pintu ditutup dengan lembut, tetapi bagi Aisha, suara itu terdengar seperti pemisah antara mereka berdua, semakin memperlebar jarak yang sudah ada.

Di dalam kamar, Andreas bersandar di pintu, menutup matanya yang lelah. Ia tahu bahwa sikapnya tidak adil bagi Aisha, namun ia tidak bisa memaksa dirinya untuk merasakan apa yang seharusnya ia rasakan. Di dalam hatinya, Andreas hanya bisa merindukan apa yang telah hilang dan mencoba bertahan dalam kebingungan yang tidak berujung.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca