Fajar baru saja merekah ketika langkah Ardi Pratama menjejak jalan beraspal yang basah sisa hujan semalam. Udara pagi menusuk kulit, bercampur bau oli dari bengkel-bengkel pinggir jalan yang baru saja membuka pintu. Di tangannya tergantung sebuah tas kecil berisi bekal nasi dan tempe goreng buatan ibunya. Wajahnya masih menyimpan kantuk, tapi di balik mata yang sayu tersimpan semangat yang ia sendiri sulit jelaskan.
Hari itu adalah hari pertamanya bekerja di pabrik besar di pinggir kota. Sejak lama ia menunggu kesempatan ini, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga demi ibunya yang sudah terlalu lama memikul beban sendirian, serta adiknya, Dewi, yang masih sekolah. Ada semacam kebanggaan kecil: akhirnya ia bisa mengucapkan kalimat sederhana itu—“Aku sudah bekerja.”
Gerbang pabrik menjulang di depannya, catnya kusam, tapi bagi Ardi terasa seperti pintu gerbang menuju dunia baru. Di depan gerbang, puluhan pekerja sudah mengantri, sebagian berlarian kecil agar tidak terlambat. Sirine panjang meraung, menggetarkan udara, tanda jam masuk sudah tiba.
Seorang pemuda bertubuh tegap menoleh ke arahnya. “Baru ya, Mas?” tanyanya sambil tersenyum ramah.
Ardi mengangguk kikuk. “Iya. Saya Ardi.”
“Seno. Nanti kita satu divisi. Santai aja, nggak usah tegang. Hari pertama pasti bingung, tapi lama-lama terbiasa.”
Obrolan singkat itu menenangkan hati Ardi. Ketika jarinya menempel ke mesin absensi dan terdengar bunyi bip, ia resmi tercatat sebagai buruh pabrik. Ada perasaan asing tapi hangat: ia kini bagian dari barisan panjang manusia pencari nafkah.
Begitu melangkah masuk, suara mesin langsung menghantam telinga. Deru, dentuman, dan gesekan logam berpadu menjadi orkestra yang kasar tapi penuh irama. Ruang produksi luas, cahaya lampu putih berpendar dingin, menimpa deretan mesin tinggi menjulang. Pekerja berlarian kecil ke pos masing-masing, seolah dunia ini bergerak dengan aturan yang tak tertulis namun tegas.
“Ini tempatmu,” ujar seorang mandor berperawakan keras, menunjuk sebuah mesin besar. “Tugasmu ngawasi alur. Kalau macet atau aneh, jangan sok tahu, langsung panggil senior.”
Ardi mengangguk. Tangannya gemetar, tapi ia cepat menenangkan diri. Ia berdiri di samping Seno, memperhatikan gerakan tangan kawannya itu. Pelan-pelan ia menyalin, menyesuaikan, mencoba mengerti ritme mesin yang menderu tak henti.
Jam demi jam berjalan, tubuhnya terasa kaku karena berdiri terlalu lama. Namun di tengah kebisingan itu, ia justru merasa sedang menjalani sesuatu yang penting. Ada kepuasan kecil setiap kali mesin berjalan lancar di bawah pengawasannya.
Saat sirine istirahat siang berbunyi, Ardi duduk di lantai bersama pekerja lain. Ia membuka bekal nasi dengan tempe goreng dan sambal terasi. Seno duduk di sampingnya, membuka bekal yang mirip. Mereka saling tersenyum saat menyadari lauk sederhana itu seakan menjadi simbol kebersamaan.
“Dari mana kamu, Di?” tanya Seno sambil mengunyah.
“Pinggir kota. Rumah kecil, tapi lumayan dekat. Kalau jalan kaki, sekitar tiga puluh menit.”
“Wah, lumayan hemat ongkos. Aku dari desa sebelah, tiap hari naik motor. Jauh, tapi ya kerja harus dijalani.”
Obrolan berlanjut, ringan tapi hangat. Tentang keluarga, tentang alasan bekerja. Ardi bercerita bagaimana ia ingin membantu ibunya yang berjualan kecil-kecilan di rumah, dan membiayai sekolah adiknya. Suaranya mantap, ada keyakinan kuat di dalamnya.
“Kerja di sini lumayan kok,” kata Seno. “Gajinya memang nggak besar, tapi tiap bulan pasti keluar. Nggak kaya tempat lain yang sering telat bayar. Asal kita rajin, bos nggak bakal banyak cerewet.”
Ardi mengangguk, merasa lega. Ia mulai percaya bahwa ia tidak salah melangkah. Mungkin memang begini rasanya: melelahkan, tapi terjamin.
Sore tiba, sirine panjang kembali meraung. Para pekerja menyambutnya dengan sorakan kecil. Tubuh mereka basah oleh keringat, tapi ada senyum lega yang sama di wajah mereka. Ardi ikut tersenyum, meski betisnya terasa pegal. Hari pertama selesai, dan ia berhasil melaluinya.
Perjalanan pulang ia tempuh dengan berjalan kaki. Langit sore berwarna jingga, burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Ardi menghirup dalam-dalam udara yang bercampur aroma tanah dan asap kendaraan. Ia merasa letih, tapi letih yang manis—letih yang membawa arti.
Sesampainya di rumah, ibunya menyambut dengan senyum lega. “Capek, Nak?” tanyanya sambil menerima tas kecil Ardi.
“Capek, Bu. Tapi senang. Rasanya beda kerja pakai keringat sendiri.”
Adiknya, Dewi, berlari kecil sambil membawa buku sekolah. “Kak, aku senang banget kamu kerja. Sekarang aku nggak usah takut biaya sekolah lagi, kan?”
Ardi mengusap kepala adiknya. “Sekolah yang rajin. Biar aku yang kerja, kamu cukup belajar.”
Malam itu mereka makan bersama di meja kecil, hanya beralaskan tikar. Nasi hangat, sayur bening, dan sambal sederhana terasa lebih nikmat dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda—bukan karena lauknya, melainkan karena kini ada harapan baru yang duduk bersama mereka.
Setelah makan, Ardi duduk di teras, menatap langit penuh bintang. Kakinya pegal, tangannya masih bergetar karena seharian menahan getaran mesin. Tapi senyum tak hilang dari bibirnya. Ia berbisik pada dirinya sendiri: “Hari ini langkah pertama. Aku harus kuat. Demi ibu. Demi Dewi.”
Hari-hari berikutnya berjalan serupa. Bangun pagi sebelum matahari terbit, berangkat ke pabrik dengan tas kecil di tangan, berdiri di depan mesin, istirahat dengan bekal sederhana, lalu pulang dengan tubuh letih. Tapi Ardi menjalaninya dengan sabar. Baginya, setiap tetes keringat adalah bukti bahwa ia berguna.
Kadang, ketika mesin kecil macet, Ardi mencoba membantu Seno. Tangannya cekatan, meski pengetahuannya hanya dasar. “Kamu cepat nangkep, Di,” puji Seno suatu siang. “Orang lain butuh waktu lama belajar, kamu sekali lihat udah bisa.”
Ardi hanya tersenyum, merendah. “Mungkin karena aku suka otak-atik. Dari kecil terbiasa benerin barang rusak di rumah.”
Pekerja lain pun mulai mengenalnya sebagai pemuda yang bisa diandalkan. Jika ada baut longgar, kabel lepas, atau mesin rewel, biasanya nama Ardi dipanggil duluan. Meski bukan tugas resminya, ia tak pernah keberatan membantu. Ada rasa bangga kecil di hatinya: di antara deru mesin dan keringat buruh, ia menemukan jati diri sebagai orang yang bisa memberi solusi.
Ketika gaji pertama turun, mata Ardi berbinar. Jumlahnya memang tak besar, tapi cukup membuat dadanya bergemuruh. Ia menyerahkan sebagian besar pada ibunya, menyisakan sedikit untuk ongkos dan kebutuhan pribadi.
“Ibu, ini gaji pertama. Beli apa aja yang perlu. Aku masih bisa makan di pabrik,” katanya sambil tersenyum.
Ibunya menatap haru. “Terima kasih, Nak. Kamu sudah jadi lelaki sejati.”
Ucapan itu membuat dada Ardi hangat. Malam itu ia tidur lebih cepat, tapi senyum tetap bertahan di wajahnya. Dalam hati ia berjanji: “Aku harus terus kuat. Hidup memang berat, tapi aku bisa menanggungnya.”
---
Hari-hari berikutnya bergulir cepat, seakan waktu punya irama sendiri di dalam pabrik itu. Setiap pagi, sirine panjang membangunkan Ardi dari rasa kantuknya, seakan berkata bahwa hidup tidak menunggu siapa pun. Ia sudah terbiasa berjalan kaki menuju gerbang abu-abu, menjejak aspal yang berdebu, melewati warung-warung kecil yang selalu ramai oleh pekerja yang mampir membeli rokok atau kopi sebelum masuk kerja.
Awalnya tubuhnya sering memberontak. Betisnya sakit, punggungnya terasa kaku, dan telapak kakinya perih akibat berdiri lama. Namun lambat laun, rasa sakit itu menjadi bagian dari keseharian. Tubuhnya beradaptasi, pikirannya pun demikian. Yang dulu terasa berat, kini seolah tak lagi dipikirkan.
Setiap hari, ia berdiri di depan mesin besar yang menderu tak kenal lelah. Ia tahu kapan harus mengangkat tuas, kapan harus memperhatikan alur bahan, dan kapan harus waspada jika suara mesin terdengar berbeda. Dari pengawasan sederhana itu, Ardi belajar satu hal: mesin, sekeras apa pun suaranya, selalu punya pola. Dan selama ia mengikuti pola itu, semuanya akan baik-baik saja.
Seno sering mengajaknya bercanda untuk mengusir penat. “Hati-hati, Di. Kalau mesin ini mogok, bisa-bisa bos besar turun tangan, terus kita semua kena semprot.”
Ardi hanya tertawa kecil. “Kalau mogok, ya kita perbaiki. Bukannya itu tugas kita?”
“Tugas, iya. Tapi nggak enak kalau bos udah ikut ngomel.”
Keduanya tertawa, meski suara mesin membuat percakapan mereka kadang harus diulang. Humor-humor kecil seperti itu yang membuat pekerjaan berat terasa lebih ringan.
Di sela-sela rutinitas, Ardi makin sering dipanggil oleh pekerja lain untuk membantu masalah kecil. Ada baut longgar, ada kabel yang copot, ada roda gigi yang tersendat. Meski pengetahuan resminya terbatas, otaknya seakan luwes mencari celah. Ia mungkin tidak tahu teori teknis yang rumit, tapi ia tahu bagaimana membaca situasi. Dan sering kali, tangannya yang gesit berhasil membuat mesin kembali bergerak.
“Anak baru ini cepat juga belajarnya,” komentar salah satu pekerja senior bernama Bima.
Ardi hanya tersenyum malu. “Saya cuma coba-coba, Mas.”
Bima menepuk bahunya. “Coba-coba tapi bisa berhasil itu namanya pintar. Nggak semua orang bisa begitu.”
Pujian sederhana itu membuat hati Ardi menghangat. Ia merasa kehadirannya berarti. Bahwa dirinya bukan hanya sepasang tangan tambahan, tapi seseorang yang berguna.
Di waktu istirahat, ia mulai punya lingkaran kecil: Seno yang ramah, Bima yang suka memberi nasihat, dan Ratna—gadis ceria dari bagian pengepakan. Ratna sering ikut bergabung ketika mereka makan bekal bersama.
“Kalian kerja di mesin bikin kepala pusing nggak sih?” tanya Ratna sambil membuka nasi bungkusnya.
“Pusing kalau kebanyakan mikir,” jawab Ardi sambil terkekeh. “Kalau cuma ngawasi, lama-lama terbiasa.”
Ratna tersenyum. “Aku aja yang ngepak barang kadang mumet. Apalagi kalian, tiap hari denger suara mesin kayak gitu.”
“Kalau bosnya baik, semua terasa ringan,” sela Seno sambil pura-pura berbisik, membuat mereka semua tertawa.
Momen-momen sederhana itu menumbuhkan rasa kebersamaan. Seolah di balik bising mesin, mereka punya dunia kecil sendiri, penuh tawa dan cerita.
Gaji pertama sudah lewat, lalu gaji kedua, ketiga, dan seterusnya. Uang yang ia bawa pulang selalu diterima ibunya dengan rasa syukur. Sebagian untuk kebutuhan rumah, sebagian untuk biaya sekolah Dewi. Kadang masih tersisa sedikit untuk dirinya, sekadar membeli sandal baru atau mengisi pulsa telepon.
“Kerja kerasmu bikin Ibu tenang, Nak,” ucap ibunya suatu malam. “Sekarang Ibu nggak terlalu pusing lagi mikirin uang belanja.”
Ucapan itu membuat dada Ardi sesak oleh rasa haru. Ia merasa semua lelahnya terbayar lunas hanya dengan melihat wajah ibunya sedikit lebih tenang.
Namun hidup bukan hanya soal pabrik dan rumah. Ada juga malam-malam panjang ketika Ardi duduk di teras, memandangi langit gelap bertabur bintang. Angin malam menampar wajahnya, membawa aroma tanah basah dan jauh di kejauhan terdengar suara kereta lewat. Di momen seperti itu, pikirannya sering melayang.
Ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah begini terus hidupku nanti? Bangun pagi, kerja di pabrik, pulang sore, tidur, lalu ulangi lagi?
Tapi pertanyaan itu selalu ia tutup dengan jawaban sederhana: “Yang penting bisa bantu keluarga. Soal mimpi, nanti saja. Sekarang jalani dulu.”
Itu sudah cukup baginya.
Di pabrik, waktu berjalan dengan ritme yang tak berubah. Satu tahun berlalu seperti sebulan. Satu bulan terasa seperti seminggu. Rutinitas membuat hari-hari berbaur tanpa perbedaan jelas. Ardi menyadari hal itu, tapi ia tidak mempermasalahkan. Ia masih merasa bersyukur.
Kadang ada lembur yang memaksa mereka bekerja hingga malam. Tubuhnya letih, tapi ia tidak mengeluh. Baginya, lembur berarti tambahan uang, meski tak seberapa. Ia pulang larut, mendapati ibunya masih menunggunya di ruang tamu dengan secangkir teh hangat.
“Capek, Nak?”
Ardi mengangguk sambil duduk. “Capek, Bu. Tapi lumayan. Ada tambahan rezeki.”
Dewi, yang sudah setengah tertidur, kadang masih berusaha menyapanya. “Kak, besok aku ada ulangan. Doain ya.”
Ardi tersenyum, mencubit pelan pipinya. “Belajar yang rajin. Kakak pasti doain.”
Hidup seperti itu berulang-ulang, tanpa perubahan besar. Tapi bagi Ardi, saat itu cukup. Ia tidak peduli seberapa kecil gajinya dibanding tenaga yang ia keluarkan. Selama ia bisa melihat senyum ibunya dan semangat Dewi untuk sekolah, ia merasa semua terbayar.
Ada kebanggaan tersendiri ketika orang-orang kampungnya tahu ia bekerja di pabrik besar. “Wah, Ardi sekarang sudah jadi orang pabrik,” kata salah satu tetangganya dengan nada bangga. “Hebat, bisa kerja di sana.”
Ardi hanya tersenyum kecil. Ia tidak merasa hebat, tapi kata-kata itu membuatnya lebih mantap. Setidaknya, ia tidak lagi dipandang sebagai pemuda pengangguran yang hanya duduk di warung kopi.
Namun jauh di lubuk hati, ada bisikan kecil yang sesekali muncul. Bisikan yang menanyakan: Apakah cukup hanya begini?
Tapi bisikan itu selalu ia tekan, seakan-akan jika ia mendengarkannya, semua yang sudah ia bangun akan runtuh. Jadi ia memilih untuk diam, untuk menikmati apa adanya, dan menutup telinga dari suara yang tak ingin ia dengar.
Malam demi malam, ia tetap duduk di teras rumah, menatap bintang, dan berkata pada dirinya sendiri: “Aku sudah di jalan yang benar. Aku hanya perlu bertahan.”
Dan untuk saat itu, ia benar-benar percaya pada kata-kata itu.