Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pewaris Pedang Seribu Jiwa

Pewaris Pedang Seribu Jiwa

Nisa Yani | Bersambung
Jumlah kata
46.2K
Popular
470
Subscribe
90
Novel / Pewaris Pedang Seribu Jiwa
Pewaris Pedang Seribu Jiwa

Pewaris Pedang Seribu Jiwa

Nisa Yani| Bersambung
Jumlah Kata
46.2K
Popular
470
Subscribe
90
Sinopsis
FantasiFantasi TimurPedangPendekarDewa Perang
Rakendra adalah pemuda miskin yang desanya diserang oleh sekelompok Sekte Hitam. Desa itu dibakar dan orang tuanya tewas termasuk adik perempuannya yang hilang. Ketika desa Jelaga dalam keadaan porak-poranda, Rakendra melihat langit seperti terbelah dan ia melihat sesuatu yang bercahaya putih berkilauan kemudian jatuh di kaki gunung. Namun, sebelum ia melihat benda itu, ia ditawan oleh Pasukan Sekte Hitam dan disiksa. Nyawa Rakendra tertolong oleh seorang Laki-laki paruh baya yang ternyata adalah guru dari Padepokan Kabut Putih. Ia dijadikan murid tapi di padepokan itu ia dikucilkan karena berasal dari rakyat jelata. Awal dari parahnya murid senior yang memperlakukan Rakendra sebagai budak, ia dilemparkan ke jurang kematian. Dari situlah ia menemukan sebuah pedang yang sangat berbahaya dan mengandung banyak jiwa pendekar dari masa lampau yang menuntunnya. Semakin pedang itu digunakan semakin kekuatannya bertambah. Rakendra kembali dengan dirinya yang baru dan jauh lebih kuat. Ia menaklukkan para seniornya di Perguruan Kabut Putih sampai-sampai kekuatan besarnya menarik perhatian dari Kerajaan Besar yang ingin mendapatkan Pedang Seribu Nyawa miliknya.
1. Diserang

Rombongan pasukan berkuda lengkap dengan pakaian perang memasuki salah satu desa yang bernama desa Glagah Putih, sebuah desa yang terletak di salah satu kerajaan Jawa yang bernama Kerajaan Arya Setra. Mereka semua berasal dari perguruan Gagak Hitam yang melakukan penjarahan di desa itu dan membakar rumah penduduk serta melenyapkan nyawa penduduk kampung yang tidak berdosa.

Di tengah keriuhan yang terjadi dan api yang berkobar membakar beberapa rumah warga, seorang pemuda bernama Rakendra yang berusia dua tahun berdiri di tengah suasana mencekam yang menyerang tempat kelahirannya itu. Ia adalah pemuda yang bertubuh tinggi dan agak jangkung dengan pakaian tradisional Jawa kuno abad ke 600 sebelum Masehi. Di depan matanya ia melihat rombongan pasukan dari perguruan Gagak Hitam itu menebas nyawa manusia yang tak berdosa dengan sebilah pedang di tangan yang berlumuran noda merah.

Diantara rombongan pasukan berkuda itu ada satu orang yang menarik perhatian Rakendra. Seorang laki-laki yang bertubuh gagah dan berusia paruh baya merupakan seorang pimpinan dari pasukan terkutuk tersebut. Ia dengan tanpa ampun dan tanpa perasaan menusuk tubuh salah seorang penduduk desa dari punggung sampai tembus ke perut. Pedang itu ia tarik lagi lalu dengan senyum menyeringai ujungnya ia hadapkan ke atas, tertuju ke arah langit yang memancarkan cahaya matahari terik sehingga ujung pedang itu berkilau kendati ada beberapa bercak merah yang masih menempel di sana.

"Masih ada berapa orang lagi yang perlu kita lenyapkan nyawanya? Mereka adalah penghianat Kerajaan Arya Seta!" tanya pemimpin dari pasukan itu kepada kaki tangannya yang juga menunggangi kuda.

Kaki tangan dari pimpinan tersebut menoleh. "Masih ada sekitar seratus penduduk, Gusti," jawabnya.

Penduduk sekitar berlari ketakutan. Bahkan sampai ada yang jatuh terpeleset di atas tanah dengan debu yang mengepul di udara namun tak lama setelahnya sebelum suara teriakannya terdengar, sebilah pedang sudah berhasil menebas tubuhnya.

Rakendra muncul dengan guratan kemarahan yang tampak di raut wajah, kedua telapak tangan yang mengepal tetapi sebelum ia bertindak lebih jauh seorang laki-laki paruh baya yang berbadan kurus dan berpakaian desa menahan lengannya dan menariknya paksa pergi dari tempat itu lewat halaman belakang rumah yang terbakar.

"Ayah, aku harus membuat perhitungan dengan mereka!" pekik Rakendra kepada ayahnya yang dari tadi sibuk menarik lengannya agar ikut melarikan diri.

Ayahnya itu berhenti berlari dan menoleh ke belakang menatap pada putranya yang cukup keras kepala. "Lantas apa yang bisa kau lakukan? Menyerahkan nyawamu dengan sukarela?"

"Tetapi mereka sudah membantai penduduk desa, Ayah!" jawab Rakendra yang tidak mau kalah.

"Lalu kekuatan apa yang kau punya? Kita ini hanya rakyat kecil yang tidak memiliki pengaruh apa-apa? Dengan berpikir mengalahkan mereka apa kau pikir bisa mengubah segalanya? Hidup ini kejam dan kau harus menjadi orang yang kuat supaya dapat bertahan," tutur sang ayah sambil menyentuh wajah putranya itu dengan kedua telapak tangan.

Rakendra tidak sempat menjawab sebelum pada akhirnya sang ayah menarik lengannya lagi agar pergi dari tempat itu secara paksa, tapi di tengah perjalanan langit tiba-tiba bergemuruh. Angin besar datang. Membuat api yang berkobar semakin menyala dan membakar rumah penduduk nyaris rata dengan tanah. Suara teriakan dan tangisan terdengar dari berbagai sudut hingga langkah Rakendra dan ayahnya terhenti pada saat angin besar itu menghadang di depan mereka.

Ketika semua orang sibuk berlindung dari api dan angin besar termasuk pasukan Gagak Hitam yang menyerang, pada saat itulah perlahan Rakendra membuka matanya. Kepalanya mendungak, dan pada saat itu tanpa sengaja bola mata itu menyaksikan sesuatu yang berkilauan muncul di atas langit. Sesuatu yang bercahaya berbentuk panjang dengan ujungnya yang runcing.

Mata Rakendra semakin terbelalak lebar meski rambutnya melambai-lambai tertiup oleh angin juga pakaiannya. Di saat semua orang sedang menutup mata karena angin dan debu yang berterbangan juga api yang berkorban menyalurkan hawa panas, pemuda itu seolah tidak mampu menutup kedua kelopak mata.

Benda yang berasal dari langit Itu sangat nyata. Sebuah pedang panjang berwarna putih menyala dengan suara yang menggelegar di angkasa melesat jauh turun dari langit lalu jatuh ke suatu tempat yang letaknya sekitar kaki gunung.

Wuuuuus!

Rupanya kehadiran pedang itu disaksikan oleh para pasukan dari Gagak Hitam pula. Sebagian dari mereka memacu kudanya meninggalkan desa Glagah Putih untuk mencari ke mana arahnya jatuhnya pedang sakti itu.

Langit yang tadinya terlihat seperti terbelah, perlahan menutup dengan sendirinya. Matahari kembali bersinar cerah dan kobaran api di desa tersebut tampak dengan sempurna di mata Rakendra.

Ayah Rakendra menurunkan tangan lalu menarik tubuh putranya agar ikut dengannya menuju ke hutan di belakang desa, akan tetapi sesuatu kembali melesat dengan sangat cepat berbentuk panjang yang kemudian melingkar di tubuh ayahnya Rakendra lalu membantingnya jatuh di atas tanah.

Bugh!

Rakendra berdiri dan melihat sosok yang memegang cemeti itu tersenyum puas melihat ayah Rakendra tersungkur di atas tanah. Salah seorang turun dari kuda dan menodongkan pedang ke arah Rakendra juga ayahnya.

"Mau melarikan diri?" tegur pemimpin dari pasukan Gagak Hitam ke arah Rakendra dan ayahnya.

Ayah Rakendra dipaksa berdiri dan Rakendra juga diringkus. Kedua tangan mereka dibekuk ke belakang oleh pasukan yang berasal dari Perguruan Gagak Hitam.

"Bawa mereka ke Kerajaan Arya Setra dan umumkan bahwa mereka berdualah penghianatnya!" titah si pemimpin kepada kaki tangannya.

Kaki tangan pemimpin itu menganggukkan kepala di depan mata Rakendra dan prajurit lainnya memaksa Rakendra dan ayahnya supaya ikut dengan mereka untuk dimasukkan ke dalam sebuah kerangkeng yang terbuat dari kayu di atas gerobak.

Mati-matian Rakendra dan ayahnya mencoba untuk membebaskan diri tetapi upaya yang mereka lakukan sia-sia. Pasukan yang jumlahnya banyak itu lebih kuat dari kekuatan Rakendra juga ayahnya.

"Kami lebih baik mati daripada dicap sebagai penghianat!" teriak Rakendra pada saat ia dipaksa masuk ke dalam penjara dan akan diumumkan sebagai penghianat.

Mata ayahnya menatap ke arah Rakendra terbelalak. Seolah meminta agar putranya itu menurut. Akan tetapi jiwa muda Rakendra membangkang. Ia bersikukuh dan tidak mau dicap sebagai penghianat.

"Habisi dia!" titah pimpinan dari pasukan Gagak Hitam itu kepada anak buahnya.

Suara pimpinan dari Pasukan Gagak Hitam terdengar sampai ke telinga ayah Rakendra. Pada saat pedang panjang itu digunakan untuk menebas Rakendra pada saat itulah Sang Ayah memberontak dan terlepas. Ia berlari lalu berdiri tepat di depan Rakendra.

Jleb!

Pedang panjang itu menembus perut ayah Rakendra dan mata laki-laki itu terbelalak lebar. Dunia seakan bergerak lambat. Air mata Rakendra jatuh saat melihat tubuh ayahnya limbung tepat di depan matanya dalam kondisi tubuh menancap pedang panjang berlumuran dar*h.

Bugh!

Debu kembali beterbangan. Ayah Rakendra tewas dengan kondisi mata terbuka.

"Ayaahhhh!" teriak Rakendra dengan kedua mata yang memerah dan berair.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca