

Lembah Tenang, sebuah tempat yang seolah tidak mengenal waktu. Kabut pagi turun perlahan di atas hamparan sawah hijau, memeluk batang padi yang berembun. Burung-burung pipit hinggap di dahan pepohonan jambu yang tumbuh di pinggir jalan tanah, memecah keheningan dengan kicau riang. Sungai kecil mengalir lembut, bening, dan sejuk—seperti napas bumi yang selalu baru setiap harinya.
Orang-orang di desa bangun sebelum matahari benar-benar muncul, menyalakan tungku tanah liat dan merebus air untuk membuat bubur jagung. Para petani berjalan ke sawah dengan cangkul di pundak, para ibu menjemur kain dan padi di halaman, dan anak-anak berlarian dengan kaki telanjang mengejar layang-layang dari kertas sobekan.
Di antara semua itu, ada seorang pemuda yang selalu tampak sedikit berbeda—bukan karena keanehan, melainkan karena kelembutannya yang tampak tak cocok di dunia yang keras.
Namanya Arka.
Arka tinggal di rumah kecil beratap rumbia di tepi Lembah Tenang, bersama ayah dan ibunya. Ayahnya seorang petani biasa, pekerja keras yang jarang berbicara tapi selalu pulang membawa senyum. Ibunya perempuan lembut, sering menyanyikan lagu-lagu lama saat menumbuk padi atau menjahit pakaian.
Rumah mereka tidak punya banyak barang, tapi selalu terasa hangat. Bau kayu bakar dan sup sayur dari kebun belakang menguar setiap malam, dan lentera minyak yang tergantung di dinding selalu menyala redup, membentuk bayangan-bayangan yang menenangkan.
Hidup mereka sederhana… dan damai.
Seolah dunia luar yang keras dan penuh kekejaman tak pernah ada.
---
Sejak kecil, Arka dikenal sebagai anak yang lemah. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat karena lebih sering membaca naskah tua di balai desa ketimbang ikut bermain gulat lumpur seperti anak-anak lain. Ia lamban memanjat pohon, tak kuat mengangkat karung beras, dan selalu jadi bahan ejekan bocah-bocah sebaya.
“Eh Arka, hati-hati angin kencang, nanti kau terbang!” seru mereka sambil tertawa.
Arka hanya menunduk, tersenyum tipis, lalu berjalan menjauh. Ia tidak pernah melawan.
Ada ketakutan yang menempel padanya—takut gagal, takut ditertawakan, takut menyakiti atau disakiti. Ayahnya pernah mencoba mengajarkan dasar bela diri, tapi Arka tak pernah berhasil menangkis satu pukulan pun.
Setiap kali terjatuh ke tanah, ia hanya duduk, memeluk lutut, dan menatap tanah kosong.
Namun bukan berarti ia bodoh. Arka menyukai hal-hal kecil yang orang lain anggap remeh: memahat kayu menjadi bentuk burung, memintal serat daun untuk jadi tali, menulis puisi pendek di kulit kayu. Ia sering duduk di bawah pohon, menatap awan dan membayangkan tempat-tempat jauh yang belum pernah dilihatnya.
Orang-orang desa menganggapnya aneh, tapi juga tak pernah membencinya.
Arka hanya… terlalu lembut untuk dunia mereka.
---
Satu-satunya orang yang benar-benar memahami Arka adalah , gadis tetangga yang tumbuh bersama sejak kecil. Sinta tidak pernah menertawainya. Justru dia yang selalu membela Arka saat anak-anak lain mengejeknya.
“Aku suka caramu melihat dunia, Arka,” ucap Sinta suatu sore, ketika mereka duduk di pinggir sungai memandangi air yang mengalir.
Arka mengangkat alis. “Caraku… melihat dunia?”
“Iya,” Sinta tertawa kecil, memainkan ujung rambut hitamnya yang panjang. “Yang lain cuma melihat batu di sungai… tapi kau bilang itu ‘batu yang mungkin pernah jadi bintang jatuh’.”
Arka menunduk, tersipu. Hanya pada Sinta ia bisa bicara bebas tanpa takut disalahkan atau ditertawakan.
Sinta memiliki mata bulat bening seperti embun pagi, dan senyum yang seolah mampu menghapus semua kegelisahan. Dia lincah, pandai menari, dan selalu membawa wangi bunga liar yang menempel di rambutnya.
Mereka sering berjalan menyusuri pematang sawah, saling bercerita tentang hal-hal kecil—tentang awan yang bentuknya seperti naga, atau tentang suara jangkrik yang seperti nyanyian rahasia malam.
Suatu hari, ketika matahari sore mulai turun, Sinta menggenggam tangan Arka dengan berani.
“Kalau kita besar nanti… menikahlah denganku.”
Arka membeku. Pipinya memanas, tapi dadanya terasa hangat seperti bara kecil yang hidup.
“Iya,” jawabnya pelan, hampir berbisik. “Aku janji.”
Sejak hari itu, ada cahaya baru di hidup Arka—cahaya yang membuat langkahnya terasa lebih ringan, seolah dunia tak lagi menakutkan selama Sinta ada di sisinya.
---
Hari-hari berlalu damai. Arka membantu ayahnya di sawah, meski selalu kelelahan. Sinta belajar menenun di rumah ibunya. Mereka perlahan menyiapkan masa depan kecil mereka: Arka membuatkan pondok kayu dari pohon-pohon bambu muda, dan Sinta menanam bunga liar di sekitar pondok itu.
Mereka bicara tentang masa depan dengan polos—tentang dapur kecil, tentang anak-anak yang berlarian, tentang betapa damainya hidup berdua.
Arka, untuk pertama kalinya, merasa bahwa dirinya… cukup.
Meski ia tidak sekuat anak-anak desa lain, meski ia lamban dan canggung, tapi ia bisa membangun sesuatu—meskipun kecil—asal bersama Sinta.
Malam-malam ia menulis puisi untuk gadis itu, dan menyimpannya di celah kayu pondok.
Suatu malam, saat mereka duduk berdua di depan pondok bambu mungil itu, Sinta bersandar di bahu Arka dan berkata,
“Kalau dunia luar sekejam yang orang bilang, aku tak mau ke sana. Aku cuma ingin di sini… bersamamu.”
Arka memeluknya erat, dan dalam hati bersumpah untuk melindungi kebahagiaan kecil mereka, apa pun yang terjadi.
Ia tidak tahu… bahwa dunia luar yang kejam itu sedang bergerak mendekat.
---
Ada satu tempat rahasia mereka: padang bunga liar di kaki bukit, tempat ratusan kuntum bunga warna ungu dan kuning tumbuh liar, menghampar sejauh mata memandang.
Setiap senja, saat cahaya keemasan membakar langit, Arka dan Sinta bertemu di sana. Mereka duduk saling bersandar, berbicara tentang apa pun. Sinta menyusun mahkota bunga untuk Arka, dan Arka membuatkan kalung dari biji-biji liar untuk Sinta.
---
Mereka duduk berdampingan di atas rerumputan yang hangat, di tengah hamparan bunga liar yang bergoyang pelan diterpa angin senja. Langit di atas Lembah Tenang mulai berwarna jingga keemasan, seolah menyelimuti dunia mereka berdua dalam cahaya ajaib yang lembut.
Sinta memetik satu kuntum bunga ungu kecil, lalu menempelkannya di telinga Arka sambil terkikik.
“Lihat, sekarang kamu seperti pendekar bunga,” ujarnya menggoda.
Arka menoleh dengan wajah memerah, tangannya kikuk mencoba melepas bunga itu.
“Aku… aku bahkan bukan pendekar. Aku cuma Arka, si penakut,” katanya pelan.
Sinta menatapnya lekat-lekat, senyumnya merona seperti cahaya senja.
“Bagi aku… kamu sudah cukup berani. Karena kamu selalu datang ke sini, bersamaku.”
Keheningan yang manis menyelimuti mereka beberapa saat. Hanya suara desir angin dan nyanyian jangkrik dari kejauhan yang terdengar. Arka menggenggam tanah di sampingnya, menahan degup jantung yang terasa terlalu cepat.
“Aku ingin…” Arka menelan ludah, lalu menatap Sinta dengan gugup, “…aku ingin kita selalu seperti ini.”
Sinta menunduk malu, pipinya bersemu merah. Lalu perlahan ia mengangguk.
“Kalau begitu… kita buat janji kecil, ya?”
“Janji?” Mata Arka membesar.
“Iya,” kata Sinta lembut. Ia mengulurkan kelingkingnya. “Setiap senja, sampai selamanya… kita akan bertemu di padang bunga ini.”
Arka menatap kelingking mungil itu sejenak, lalu menautkan kelingkingnya dengan ragu-ragu namun mantap.
“Setiap senja… sampai selamanya,” ucapnya pelan, seolah takut suaranya akan merusak keajaiban momen itu.
Mereka tertawa kecil, malu sekaligus bahagia. Dan di atas kepala mereka, matahari perlahan tenggelam, menjadi saksi bisu janji pertama yang akan mengikat hati mereka.
Di tempat itu, Lembah Tenang menjadi tempat suci mereka, tempat cinta pertama mereka mekar, tempat di mana Arka untuk pertama kalinya merasa hidup.
Dan setiap kali Arka melihat senyum Sinta di tengah lautan bunga, ia percaya bahwa dunia ini tidak akan pernah kejam. Bahwa cinta mereka akan selalu cukup untuk menahan apa pun badai yang datang.
Ia tidak tahu…
bahwa badai itu sudah menunggu tepat di balik cakrawala.
Bersambung