Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
JAKA SONA : KAMBOJA MAUT

JAKA SONA : KAMBOJA MAUT

riadis99 | Bersambung
Jumlah kata
79.7K
Popular
148
Subscribe
34
Novel / JAKA SONA : KAMBOJA MAUT
JAKA SONA : KAMBOJA MAUT

JAKA SONA : KAMBOJA MAUT

riadis99| Bersambung
Jumlah Kata
79.7K
Popular
148
Subscribe
34
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurSilatMisteriTeka-teki
Di tengah remang dunia persilatan yang telah kehilangan arah, muncul kembali sosok yang diyakini telah mati — Jaka Sona, pendekar misterius yang konon tak bisa dibunuh. Dalam sebuah pertemuan ganjil, ia muncul bersama sahabat lamanya: Surya Gumilang, si setan arak miskin yang kini mendadak kaya, dan Setitik Merah dari Buitenzorg, lelaki bertangan satu dengan tatapan setajam belati. Diana, gadis muda yang tanpa sengaja terseret dalam pusaran mereka, menjadi saksi bagaimana kabar kematian, dendam, dan rahasia besar organisasi bawah tanah perlahan terurai. Di antara tawa dan ancaman, mereka berbicara tentang hidup dan mati, tentang uang dan persahabatan — seolah maut hanyalah bahan senda gurau. Namun di balik santai dan sinisnya percakapan itu, tersembunyi satu rencana yang jauh lebih besar. Mereka sedang menelusuri jejak organisasi bayangan, yang didalangi oleh sosok berjuluk Kamboja Maut — nama seindah bunga, namun mematikan seperti racun di kelopaknya. Siapakah sosok Kamboja Maut ini, dan mengapa ia begitu menginginkan kematian Jaka Sona?
Bab 1

SITURAJA – 1915

Angin menderu-deru.

Ia datang dari arah barat, liar dan buas, derunya seperti cambuk yang diayunkan setan, menghantam udara, melecut hati yang sedang merindu pulang, juga mengoyak arwah para musafir yang mungkin pernah melintas di jalan panjang itu.

Namun mujur, di sini tidak ada yang pulang.

Tak ada musafir yang singgah.

Tak ada jejak siapa pun.

Semuanya hampa.

Jalanan terbentang sunyi.

Tak ada motor, kuda, pedati.

Delman pun, yang dulu biasa berderap membawa penumpang di sore hari, sudah lenyap seolah tak pernah ada.

Di toko-toko tak terdengar tawar-menawar.

Tungku tidak menyimpan abu, tanda api sudah lama mati.

Kuali, dandang, panci semuanya dingin, kosong, tak menanak nasi, tak menanak lauk.

Kamar-kamar pun diam membatu, tak ada suara desah, bisik perayu, tak ada bau gincu, bedak, atau harum parfum.

Karena di sini… sudah tak ada orang lagi.

Bahkan tak ada seorang pun yang masih hidup.

Sunyi yang tebal mengendap, sepi yang beku menggumpal.

Seperti kematian yang merayap, mengurung segala ruang.

Entah sejak kapan, angin tiba-tiba berhenti.

Dan di atas jalan panjang yang dilapisi lempengan batu gunung itu, tampak seekor anjing hitam. Ia menyeret ekornya, perlahan, menaiki jalan.

Ada seseorang di belakang anjing itu.

Seorang buta.

Kota kecil, yang dulu riuh, makmur, dan penuh kehidupan, kini telah membeku menjadi kota mati.

Misterius, asing, menakutkan.

Tidak tahu sebabnya, justru membuat ngeri semakin menusuk.

Ketidaktahuan adalah kegelapan yang paling dalam.

Anjing itu berhenti.

Cakar depannya mengais-ngais tanah.

Tapi tubuhnya justru mundur, menyurut, seolah enggan melangkah lebih jauh.

Dan di jalan itu… tidak ada siapa pun.

Di rumah pun kosong.

Di depan, di belakang, di dalam, di luar kosong belaka.

Jika tidak ada orang, seharusnya tidak ada bahaya. Karena di dunia ini, yang paling membahayakan… adalah manusia itu sendiri.

Binatang mana lagi yang lebih sering membunuh manusia, kalau bukan manusia juga?

Si buta maju lagi, langkahnya pelan, menapak dengan hati-hati. Di tangannya, klenengan kecil dari kuningan bergoyang, mengeluarkan bunyi nyaring, jernih. Selang sejenak, anjingnya ikut maju, kali ini berjalan di belakang tuannya.

Anjing tetap saja anjing.

Ia lebih tahu daripada manusia, tapi tetap tunduk pada majikannya.

Pertanyaan bergelung di benak si buta:

Apa sebenarnya penyebab kota yang damai ini mendadak berubah menjadi sunyi, kosong tanpa jejak manusia?

Si buta tidak punya jawaban.

Andai matanya bisa melihat, ia akan lebih tercengang. Sebab kota ini, meski ditinggalkan, masih begitu “baru”.

Rumah-rumah tak berdebu.

Tak ada sarang laba-laba di sudut-sudutnya.

Perkakas besi belum berkarat.

Minyak dalam lampu ublik masih basah.

Kasur, selimut, pakaian belum berjamur, belum tengik. Seakan penduduknya pergi tergesa, dalam satu malam, meninggalkan segalanya.

Mengapa mereka begitu panik?

Mengapa mereka lari?

Orang buta itu mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, warna aslinya sudah memudar, memutih oleh cucian, lalu menguning diselimuti debu yang ditiup angin.

Tongkat putih di tangannya lusuh, kelabu oleh waktu.

Ia mengetukkan tongkatnya ke jalan berbatu.

“Tok!”

Lalu bunyi “pluk” yang teredam ketika tongkat menyentuh tanah kuning di dasar jalan panjang itu.

Angin kembali bertiup.

Papan merk toko terayun-ayun, bergesekan dengan gelang besi penggantungnya.

Suara itu mirip gergaji yang mengiris kayu, serak, getir, membuat akar gigi ngilu mendengarnya.

Anjing hitam melolong, parau, panjang.

Jendela yang terbuka berderit, ditiup angin, seperti rintihan, seperti helaan nafas yang tak ikhlas.

Si buta menggoyang lagi klenengan kecilnya.

Suara nyaringnya pecah ke udara.

Namun tiba-tiba ia berhenti.

Ke mana perginya suara-suara kehidupan itu?

Dulu, ia pernah mendengar ramai:

Suara tawar-menawar di toko antara pelayan dengan nenek tua atau ibu rumah tangga.

Gemerincing wajan, suara serok, bunyi minyak mendesis. Ibu memarahi anaknya, memukul pantat yang nakal.

Tangis anak kecil.

Kikik tawa gadis kecil.

Dadu menggelinding di mangkuk.

Tawa pemabuk yang sengau.

Dan suara sinden meniru langgam Yogya.

Sekarang?

Hilang.

Lenyap.

Tak berjejak.

Klenengan di tangan si buta tiba-tiba terasa berat. Seolah beratnya puluhan kilo.

Dan dari kedalaman hatinya, menjalar perasaan ngeri, gentar, takut yang tak bisa ia ungkapkan.

Karena ia tidak tahu… ada apa.

Dulu ia pernah datang ke kota ini.

Tapi yang sekarang ia datangi, seolah kota yang berbeda. Kota ini tak lagi sama.

Pelan-pelan ia melangkah lagi, menggoyang klenengannya.

Angin bertiup.

Awan senja rendah, menjuntai seperti tirai kumal di langit. Bayangan tubuh kurusnya berdiri kaku, seperti batang bambu hitam.

Langit dan bumi terasa tawar, suram, setawar tinta hitam yang membeku di atas kertas.

Mendadak dari kejauhan, ada suara.

Ada deru mesin motor. Ringan saja, pelan-pelan. Suaranya bergeser dari jauh, samar, lalu makin jelas, seperti suara tongkat si buta yang diseret menyentuh dasar jalan, memukul-mukul keheningan dengan ritme aneh. Bukan deru yang meledak keras, bukan pula deru yang tergesa, tapi ada semacam kehati-hatian di dalamnya.

Seolah-olah yang datang itu bukan sedang iseng, bukan pula sedang melaju karena tergoda kebebasan jalanan. Justru terasa ada maksud lain, maksud yang diselubungi rahasia.

Sudah pasti bukan orang yang ingin pulang.

Dan bukan pula musafir yang lewat.

Hati orang yang pulang, tentu tergesa-gesa, resah ingin cepat tiba di pelukan istri, anak, dan hangatnya rumah.

Musafir di jalan, tak pernah bisa setenang itu, ia selalu dikejar jarak, dikejar waktu, dikejar kesepian.

Tapi deru mesin ini lain. Deru yang ringan, stabil, seperti napas yang ditahan.

Deru semacam itu biasanya hanya terdengar di hari-hari baik, di musim panen, di musim bunga, di jalanan yang menuju tempat wisata indah.

Namun kini, waktunya bukan musim panen, bukan pula musim bunga. Tempat ini bukan wisata, melainkan kota mati yang suram.

Tetapi, justru saat inilah terdengar deru motor semacam itu. Dan lebih aneh lagi, yang datang sepertinya bukan satu. Bukan hanya satu penunggang motor. Jumlahnya tidak akan kurang dari sepuluh.

“Siapa yang datang? Dan buat apa datang?”

Si buta mundur pelan, langkahnya surut, anjing hitamnya mengikuti, ekornya menunduk, bersama-sama mereka masuk ke dalam gelap bayangan atap rumah yang sepi.

Namun telinga si buta, yang tajam menggantikan matanya, segera menangkap sesuatu. Jumlahnya bukan sepuluh. Bukan dua puluh. Paling sedikit tiga puluh motor. Bahkan sangat mungkin lebih dari lima puluh.

Karena dia buta, pendengarannya jadi peka, jadi mata kedua yang tak pernah tidur. Ia bisa membedakan getar-getar mesin, ritme deru, bahkan jumlahnya. Dan kali ini, yang ia dengar membuat darahnya berdesir.

Betul saja lima puluh satu. Tepatnya lima puluh satu motor gede, moge yang menderu berat dengan perut besi yang membara.

Ada Harley-Davidson, gemuruh suaranya seperti dada singa. Ada BMW Motorrad, dingin, teratur, mekanis. Ada Triumph, ada Ducati, ada Indian Motorcycle, ada merek-merek yang pernah diagungkan zaman itu, dengan harga fantastis, dengan laju yang bisa secepat angin.

Namun malam ini, motor-motor itu justru berjalan pelan. Sangat pelan. Seakan mereka takut mengguncang udara terlalu keras.

Di atas motor-motor besar itu, ada lima puluh satu laki-laki perkasa. Ada yang tinggi tegak seperti tiang, ada yang pendek dan kokoh. Ada yang gemuk berat, ada yang kurus panjang. Ada yang tua dengan wajah penuh kerut, ada yang remaja dengan dada masih segar. Namun, mereka semua berbagi ciri yang sama: tubuh yang sehat, kuat, gagah, wajah perwira, sorot pemberani.

Mereka bukan orang sembarangan. Mereka adalah laki-laki yang pernah menelan ratusan pertempuran, yang darahnya pernah dididihkan api perang.

Seharusnya mereka tenang, berkepala dingin. Namun kini, jelas sekali terlihat, mereka pun resah. Tidak sabaran. Cemas. Seakan ada sesuatu yang lebih besar dari mereka, sesuatu yang bahkan membuat para pemberani pun kehilangan keteguhan.

Dalam keadaan seperti itu, motor mogok pun bukan masalah. Nyawa yang terlelah di jalan pun tak akan dipedulikan. Karena jika mereka mau, mereka bisa memacu motor-motor itu seperti kilat, melesat secepat terbang.

Mesin mereka kuat.

Tubuh mereka tangguh.

Jiwa mereka ditempa.

Namun kenapa mereka membiarkan laju motor itu lamban?

Bersambung Bab 2 ...

Lanjut membaca
Lanjut membaca