

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Atau lebih tepatnya, hari yang menentukan nasib.
Di hadapan singgasana, seorang lelaki tua dengan janggut putih panjang berdiri dengan khidmat. Jubah ungu tuanya dihiasi simbol-simbol kuno yang berpendar samar, pertanda tingginya kekuatan spiritual yang dimilikinya. Ini adalah Resi Wirasakti, peramal agung dari Perguruan Tinggi Langit Biru—seorang petapa tingkat 37 yang namanya bahkan ditakuti oleh para Maharaja.
Di samping Resi Wirasakti, tujuh muridnya berdiri dalam formasi yang teratur, masing-masing memancarkan aura spiritual yang tidak kalah mengesankan. Yang termuda saja sudah mencapai tingkat 15, prestasi yang luar biasa untuk usia di bawah dua puluh tahun.
Namun, yang paling menarik perhatian bukanlah sang resi atau murid-muridnya. Melainkan sosok yang berdiri sendirian di tengah aula, terpisah dari kerumunan pangeran-pangeran lain yang berkumpul di sisi kanan.
Jagat Lakeswara.
Pangeran Pertama Kerajaan Subandi. Sosok yang konon adalah titisan Dewa Kematian. Atau setidaknya, begitulah ramalan dua puluh tahun lalu.
Lakeswara berdiri dengan punggung tegap meskipun pakaiannya compang-camping. Jubah pangeran yang seharusnya mewah kini tampak kusam dengan beberapa tambalan yang dijahit asal-asalan. Rambutnya hitam legam sedikit acak-acakan, dan wajahnya yang tampan pucat karena kurang gizi. Namun, yang paling mencolok adalah tanda lahir berbentuk bulan sabit hitam di dahinya—satu-satunya bukti bahwa ramalan itu mungkin benar.
Di sisi kanan aula, sembilan pangeran lain dari selir-selir Maharaja berkumpul dengan gagah. Mereka semua mengenakan jubah mewah dengan bordir emas dan perak, menunjukkan status mereka yang jauh lebih tinggi dibanding Lakeswara meskipun secara hierarki, dialah yang tertinggi.
Pangeran Ketiga, Jagat Wibisana, yang berusia delapan belas tahun dengan tingkat spiritual 12, tertawa pelan sambil berbisik pada pangeran-pangeran lain.
“Lihat kakak tertua kita. Bahkan jubahnya lebih buruk dari pelayan dapur.”
Pangeran Kelima, Jagat Mahendra, menyeringai. “Aku dengar kemarin dia dipukuli oleh kepala pelayan karena terlambat datang ke makan malam. Memalukan sekali untuk seorang pangeran.”
Tawa tertahan terdengar dari kelompok mereka. Beberapa pelayan yang berdiri di dekat pilar bahkan berani tersenyum mengejek.
Hanya satu pangeran yang tidak tertawa—Jagat Gentala, Pangeran Kedua. Dia berdiri dengan angkuh di sebelah singgasana ibunya, Permaisuri Ishtika Kencana, dengan ekspresi dingin yang sulit dibaca. Aurelius, Griffin emasnya, berdiri di belakangnya dengan mata yang menatap tajam ke arah Lakeswara, seolah menantang.
Di barisan para menteri, bisikan-bisikan mulai terdengar.
“Sudah dua puluh tahun, dan Pangeran Pertama masih tidak menunjukkan tanda-tanda kekuatan apapun.”
“Ramalan itu jelas salah. Kita membuang-buang waktu.”
“Pangeran Kedua jelas lebih pantas menjadi Putra Mahkota. Tingkat spiritual 17 di usia 19 tahun! Itu bahkan melampaui Jenderal Indra saat masih muda.”
“Benar! Pangeran Pertama seperti aib kerajaan Subandi bukan?”
“Iya. Memalukan sekali. Kenapa Maharaja tidak segera mengangkat Pangeran Jagat Gentala sebagai putra mahkota? Bukankah dia lebih pantas?”
“Apalagi? Karena Maharaja mencintai Selir Liana. Jika bukan karena itu pasti Pangeran Jagat Gentala sudah duduk di kursi tahta Putra Mahkota.”
Perdana Menteri Wangkawa, pria tua dengan wajah yang tampak bijaksana tetapi mata yang penuh perhitungan, melangkah maju dan membungkuk pada Maharaja.
“Yang Mulia, hamba berani mengajukan usul,” katanya dengan suara yang terdengar hormat tetapi penuh agenda tersembunyi.
“Kerajaan Subandi membutuhkan pewaris yang kuat. Ancaman dari Klan Iblis Utara semakin meningkat, dan makhluk sihir hitam tingkat tinggi mulai bermunculan di perbatasan. Kita membutuhkan Putra Mahkota yang bisa memimpin pasukan, bukan—”
Dia tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi tatapannya melirik sekilas ke arah Lakeswara. Maksudnya sudah sangat jelas.
Beberapa menteri lain mengangguk setuju. Menteri Keuangan, Adipati Suryanata, bahkan berani menambahkan, “Pangeran Kedua Jagat Gentala telah membuktikan kemampuannya. Dia bahkan berhasil mengalahkan komandan pasukan elit dalam turnamen bulan lalu. Rakyat sudah mulai melihatnya sebagai pemimpin masa depan.”
Maharaja Jagat Raksa mengepalkan tangannya di sandaran singgasana. Rahangnya mengeras. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan dia membencinya. Bukan karena dia tidak mencintai Gentala, tetapi karena dia masih berharap pada Lakeswara. Berharap pada ramalan. Berharap pada kenangan mendiang Selir Liana.
“Diamlah!” bentak Maharaja, suaranya menggelegar di seluruh aula.
“Resi Wirasakti belum menyelesaikan pemeriksaannya.”
Resi Wirasakti, yang selama ini hanya berdiri diam sambil menatap Lakeswara dengan intens, akhirnya bergerak. Tongkat kayunya yang diukir dengan simbol-simbol kuno bercahaya hijau terang saat dia melangkah mendekati pangeran pertama.
“Pangeran Pertama, izinkan hamba memeriksa nadi spiritualmu,” kata sang resi dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Lakeswara mengangguk pelan, sudah terbiasa dengan pemeriksaan seperti ini. Sudah puluhan peramal, tabib, dan ahli spiritual yang memeriksanya selama dua puluh tahun ini. Hasilnya selalu sama—kosong.
Resi Wirasakti meletakkan tangannya yang keriput di dada Lakeswara. Energi spiritual hijau mengalir dari telapak tangannya, merasuki tubuh pangeran muda itu. Seluruh aula terdiam, menunggu dengan napas tertahan.
Satu menit berlalu.
Dua menit.
Lima menit.
Alis Resi Wirasakti berkerut dalam-dalam. Keringatnya mulai bercucuran—sesuatu yang sangat aneh untuk petapa tingkat 37 yang biasanya tidak akan berkeringat meskipun berjalan di gurun selama tiga hari.
“Ini... aneh…” gumam sang resi.
Maharaja langsung berdiri dari singgasananya. “Apa yang Anda temukan, Yang Mulia Resi?”
Resi Wirasakti menarik tangannya, menatap Lakeswara dengan pandangan yang sulit diartikan—campuran antara kebingungan, kecurigaan, dan...ketakutan?
“Nadi spiritualnya... tersumbat,” kata sang resi pelan.
“Tetapi, ini bukan penyumbatan alami. Ada sesuatu yang sengaja menyumbatnya. Energi asing yang sangat halus, hampir tidak terdeteksi. Hamba yang tingkat 37 saja hampir tidak merasakannya.”
Permaisuri Ishtika Kencana, yang duduk anggun di singgasana sampingan, sedikit mengetatkan cengkramannya pada sandaran tangan. Ekspresinya tetap tenang, tetapi ada kilatan panik sekejap di matanya.
“Maksud Anda, seseorang sengaja menyumbat kekuatan Pangeran Pertama?” Jenderal Indra bertanya, veteran tua yang berdiri di dekat pilar dengan tangan bersedekap. Matanya yang tajam langsung menatap ke arah Permaisuri, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
“Bisa jadi. Tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah hamba merasakan energi yang sangat besar tertidur di dalam dirinya. Energi yang jika terbangun, bisa menghancurkan seluruh istana ini dalam sekejap,” jawab Resi Wirasakti.
Keheningan mencekam.
Lalu Pangeran Wibisana tertawa keras, memecah kesunyian. “Energi besar? Hahaha! Mana mungkin! Dia bahkan tidak bisa mengalahkan pelayan tingkat 3!”
Pangeran-pangeran lain ikut tertawa. Bahkan beberapa menteri tersenyum sinis.
Maharaja Jagat Raksa turun dari singgasananya dengan langkah yang berat. Aura spiritualnya tingkat 35, tingkat tertinggi di kerajaan mulai bocor, membuat udara terasa berat. Para pangeran langsung berhenti tertawa, mereka berlutut dengan wajah pucat, kecuali Resi Wirasakti.
Namun, Maharaja tidak menatap mereka. Dia menatap Lakeswara—putra pertamanya, anak dari wanita yang paling dicintainya.
“Lakeswara.” Suara Maharaja rendah, tetapi penuh tekanan yang mengerikan.
“Sudah dua puluh tahun. Dua puluh tahun aku menunggu. Dua puluh tahun aku melindungimu dari para menteri yang ingin menyingkirkanmu. Dua puluh tahun aku berharap ramalan itu benar.”
Maharaja melangkah lebih dekat, menatap mata putranya yang coklat lembut—mata yang sama dengan mendiang Selir Liana.
“Katakan padaku. Apa kamu benar-benar tidak merasakan apapun? Tidak ada kekuatan? Tidak ada energi? Bahkan setelah semua latihan yang kuberikan? Setelah semua guru terbaik yang kudatangkan?”
Lakeswara menggenggam tangannya sendiri, kukunya menancap di telapak tangan. Dia ingin menjawab ‘ya, Ayah, aku merasakan sesuatu.’ Dia ingin membuat ayahnya bangga. Tetapi kenyataannya...
“Hamba... tidak merasakan apapun, Yang Mulia. Hamba sudah mencoba. Setiap hari hamba bermeditasi seperti yang Ayahanda ajarkan. Setiap malam hamba mencoba memanggil kekuatan itu. Tetapi... tidak ada apa-apa. Hamba kosong.” Lakeswara menjawab pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
Wajah Maharaja memerah. Tangannya yang terkepal bergetar—antara marah dan sedih.
“Kosong?” bentak Maharaja, suaranya menggelegar hingga jendela-jendela bergetar.
“Kamu adalah Pangeran Pertama Kerajaan Subandi! Kamu adalah titisan Dewa Kematian! Bagaimana mungkin kamu kosong?!”
Lakeswara tidak menjawab, hanya menundukkan kepalanya lebih dalam. Lebih menyesakkan, bahkan Lakeswara kesulitan untuk sekedar bernapas.
“Ancaman dari Klan Iblis Utara semakin dekat!” Maharaja melanjutkan, suaranya penuh kemarahan yang sudah lama tertahan.
“Makhluk sihir hitam tingkat tinggi mulai bermunculan! Iblis tingkat 40 bahkan sudah terdeteksi di Gunung Hitam! Kerajaan ini membutuhkan kekuatan! Dan kamu, kamu yang konon titisan Dewa Kematian yang bisa melawan iblis-iblis itu, kamu bilang kamu kosong?!”
Maharaja mengangkat tangannya, dan untuk sesaat, semua orang mengira Maharaja akan menampar putranya sendiri. Tetapi, tangannya berhenti di udara, bergetar hebat. Dia tidak bisa melakukannya. Tidak, pada anak Selir Liana.
Dengan napas terengah-engah, Maharaja menurunkan tangannya. Tatapannya pada Lakeswara berubah—dari marah menjadi kecewa yang mendalam, kekecewaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kemarahan.
“Kamu... mengecewakan aku, Lakeswara.” Dia berkata pelan, tetapi setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk jantung.
“Kamu mengecewakan ibumu yang sudah meninggal. Kamu mengecewakan seluruh kerajaan.”
Maharaja berbalik, jubah emasnya berkibar. “Kamu tidak berguna! Pangeran lemah yang tidak berguna!”
Kata-kata Maharaja masih bergantung di udara seperti kabut beracun ketika tiba-tiba seluruh istana bergetar hebat.
Duaarrr!
Gempa dahsyat mengguncang pondasi bangunan. Pilar-pilar batu besar bergetar, debu dan serpihan jatuh dari langit-langit yang tinggi. Lampu lampion yang tergantung bergoyang liar, cahayanya berkedip-kedip seperti akan padam.
“Ada apa ini?!” Perdana Menteri Wangkawa hampir terjatuh, tangannya meraih pilar terdekat untuk menopang tubuhnya.
Jenderal Indra langsung menarik pedangnya—senjata legendaris Naga Hitam yang konon bisa membelah gunung. Auranya tingkat 33 langsung meledak keluar, membentuk pelindung di sekitar Maharaja.
“Yang Mulia! Ini bukan gempa biasa!”
Duarrr! Duar!
Getaran semakin hebat. Kali ini disertai suara yang mengerikan—seperti teriakan ribuan jiwa yang tersiksa, bercampur dengan raungan binatang buas yang lapar.
Resi Wirasakti sang peramal hebat itu wajahnya berubah pucat pasi. Tongkat kayunya bercahaya terang, energi spiritual hijau meledak keluar membentuk formasi pelindung di sekitar murid-muridnya.
“Ini... ini energi sihir hitam! Sangat pekat! Tingkat yang sangat tinggi!”
“Sihir hitam?” Maharaja berbalik tajam. “Dari mana? Kerajaan Subandi sangat jauh dari portal sihir hitam! Mustahil ada retakan di sini! Aku sudah membuat perisai pelindung tingkat tinggi!”
“Ayahanda!” Gentala berteriak, membuat Maharaja menoleh. “Belakangan ini ada portal asing di kerajaan sebelah. Dan kerajaan sebelah juga mendapatkan serangan makhluk sihir hitam! Mungkinkah di tanah Kerajaan Subandi juga muncul portal sihir hitam?”