

“Oooowh!”
Bramantyo terbangun dengan sakit kepala yang hebat. Ketika dia mencoba bangkit, berat badannya serasa lebih dari lima ratus kilogram. Tangannya yang mampu menggerakkan benda sesuka hati sebelumnya, tiba-tiba kehilangan kendali.
Dia berusaha sekuat tenaga untuk membuka mata, dan yang dia lihat hanyalah kehancuran. Mayat di mana-mana, tak ada yang selamat.
Dia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum koma. Purabaya tempat tinggalnya diserang secara tiba-tiba. Pertempuran dan pembantaian di sekelilingnya. Sosok-sosok yang dikenalnya gugur di hadapannya satu demi satu.
Mereka mengatakan hal yang sama sebelum mereka tewas, “Bramantyo dan Elaine harus selamat.”
Dia dilempar ke mesin teleportasi oleh papanya, dan Om Cipto melemparkan putrinya, lalu mereka berjuang mati-matian untuk menghadang musuh. Dia hanya bisa menyaksikan mamanya, Om Cipto, dan yang lainnya gugur di depan matanya, tetapi dia tak berdaya mencegahnya.
Seorang pria berjubah abu-abu bergegas menghampiri, tetapi papanya menghalanginya, dan berakhir dengan keduanya tewas seketika.
Sebuah tangan raksasa yang dibentuk oleh energi spiritual terulur ke arahnya dari luar susunan teleportasi, dan Bram terkunci oleh auranya dan tak dapat bergerak.
Tangan raksasa yang bersembunyi di belakangnya, entah bagaimana berhasil menerobos ke depannya.
"Tidaaak!" Bram berteriak.
Tangan besar itu meraih Elaine Ciptowongso dan mundur dengan cepat.
Elaine berteriak tak berdaya.
"Kakak, selamatkan aku! Kakak, selamatkan aku!" Wajah mungil nan lucu itu ketakutan.
Ketika Bram hendak menyelamatkan Elaine, sebuah bayangan abu-abu menyerbu dari luar susunan teleportasi dan memukulnya di jidat. Bram merasakan sakit kepala hebat dan hampir tak bisa bergerak sama sekali.
Dalam keadaan setengah linglung, pemandangan berubah, dan tiba-tiba dia berada di tengah medan pertempuran. Seorang pria berjubah abu-abu yang sangat mirip dengan pria yang baru saja meninggal bersama papanya menyerbu dengan ganas dan menghim[itnya. Bram melawan, tetapi perbedaan kekuatan mereka terlalu besar.
Pria itu membuka mulutnya yang berdarah dan ingin melahap Bram. Di saat kritis itu, Bram berjuang mati-matian. Darahnya menggelegak, jantungnya tiba-tiba terasa panas dan panas itu menjalar ke seluruh tubuhnya, dan kemudian, sebuah pemandangan yang luar biasa terjadi.
Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya keemasan. Ketika pria berjubah abu-abu itu bersentuhan dengan cahaya itu, dia langsung meleleh. Sambil menjerit pilu, dirinya berubah transparan. Bram terhuyung-huyung dan jatuh koma.
Kenangan itu berakhir di sini.
Dia hanya tahu bahwa dia adalah Bramantyo, tetapi dia bingung tentang masa lalu Bramantyo.
Dia tidak tahu mengapa semua orang berteriak, " Bramantyo dan Elaine harus selamat!"
'Ya Tuhan, kepalaku sakit!'
Dia menyadari bahwa orang tuanya, kerabat, Purabaya, dan semua yang lain hanyalah konsep abstrak.
Sepertinya dia kehilangan memori masa lalu, dan yang diingatnya mungkin hanya apa yang terjadi hari ini.
‘Kurasa pria berjubah abu-abu sialan itu yang rohnya mencoba menguasai tubuhku yang menyebabkan aku kehilangan ingatan,’ pikirnya.
Bramantyo sangat sedih dan marah. Dia sedih untuk orang tua dan kerabatnya, yang mungkin baru kemarin tertawa, bercanda, dan menikmati kehidupan sebagai satu keluarga.
‘Siapa sangka hari ini kami akan berpisah selamanya?’
Dia marah pada sekelompok manusia yang dipimpin oleh pria berjubah abu-abu, dan dia benci dirinya sendiri karena aku tidak mampu menghancurkan mereka.
Dia akhirnya berhasil menenangkan diri dan melihat sekeliling. Ada yang salah. Seharusnya dia berada di mesin teleportasi. Tapi mengapa malah terbaring di reruntuhan?
Waktu masuk ke mesin teleportasi, papanya mengingatkan bahwa alat tersebut peninggalan Leluhur Manusia, wahana lintas batas acak yang seharusnya tidak digunakan kecuali saat umat manusia terancam genosida.
Seharusnya bisa diandalkan, kan?
Bramantyo menoleh dengan susah payah dan mengamati dengan saksama.
Tampak seperti arena pertempuran. Banyak yang tewas, dan lokasinya masih Purabaya.
Tapi bukan lagi Purabaya kampung halamannya.
Pakaian orang-orang di sini sangat aneh, dan bangunan-bangunan di sini juga sangat aneh. Kalau diperhatikan lebih dekat, semuanya tampak seperti telah disempurnakan dengan teknologi.
Apakah tempat ini benar-benar sehebat itu?
Kalau dia bisa memindahkan semua ini kembali ke Purabaya-nya, dia akan kaya raya tajir melintir!
Matanya berkelana saat memikirkannya, tetapi tiba-tiba dia menyadari bahwa hidupnya sebenarnya berada di ujung tanduk.
‘Ngapain aku masih mikir jadi kaya?’
Dia harus menyelamatkan hidupnya terlebih dahulu sebelum bisa menikmatinya.
Bramantyo terus mengamati. Di sini, energi spiritual sangat tipis, hampir tak ada. Mungkin ini Akhir Dunia.
Hari Kiamat.
Coba bayangkan.
Tempat ini awalnya sangat berkembang, tetapi mencapai titik di mana senjata magis tidak berguna. Kemudian, setelah euforia yang berlebihan, berubah menjadi kesedihan dan memasuki Akhir Zaman.
Tetapi fondasinya seharusnya masih ada.
Ini berarti dia diteleportasi ke dunia lain. Mungkin kekuatan spiritual di dunia ini terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan energi mesin teleportasi, sehingga meledak. Tidak heran dia terluka parah.
Setelah berbaring di tanah dan menarik napas berkali-kali, Bramantyo merasa kondisinya telah membaik dan tangannya bisa digerakkan.
Dia menggunakan kedua tangannya untuk menopang dirinya sendiri dan berhasil duduk. Tubuhnya penuh luka dan pakaiannya hilang.
'Astaga, ini terlalu mencolok!'
Untungnya, tidak ada cewek di sini.
‘Coba kalau sampai ada yang melihat sosokku yang bijaksana, kuat, tampan, gagah, berwibawa, tinggi, dan berotot, bukankah mereka akan iri setengah mati? Haruskah aku mengambil pakaian dari mayat dan memakainya?’
Bramantyo mencoba merangkak.
"Gigit!"
Jari-jarinya menyentuh sesuatu, mengeluarkan suara pelan. Bramantyo melihatnya dan ternyata itu adalah cincin kuno.
Tiba-tiba dia teringat papanya pernah mengingatkan bahwa mesin teleportasi hanya untuk sekali jalan. Tapi setelah diteleportasi ke dunia lain, sebuah cincin perjalanan waktu akan dihasilkan.
"Mesin teleportasi dirancang untuk sekali pakai, karena khawatir akan digunakan oleh orang lain dan membawa kerugian pada dunia asal, setelah itu akan berubah menjadi cincin untuk kembali.'
Bramantyo bergumam, “Leluhur Adam Enkido memang sangat cerdik. Sekarang setelah aku menemukan cincin ini, aku bisa pulang ke rumah!”
Di dunia yang tidak dikenal ini, senjata sihir begitu kuat sehingga harganya semurah anak anjing, tetapi energi spiritual untuk kultivasi sangat kurang.
Bram merasa lebih aman di rumah. Selain itu, dia bisa membawa pulang beberapa senjata sihir dan menghasilkan uang.
Tapi kalau dia kembali sekarang, dia akan terjebak. Lalu pandangan jauh ke depan Leluhur Manusia serta pengorbanan orang tua dan kerabatnya akan sia-sia belaka.
‘Apa yang harus kulakukan?’
Sepertinya dia harus menyembunyikan cincin itu di tempat lain dulu dan kembali untuk mengambilnya ketika sudah aman.
Bramantyo merangkak maju, menemukan tempat rahasia, memasang cincin itu, lalu menutupinya.
Pada saat ini, terdengar suara gemuruh keras, dan sisa reruntuhan di sebelahnya runtuh lagi. Sebuah batu menghantam kepala Bramantyo, dan sia kembali pingsan.
Ketika dia terbangun, dia kebingungan, dan mengajukan tiga pertanyaan filosofis kepada dirinya sendiri.
"Siapa aku? Dari mana asalku? Mengapa aku telanjang?
Setelah sepenuhnya sadar, Bram mencari keberadaan Elaine sepupunya. Dia mendengar teriakan keras.
"Ketemu! Dia di sini! Waspada, waspada."
"Olala!"
Tiba-tiba sekelompok remaja yang mengenakan seragam aneh muncul di hadapannya. Seluruh tubuh mereka dilengkapi dengan senjata ajaib, dan setiap orang memegang senjata yang tidak diketahui terbuat dari bahan apa. Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang panjang, ada yang pendek.
Tanpa terkecuali, ujung depannya adalah tabung logam dengan moncongnya menghadap ke arah mereka sendiri, membuatnya merasa terintimidasi. Sepertinya moncong itu adalah saluran pemancar energi setelah senjata diaktifkan. Senjata ajaib ini terlihat sangat mewah.
Terlebih lagi, melihat betapa gugupnya orang-orang ini seolah-olah sedang menghadapi musuh besar. Bram khawatir mereka gemetar dan tak sengaja menekan pemicu.
Terutama para cewek cantik itu.
Mereka sangat gugup. Tubuh mereka meregang lurus dan sedikit gemetar. Kalau tidak hati-hati dan pistol itu meletus secara tidak sengaja, bukankah mereka akan tamat?
Bramantyo berbaring tak berani bergerak. Meski tubuhnya dehidrasi, dia masih berhasil mengeluarkan keringat dingin.
Bram berkata dengan susah payah. "Apa yang kalian lihat? Belum pernah melihat cowok tampan telanjang?”
Lalu, dia kembali pingsan.