Pukul lima sore hari. Aku selesai dengan meditasi rutin. Segera kubereskan lilin aroma yang kugunakan untuk meditasi. Aku yakin sebentar lagi ayahku akan pulang dari tempat kerjanya.
Tak lama kemudian, aku mendengar pintu depan dibuka. Nah, benarkan. Ayahku akhirnya pulang juga. Aku sudah bisa merasakan keberadaannya dari jauh.
“Dad, kau berkencan lagi dengan wanita itu?” celetukku ketika menghampiri ayahku di ruang tengah.
Pria yang mengenakan seragam itu melempar senyum tipis. “Bagaimana kau tahu, Regie?” sahutnya.
“I am watching you,” jawabku seraya memutar bola mata dengan malas.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan ayahku ini. Namun, di sela-sela waktu kosongnya di tempat kerja, dia malah berkencan dengan seorang wanita. Aku tak begitu mengenal wanita yang sedang dekat dengan ayahku ini.
“Hei, that’s not nice,” sahut ayahku.
“Whatever,” balasku tak peduli. Aku meninggalkan ayahku di ruang tengah. Segera aku kembali ke kamar.
Kamarku mungkin bisa dibilang tidak begitu normal. Di meja belajarku, tergeletak beberapa artefak seperti cincin, batu, kalung, dan semacamnya. Di laci meja, isinya juga bukan sesuatu yang normal. Isi laciku adalah wand alias tongkat sihir, beberapa bahan ramuan sihir, dan pernak-pernik penyihir lainnya.
Ya, sudah kubilang kamarku tidak normal seperti kamar laki-laki pada umumnya. Aku seorang penyihir. Bagaimana dengan ayahku? Tentu saja dia juga seorang penyihir.
Meski aku dan ayahku seorang penyihir, kami tetap memiliki kehidupan normal seperti orang-orang pada umumnya. Kami harus berbaur dengan masyarakat samberi menutupi identitas kami sebagai penyihir. Yah, inilah tantangan menjadi penyihir.
Aku dan ayahku tinggal di sebuah kota kecil. Kota ini cukup nyaman untuk ditempati. Penduduknya tidak terlalu padat. Suasananya nyaman dan menenangkan. Tidak seperti kota besar yang penuh sesak dan hiruk pikuk orang banyak.
Aku bersekolah di salah satu SMA yang ada di kota ini. Saat ini aku duduk di kelas 2 SMA. Sedangkan ayahku, dia juga memiliki pekerjaan seperti orang normal lainnya. Meski dia adalah seorang penyihir. Ayahku bekerja di pusat perbelanjaan di kota ini, sebagai karyawan.
Hal yang membuatku terkejut adalah, ayahku kudapati sedang dekat dengan seorang wanita yang juga bekerja di tempat yang sama. Ayah beberapa kali bercerita tentang wanita yang belakangan ini dekat dengannya.
Aku penasaran, apakah hubungan mereka hanya akan sebatas teman di tempat kerja atau bisa lebih dari itu? Oh tidak, sepertinya aku berpikir terlalu jauh.
Aku dan ayahku hanya tinggal berdua. Jika kalian bertanya di mana ibuku, jawabannya adalah ibuku telah gugur di tangan pemburu penyihir. Ya, sudah jelas para pemburu itu mengejar kami. Ibuku mengorbankan dirinya agar aku dan ayah bisa selamat. Akhirnya kami bisa sampai di kota kecil yang kami tempati sekarang.
Ah, sungguh memori yang menyakitkan untuk diingat. Baiklah, sudah waktunya untuk move on.
***
Pagi harinya, di sekolah, aku menjalani rutinitas seperti biasa. Menjadi seorang murid biasa yang tidak tertarik menjadi pusat perhatian. Tentu aku menjaga diriku sendiri agar sihirku tidak kugunakan sembarangan atau identitasku akan terbongkar.
Jika identitasku sebagai penyihir terbongkar, bisa saja para pemburu penyihir itu akan memburuku dan ayahku. Lagi. Itu adalah skenario buruk yang harus kuhindari.
Di perjalanan menuju kelas, aku mendapati seorang gadis yang duduk sendirian di depan ruang bimbingan konseling. Dia tidak masuk karena pintu ruang bimbingan konseling masih tutup. Mungkin dia sedang menunggu pintu ruangan itu terbuka.
Sekilas kuamati, aku bisa melihat auranya yang… suram. Emosinya juga tidak sengaja aku baca. Emosi ketakutan, kesedihan, depresi, dan emosi negatif lainnya. Kasihan sekali gadis itu.
Gadis berambut pendek sebahu itu hanya menatap kosong ke arah pintu yang tertutup itu. Aku tidak mengenalnya. Jadi kuabaikan saja dia lalu lanjut melangkah menuju kelasku.
“Reg, kau mau ikut kami main sore ini?” ajak salah satu temanku, namanya Rizvian. Agar lebih singkat, aku biasa memanggilnya Riz.
Aku menggeleng pelan. “Lain waktu saja.”
“Oh come on, Bro. Kau selalu bilang begitu. Sesibuk apa kau ini?” balas Riz.
Aku hanya mengangkat bahu. “Sorry. Aku tidak tertarik. Ada banyak hal yang harus kulakukan di rumah,” jawabku memberi alasan yang logis.
Latihan. Itulah kesibukanku di rumah. Jika di sekolah aku menjalani rutinitasku sebagai murid biasa, tidak dengan di rumah. Di rumah aku berkutat dengan hal-hal berbau sihir. Membuat ramuan, latihan, mengembangkan metode sihirku sendiri.
Ya, itulah kesibukanku. Tentu aku tidak punya waktu untuk bermain seperti anak-anak lainnya. Oh jangan lupakan tugas rumah yang diberikan guru. Itu juga salah satu kesibukanku di rumah.
“Ya okelah. Maybe next time,” sahut Riz yang tidak memaksaku lebih jauh.
Aku bernapas lega karenanya. Jika dia terus memaksa, aku harus berpikir keras mencari alasan yang terdengar logis. Mungkin, seperti membereskan rumah misal?
***
Suara nyaring yang ditunggu semua murid akhirnya terdengar juga. Ya, apalagi kalau bukan suara bel tanda pulang sekolah. Mrs. Hena segera mengakhiri kelasnya. Tepat setelahnya, anak-anak berhamburan keluar kelas.
Sementara anak-anak lain buru-buru keluar kelas, aku memilih keluar ketika suasana mulai sepi. Untuk apa juga buru-buru. Biarkan saja anak lain berdesak-desakan. Setelah suasana lebih tenang, barulah aku meninggalkan kelas.
Begitu aku melewati ruang bimbingan konseling, tidak ada orang di sana. Baik guru maupun murid yang ingin berkonsultasi. Ruangan itu kosong, hanya saja pintunya masih terbuka.
Itu artinya gadis tadi sudah selesai dengan urusannya, ucapku dalam hati.
Aku melangkah lagi. Kulihat beberapa anak berdiri di dekat pagar. Ada juga yang duduk-duduk di kursi bangku kosong yang memang disediakan untuk murid yang menunggu jemputan. Sedangkan aku, aku tidak perlu menunggu jemputan. Aku bisa pulang sendiri.
Gadis itu lagi. Ya, aku melihatnya lagi. Gadis yang kulihat termenung di depan ruang bimbingan konseling tadi pagi. Dia tampaknya sedang menunggu seseorang menjemputnya.
Sekali lagi kuamati gadis itu. Tidak ada perubahan. Masih sama seperti tadi pagi. Auranya masih suram. Emosinya masih dipenuhi emosi negatif. Kurasa konseling yang dilakukannya tak banyak membantu.
Aku merasa sedikit kasihan dan prihatin dengan gadis itu. Tampaknya dia banyak masalah. Entah apa itu. Sebenarnya bisa saja aku membaca isi kepalanya. Namun itu melanggar privasi orang namanya.
Ketika aku hendak beranjak, ekor mataku menangkap gerakan aneh dari gadis itu. Aku kembali beralih pada si gadis rambut pendek. Kulihat tubuhnya sedikit oleng ke belakang. Sepertinya dia hampir pingsan.
Aku tidak bisa menahan diri untuk menghampirinya. Begitu berada di dekatnya, kutepuk pelan pundaknya. “Kau baik-baik saja?” tanyaku pada gadis itu.
Si gadis rambut pendek itu sedikit kaget karena pundaknya kusentuh. Dia menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat pucat. “Ah…,” ucapnya spontan. “Aku tidak apa-apa,” jawabnya pelan.
Well, aku tahu itu kebohongan. Wajahnya pucat. Sepertinya dia sakit. Jelas aku melihatnya hampir pingsan tadi.
“Kau terlihat kurang sehat. Mari, kuantar pulang. Di mana rumahmu?” tawarku pada gadis yang belum kuketahui namanya itu.