Pagi yang cerah di sebuah kota yang sudah cukup maju. Sosok wanita cantik, lemah lembut, menaiki tangga rumah, menuju lantai dua. Wanita dengan pakaian khas ibu-ibu, yakni berdaster tipis dengan panjang selutut dan motif bunga-bunga yang berwarna-warni.
Tok… tok.. tok.. tok…
“Han, sudah selesai apa belum?” Tanya mama kepadaku.
“Sebentar ma! Lagi ganti pakaian, sebentar lagi!” Balasku dari dalam kamar.
“Ya sudah, cepat ya sayang! Sarapan sudah siap! Segera turun! Sudah jam setengah 7 ini, di bawah juga udah ditungguin sama papa kamu!” Ucap mama menyuruhku segera turun.
“Siap mamaku sayang…!” balasku.
Segera mama turun ke bawah menuju ke ruang makan, yang tentunya di sana sudah ada papa yang menunggu. Aku mempercepat memakai pakaian dan tidak lupa mengambil tasku dengan sedikit tergesa-gesa.
Jujur saja, papaku merupakan salah satu orang terhormat di sebagian kotaku ini. Saking dihormati banyak orang, aku sendiri yang notabene anak kandungnya, takut jika papa lagi menasehatiku, padahal dia tidak marah sama sekali, hanya nadanya saja yang penuh dengan ketegasan. Itu pun sudah membuatku mati kutu di hadapannya.
“Pagi pa..!” Sapaku yang langsung kucium tangannya.
“Pagi!” jawabnya dingin.
Saat ini papa memakai kemeja putih berdasi hitam, dengan bawahan celana hitamnya dan sepatu pantofelnya, layaknya seorang karyawan magang. Biasanya ketika sudah di kantor, dia akan memakai jas hitam kebanggaannya, membuat tampilannya semakin gagah, meskipun dengan perut yang sedikit maju, hahaha…
“Kamu itu seharusnya bangun lebih pagi lagi, biar gak tergesa-gesa. Jangan ngerepotin mamamu! Tiap hari harus naik turun ke kamarmu cuma untuk bangunin kamu. Kalau mamamu capek terus sakit, kamu mau tanggung jawab? Enggak kan? Kamu udah gede, jangan nyusahin mamamu hanya untuk hal-hal kecil!” Ucap papa yang menasehatiku panjang kali lebar kali tinggi, itu pun masih dengan sikap tegas dan dinginnya..
“Iya pa…” Jawabku dengan menundukkan kepala.
Takut? Jelaslah aku takut sama papaku, ya meskipun jika aku harus berkelahi sama papa, bisa dipastikan jika aku menjadi pemenangnya. Tapi ya memang seharusnya aku patuh terhadap papaku, orang tua kandungku. Makanya aku gak berani sama papa, takut kualat dan menjadi anak durhaka. Belum lagi kalau tiba-tiba aku dikutuk jadi batu seperti maling kandang kan? Siapa yang mau sama aku kalau aku jadi batu? Kalian mau? Gak mungkin lah!
“Pagi ma…!” Ucapku yang kemudian aku berjalan menuju ke arah mama dan langsung mencium tangannya yang lembut seperti sutra, dan putih bak susu. Bukan susu yang lain ya! Hanya minuman susu sapi.
“Pagi juga sayang.. Dah sana! Cepet sarapan! Keburu telat nanti!” Balas mamaku dengan tersenyum manis.
Ahh, mamaku emang cantiknya kebangetan. Dia tampak wanita berumur 25 an saja. Padahal dia sudah berumur…? Umur berapa ya? Kok aku lupa sebagai anak kandungnya?
Meskipun mama sedang memakai dasternya, dia tetap menunjukkan aura kecantikannya dari dalam tubuhnya, seakan dia masih sebaya dengan anak semata wayangnya, yakni aku. Bahkan ada yang bilang kalau mama itu kekasihku, saat kita keluar bersama tempo hari.
Aku segera mengambil makanan secukupnya untuk mengisi perutku pagi ini. Supaya aku mempunyai tenaga yang cukup untuk beraktifitas hari ini. Sarapan bersama papa dan mama berlangsung sepi dan sunyi, hanya terdengar benturan antar sendok, garpu, dan piring, sesekali mulut kami mengecap karena makanan basah. Tepat jam 7, aku berpamitan dengan kedua orang tuaku.
“Pa.. aku berangkat dulu ya..!” Ucapku kepada papa dan langsung mencium punggung tangannya.
“Berangkat dulu ma..!” Ucapku lagi dan mencium punggung tangan mamaku, kemudian mama mencium kedua pipiku.
Aku langsung melangkah menuju garasi rumah untuk menemui motorku, Yam*ha F1ZR yang paling cantik dan s*mok ini. Bahkan kecantikannya melebihi cewek-cewek sebayaku. Ada yang gak beres dengan motorku ini, sudah ku starter beberapa kali tapi, tetap tidak mau menyala. Mungkin memang harus sedikit ku utak-atik sebentar.
Aku menuju ke pintu garasi untuk membukanya, supaya ada sedikit cahaya yang masuk ke garasi ini. Masa aku mau mengutak-atik motor di tempat yang gelap, apa kata dunia nanti.
Aku melepas busi motorku untuk mengeceknya dan membersihkannya. Siapa tau dengan membersihkan busi, motor cantikku ini bisa kembali menyala.
Selama aku membongkar busi motorku, aku mendengar beberapa percakapan dari ruang makan keluarga antara papa dan mamaku. Jarak antara ruang makan dan garasi sedikit jauh, jadi aku hanya bisa mendengar sayup-sayup saja dan sebagian percakapan dari mereka.
“Ma, nanti papa pulang terlambat ya…! Mungkin pulang besok, mungkin juga bisa pulang lusa!” Ucap papa membuka percakapan.
“Ada acara apa sih pa? Kok akhir-akhir ini banyak sekali kerjaan kantor? Kerjaan kantor atau kerjaan buatan sendiri?” Jawab mama dengan nada sedikit sewot.
“Ini tuh kerjaan ma! Memang lagi banyak kerjaan aja di kantor! Sekarang ini banyak kasus korupsi di negara kita, jadi kantor kita mau diaudit ma!” terang papa.
“Halah, palingan papa mau main-main aja. Bilang aja udah gak betah di rumah…!” Ucap mama ketus.
“Aduh duh… istriku ini kalau lagi marah-marah tambah cantik aja! Untuk mempersiapkan dokumen-dokumen itu butuh waktu yang lama, makanya semua karyawan dikumpulkan. Ditambah lagi ada penyamaan persepsi untuk semua jajaran karyawan, biar nanti jika ditanya auditor dari pusat pemerintah jawaban kita semua sama, dan ada kemungkinan kita semua menginap di kantor. Papa di kantor kan juga buat mama dan anak kita ma!” Terang papa dengan jelas terperinci.
“Ya udah, pulang seminggu lagi juga gak apa-apa! Mama cuma berharap jika ucapan papa semuanya benar tanpa ada yang dibuat-buat.” Ucap mamaku sedikit ketus.
“Hahaha… iya ma…! Ya udah papa berangkat dulu!” Sahut papa kemudian pamit untuk berangkat kerja.
Trangg… tang.. tangg… tangg..
Akhirnya motor tuaku sudah bisa nyala. Ternyata memang hanya businya yang bermasalah, sebaiknya nanti aku beli yang baru sepulang kuliah.
“Papa…! Mama…! Anak kalian berangkat dulu ya…!” Teriakku dengan menaiki motor.
“Iya sayang…! Hati-hati…!” Balas mamaku.
Aku pun berangkat menuju universitas tercintaku. Universitas terbaik yang ada di kotaku saat ini, yaitu universitas Bina Bhakti.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan papa dan mama? Tidak biasanya mama menjawab ucapan papa dengan sewot dan judes gitu, aneh memang. Mungkin semalam papa gak kasih jatah mama kali ya? Hahaha…
Aku sekarang harus segera sampai di kampus dulu, karena jarak rumah ke kampus memakan waktu yang cukup lama, setidaknya hampir 60 menit. Aku tidak mau sampai terlambat ke kampus, karena hari ini ada mata kuliah dosen pembunuh, matanya kerap kali menyala-nyala di setiap mata kuliahnya.
Beberapa menit kemudian, sampailah aku di kampus tercintaku ini. Tepatnya di fakultas Ekonomi dan Bisnis, tempatku menimba ilmu di universitas Bina Bhakti.